Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Berita Tempo Plus

Sri diusir dari senayan

Srimulat jakarta menunggak utang sewa gedung taman ria senayan sebesar Rp 22 juta. para pemain setuju tidak membubarkan srimulat dan akan berusaha mencari bapak asuh untuk menyelamatkan nasibnya.

13 Mei 1989 | 00.00 WIB

Sri diusir dari senayan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MALAM itu gedung Srimulat di Taman Ria Senayan, Jakarta, tak menerima penonton. Loket karcis tertutup rapat. Tak satu pun mobil tampak parkir di pelataran gedung. Suasana sepi dan ngelangut. Memang ada kesibukan kecil di dalam gedung berkapasitas 1.000 pengunjung itu. Tapi itu bukan pertunjukan. Justru ini tragedi. Di panggung yang melompong itu para pemain duduk melingkar. Wajah mereka yang biasanya cerah tampak membeku. Dingim Gerombolan badut ini sedang memperbincangkan sandiwara kehidupan mereka yang nyata, yang pahit tanpa tawa. Nasib mereka di metropolitan Jakarta ini ditimpa bencana. Sejak malam itu, Senin pekan lalu, mereka jadi gelandangam Srimulat menunggak Rp 22 juta pada pengelola Taman Ria. Dan itu berarti mereka tak boleh lagi bermain di sana. Inilah babak akhir perjalanan panjang sebuah teater rakyat yang pernah menguncang tawa warga Jakarta. Malam itu ada pro kontra apakah Srimulat Jakarta dibubarkan atau tetap ada -- walau tanpa jelas kapan bisa manggung. "Saya pribadi menghendaki dibubarkan saja. Tapi teman-teman tidak setuju." kata Juwarno Indro Sudjarwo, Manajer Srimulat Jakarta. Setelah berembuk serius selama tiga jam, Indro akhirnya setuju tidak membubarkan Srimulat malam itu. "Saya sedang berusaha mencari bapak asuh untuk menyelamatkan Srimulat," kata Indro kemudian. Langkah yang sudah ditempuhnya, antara lain, mengirim surat ke Ibu Tien Soeharto. Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Nyonya Sulasikin Moerpratomo dan Menteri P dan K Fuad Hassan. Indro memaklumi pengusiran mendadak yang dilakukan pengelola Taman Ria itu. "Bagaimanapun kami harus berterima kasih, karena sebetulnya waktu yang diberikan hanya sampai Maret," ujar Indro lagi. Tapi, apa mau dikata, uang tak datang-datang juga. Beban yang dipikul Srimulat berat. Untuk sewa gedung saja, setiap bulan Rp 3 juta. Biaya listrik Rp 150 ribu. Lalu bayar uang kebersihan Rp 175 ribu per bulan. Pengeluaran lain adalah untuk membayar tujuh buah rumah kontrakan yang ditempati 60 personel, yang besarnya Rp 300 rihu hingga Rp 1 juta untuk satu rumah per tahun. Ditambah lagi biaya produksi Rp 200 ribu per bulan. Lalu honor pemain. "Total pengeluaran kami satu bulan mencapai Rp 11 juta, kata Indro. Di masa jaya-jayanya, pengeluaran sebanyak itu tak jadi soal. Setiap bulan sedikitnya Srimulat mengeruk Rp 50 hingga Rp 70 juta. Belum lagi pemasukan dari luar panggung tetap, yang jumlahnya bisa mencapai Rp 20 juta per bulan. Masa keemasan itu terjadi tahun 1981 (saat awal Srimulat di Jakarta) hingga tahun 1986. Kemunduran Srimulat ditandai oleh keluarnya Gepeng di tahun 1986. Belakangan Basuki, ikut mundur. Bahkan mengajak serta Timbul dan Kadir. Trio ini membentuk Batik Group, diambil dari nama depan mereka. Ternyata, Tarsan kemudian ikut pula hengkang. Nama-nama ini begitu akrab dengan penonton -- juga penonton televisi. Akibatnya adalah Srimulat kehilangan pamor. Job-job -- istilah mereka untuk ngobyek -- di luar juga tertutup, karena Batik Group plus Tarsan lebih menguasai medan. Pabrik tawa ini pun kehilangan penonton. Tak ada pelucu setingkat Gepeng, Basuki, Timbul, dan Tarsan lagi. Ketika kemudian Teguh, bos Srimulat, berhasil membujuk Gepeng untuk kembali ke Srimulat, penonton mulai lagi datang. Bersamaan dengan kembalinya Gepeng ke Jakarta, Teguh mudik ke Solo. Manajer di Jakarta diserahkan pada Indro -- adiknya Jujuk, istri Teguh. "Waktu itu rata-rata kursi terisi 50 persen," kata Indro. Lumayan banyak. T api penyakit Gepeng, yang kemudian menjalar ke Asmuni dan Sopia, adalah seringnya absen karena job di luar. Kemudian Gepeng betul-betul sakit dan kembali ke kota asalnya, Solo. Sampai akhirnya pelawak yang menciptakan anekdot populer "untung ada saya" ini meninggal dunia Juni 1988. Penonton yang datang ke Senayan betul-betul anjlok. "Pernah hanya lima penonton yang datang," kata Indro. Tragisnya, layar televisi direbut Basuki dkk., walau dengan nama Pangkalan Humor. Sementara itu, Asmuni dan Sopia, yang resminya tidak keluar dari Srimulat, lebih banyak ngobyek. "Pak Teguh sudah menyuruh saya untuk memecat Asmuni," kata Indro. "Tapi saya pikir, kalau dia dipecat, Srimulat tambah rugi." Sejak pertengahan tahun lalu, Srimulat Jakarta gali lubang tutup lubang. Sewa gedung mulai menunggak. Setiap bulan hanya dibayar Rp 500 ribu. Utang pun semakin membengkak. Sampai tibalah hari itu, pekan lalu, Srimulat dilarang memakai gedung itu lagi. Menurut "orang dalam", bangkrutnya Srimulat Jakarta karena Teguh lepas tangan. Personel Srimulat bagai anak ayam kehilangan induk. Kharisma Teguh tak ter-gantikan oleh manajer-manajer baru yang kebetulan sanak-keluarga Jujuk. Namun, faktor kejenuhan juga melanda penonton. Mutu lawakan tak beranjak jauh. Srimulat Semarang, yang lebih dulu bubar, adalah contoh nyata. Teguh agaknya memaklumi, masa-masa Srimulat memang sudah berakhir. Menurut Indros sudah tiga kali Teguh menyarankan Srimulat Jakarta dibubarkan. "Tapi kan tidak begitu saja. Teman-teman mesti dikasih pesangon. Lha, duitnya dari mana?" ujar Indro, yang berusaha menyelamatkan Srimulat itu. Entah dengan cara bagaimana. Yang jelas, Asmuni mengaku, "Saya menitikkan air mata ketika mendengar Srimulat mau bubar." Suara Asmuni tak bermakna melucu. "Pak Teguh sudah tidak bergairah lagi mengurus Srimulat. Ibaratnya, dia itu sudah impoten. Jadi, walaupun Srimulat dibedaki dan diberi parfum. dia tetap saja menyuruh dibubarkan," kata pelawak senior ini. Menurut Asmuni, bukanlah hil yang mustahal Srimulat bisa diselamatkan, asal manajemennya dibenahi. Misalnya, dengan memindahkan lokasi pertunjukan, memperbaiki sistem lampu dan dekorasi, serta memperbarui sajian lawak. "Kalau pelawak mesti menangis, ya menangislah. Kayak beginian ini yang tidak dibenarkan Pak Teguh," tutur Asmuni lagi. Subaki, eh, Basuki tenang-tenang saja. "Hal ini sudah saya perkirakan sebelumnya. Selama manajemennya tak berubah, Srimulat sulit kembali seperti semula," katanya. Manajemen Srimulat, kata Basuki, tertutup dan tidak demokratis. Itulah alasannya kenapa ia keluar. "Keluhan pemain tak didengar. Mereka menentukan segalanya tanpa mendengarkan keinginan pemain," ujar Basuki. Contohnya, kalau dapat job, pemain hanya kebagian ala kadarnya. sementara yang diterima manajer jauh lebih besar. Timbul menyarankan perlu manajemen terbuka. "Srimulat harus dirombak total, termasuk namanya diganti," kata Timbul. Ia bermaksud menolong teman-temannya yang mengalami nasib sedih menjelang Lebaran ini, "dengan jalan apa pun". Setelah Jakarta menyusul Semarang dan Solo, kini hanya Srimulat Surabaya yang masih bertahan. Bahkan sejak markas mereka dibenahi di kompleks megah THR Surabaya Mall, penonton lumayan. "Setiap hari rata-rata ditonton 300 orang." kata Misran, Kepala Unit Srimulat Surabaya. Sebelum THR dibenahi, penonton paling banyak 100 kepala. Kendati begitu, Srimulat Surabaya masih harus mencicil utangnya pada pengelola THR yang lama, sekitar Rp 14,5 juta. Menurut Misran, pola lawakan Srimulat tak mungkin diganti. Ia pernah menoba mengganti pola lawakan itu dengan cara melawak lebih serius. "Malah gagal. Penonton tidak tertawa," katanya. Yang lebih celaka lagi, pemain malah kikuk. Misran lebih setuju pada masalah lokasi pertunjukan. Kegagalan di Solo, Semarang, Jakarta, karena lokasinya terpencil. Di masyarakat perkotaan saat ini, menonton lawak adalah pekerjaan sampingan. setelah berbelanja, makan, atau lelah masuk keluar toko. Mungkin juga. Sayang, Teguh tampaknya tak berminat lagi pada Srimulat (lihat: Saya Sudah Tua).Yusroni Henridewanto, Sri Pudyastuti, dan Zed Abidien

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum