Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secarik surat protes masih tergeletak di ruang kerja Harsono, Bupati Ngawi, Jawa Timur. Pekan ini, Harsono berencana mengirim surat itu ke Gubernur Jawa Timur untuk diteruskan ke petinggi Perusahaan Umum Jasa Tirta I, yang mengelola Waduk Gajah Mungkur.
Harsono sedang jengkel bukan main terhadap pengelola waduk yang berlokasi di Wonogiri, Jawa Tengah itu. Tanpa peringatan, pengelola membuka pintu waduk pada 26 Desember lalu. Segera saja, air bah bergulung-gulung meluncur ke Bengawan Solo dan dalam hitungan menit merendam Kota Ngawi di tepi sungai terpanjang di Jawa ini. Ada 70 desa di 11 kecamatan tenggelam. Ribuan penduduk mengungsi dan 18 warga tewas terhanyut. ”Mereka terkesan mengorbankan kami,” ucap Harsono, Selasa pekan lalu.
Pembukaan pintu waduk, kata Harsono, dilakukan tiba-tiba. Ia mengaku tak menerima telepon atau radiogram dari Jasa Tirta atau Departemen Pekerjaan Umum. Akan lain dampaknya bila aparat pemerintah dan ribuan warga sudah tahu dan bersiap menyambut kedatangan sang air. Harsono menyayangkan tak adanya koordinasi pengelola waduk dengan pemerintah daerah yang berada di wilayah hilirnya.
Tak hanya Ngawi yang terendam luapan bengawan yang panjangnya 600 kilometer itu. Mulai dari Wonogiri di Jawa Tengah sampai wilayah hilir di Gresik, Jawa Timur, tak ada yang terlewat. Di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, air menggenangi 20 dari 27 kecamatan dan memberinya predikat sebagai banjir terbesar dalam kurun waktu 50 tahun terakhir.
Benarkah tudingan pembukaan waduk sebagai penyebab banjir bandang? Pimpinan Jasa Tirta I membantahnya. Menurut Suwartono, kepala Divisi Air dan Sumber Daya Air perusahaan itu, pada saat kejadian aliran air sungai yang menuju Waduk Gajah Mungkur sangat besar. Jika pintu air waduk tak dilepas, kata Suwartono, wilayah Solo tetap banjir. ”Risikonya lebih besar, waduk bisa jebol,” ujarnya. Dia merujuk pada prosedur operasional yang baku, yaitu keselamatan waduk adalah prioritas nomor satu.
Memang, pada 25 Desember, ketinggian muka air di waduk yang mampu menampung 560 juta meter kubik air itu 133,7 meter. Keesokan harinya melonjak jadi 136,57 meter, ini berarti melampaui tinggi muka air yang diizinkan, yakni 136 meter.
Mengapa waduk cepat terisi penuh padahal luas genangannya mencapai 90 kilometer persegi? ”Pendangkalan oleh sedimentasi menjadi masalah utama Waduk Gajah Mungkur,” kata Suwartono. Dalam setahun, tiga juta meter kubik lumpur menyerbu masuk. Bahkan pernah terjadi sampai lima juta meter kubik. Alhasil, sejak 1982, saat waduk mulai beroperasi, 200 juta meter kubik sedimen mengumpul di seluruh daerah genangan waduk.
Tumpukan lumpur semakin tinggi karena setiap tahun Jasa Tirta hanya sanggup mengeruk 100 ribu meter kubik. Maklum, mereka tak mampu membiayai pengerukan yang mencapai Rp 10 ribu per meter kubik. Lagi pula, kata Suwartono, pihaknya bingung, mau dibuang ke mana sedimen sebanyak itu.
Pendangkalan itu berasal dari 26 sungai yang bermuara di Gajah Mungkur. Erosi terbesar dibawa Sungai Kedaung, yang muaranya langsung ke tubuh bendungan menuju pintu air. Dalam setahun, kata Suwartono, butuh biaya Rp 1 miliar untuk menjaga agar pintu air tak tertutup sedimen. Dari daya tampung dasar pintu air sebesar 120 juta meter kubik, saat ini sudah terisi setengahnya oleh endapan.
Sedimen itu tak hanya berupa lumpur, tapi juga sampah organik seperti pohon dan batang bambu yang menyumbat pintu air menuju turbin. Tahun lalu, selama beberapa pekan, turbin air PLTA Gajah Mungkur tak berfungsi. Baru pada 12 Januari lalu, aliran air kembali normal setelah petugas membersihkan timbunan sampah itu.
Ancaman sedimentasi tak hanya terjadi di Gajah Mungkur, tapi juga menimpa bendungan lainnya di Jawa. Misalnya Waduk Kedung Ombo, yang mengairi Pati, Kudus, dan Demak. Lalu Waduk Mrica untuk wilayah Wonosobo, dan Rawa Pening yang mengairi wilayah Ambarawa. Begitu pula Waduk Karangkates atau Sutami di Kabupaten Malang.
Pada awal beroperasi tahun 1973, Bendungan Sutami diproyeksikan mampu menampung 343 juta meter kubik air. ”Saat ini hanya mampu menampung separuhnya,” kata Dwi Prihartoro, dosen Teknik Pengairan Universitas Brawijaya, Malang. Penurunan fungsi kapasitas ini juga karena sedimentasi.
Pendangkalan itu membuat waduk cepat meluap ketika curah hujan meningkat. Sebaliknya, pada musim kemarau, debit air yang ditampung waduk merosot drastis. Di area genangan waduk muncul daratan yang terjadi akibat pendangkalan. Untuk mengatasinya, sejak awal 1980-an, pemerintah membuat hujan buatan di daerah aliran sungai.
Sedimentasi yang berkepanjangan jelas membuat usia guna waduk semakin pendek. Ketika Presiden Soeharto meresmikan Gajah Mungkur pada 1982, pemerintah menggembar-gemborkan usia waduk ini 100 tahun. Kini, baru 25 tahun beroperasi, lumpur telah mengisi 49 persen daya tampung untuk sedimen. Diperkirakan usia waduk ini tinggal 10 tahun lagi. Waduk Selorejo di Malang malah usia gunanya cuma 30 tahun dari target 100 tahun.
Widagdo, Direktur Waduk, Sungai, dan Danau Departemen Pekerjaan Umum, mengakui sedimentasi menjadi ancaman utama waduk di Jawa. Untuk menanganinya, pemerintah menggunakan dua pendekatan: mengelola sumber asalnya dan mengatasi endapan lumpur. ”Ibarat dokter jantung menangani pasiennya,” katanya. Tindakan yang dilakukan mulai menghentikan penyumbatan sampai operasi atau bypass jantung.
Begitu juga dengan waduk. Jika sedimentasi sudah parah, akan dilakukan pengerukan dan penggelontoran. Pada saat bersamaan pembenahan daerah aliran sungai yang bermuara ke bendungan pun harus dilakukan. Antara lain membangun check dam penampung sedimen di bagian atas bendungan. Tujuannya agar kapasitas penampung sedimen tak segera penuh.
Upaya lain dilakukan di wilayah penangkap air hujan di sekitar waduk. Misalnya konservasi, pembuatan terasering, penanaman pohon, dan penghutanan kembali. Juga memberdayakan masyarakat dalam mengolah tanah agar tak menimbulkan erosi. Semua itu bukan hal yang mudah. Sebab, berbagai upaya tersebut melibatkan deretan instansi yang berada di wilayah tangkapan air hujan sekitar waduk, yang kerap hanya melihat kepentingannya sendiri.
Untung Widyanto, Imron Rosyid (Solo), Bibin Bintariadi (Malang), Dini Mawuntyas (Ngawi), dan Sujatmiko (Bojonegoro)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo