Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tuk Versi Garasi

Teater Garasi memberikan beasiswa untuk belajar keaktoran. Hasil akhir siswa-siswa angkatan 2007 adalah sebuah pementasan naskah realis: Tuk.

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemuda bernama Soleman Lempit itu mengumpat, setelah diberi tahu ayamnya mati karena terjatuh ke dalam sumur. Dari mulutnya meluncur sumpah serapah. Ia begitu jengkel, ayam jagonya yang berharga ratusan ribu itu tewas.

Tiba-tiba ia lalu membuka resleting dan mengencingi sumur. Akibatnya, air yang sehari-hari untuk mandi dan minum warga itu pesing. ”Kuwalat…, kuwalat kowe,” teriak Mbah Kawit.

Inilah pementasan naskah Tuk (Mata Air) oleh aktor-aktor asuhan Teater Garasi Yogyakarta di panggung terbuka Taman Budaya Yogyakarta, minggu lalu. Teater Garasi memiliki program tahunan, yakni belajar keaktoran. Mereka memberikan beasiswa bagi yang ingin belajar teater. Pada 2007 Teater Garasi menyeleksi dan menjaring calon aktor dari berbagai kota, yang kemudian menghasilkan 10 aktor dari Padang sampai Kendari. Selama enam bulan mereka digembleng dalam sebuah pelatihan mulai dari pelatihan tubuh hingga pemahaman teks. Terakhir, pada akhir kursus itu, para murid diminta mementaskan naskah karya almarhum Bambang Widoyo Sp dari Teater Gapit, Solo: Tuk. Pertunjukan disutradarai oleh anggota senior teater Garasi, Gunawan Maryanto.

Tata artistik yang ditampilkan tidak begitu jauh dari pertunjukan Tuk Teater Gapit beberapa tahun silam. Toilet umum, sumur, kandang ayam, dan jemuran centang-perenang. Suasana yang menampilkan Kampung Margasaren sehari-hari, tempat biasanya wong cilik yang mengkontrak di kawasan Margasaren nongkrong.

Pertunjukan berlangsung dua jam. Dan tentu saja tidak sekuat dan sebertenaga Gapit. Menonton pertunjukan ini malah seolah mengembalikan ingatan pada pertunjukan Teater Gapit beberapa tahun lalu. Memang, naskah yang dibuat pada 1989 ini adalah tonggak kelompok Teater Gapit. Naskah yang semula ditulis dalam bahasa Jawa ini kemudian diterjemahkan oleh Gunawan Maryanto ke bahasa Indonesia.

Hasil tempaan Teater Garasi terhadap peserta kursus sendiri terlihat hasilnya. Keaktoran mereka merata, meski tidak ada yang betul-betul menonjol. Wildan Kurnia sebagai pemeran Suleman Lempit mampu bermain dengan santai. Demikian pula Desi Puspitasari sebagai Mbah Kawit dan Nur Laeliyatul Masruroh yang memerankan Mbokdhe Jemprit, yang mampu menampilkan sosok orang pasar yang ceriwis tapi tetap kenes. Muhammad Bakar Sukoco yang menjadi Bibit berhasil menampilkan tokoh pemuda pengangguran yang usil dan gemar menjaili orang-orang tua Margasaren.

Dalam naskah ini ada tokoh tua bernama Bismo yang memandang semua kehidupan dengan kaca mata falsafah wayang. Ia seorang penjual balon yang tadinya berkeinginan menjadi dalang tapi gagal. Seluruh kekayaannya dijual hanya untuk memburu wahyu pedalangan. Doni Agung Irawan yang memerankan Bismo mampu secara lancar panjang lebar menguraikan kalimat-kalimat filosofis Bismo, namun belum mencapai sebagai tokoh yang betul-betul gila wayang.

Permainan mereka masih cenderung terbawa emosi penonton ketika penonton tertawa. Para pemain tampaknya ingin terus-menerus membuat tertawa. Akhirnya, perasaan getir yang menjadi inti naskah tak begitu kuat terasa. Apalagi ketika orang-orang kecil itu mendengar kabar bahwa mereka bakal digusur. Musala sudah dibongkar. Dan terjadi silang pendapat di antara mereka tentang nasib pada masa yang akan datang.

Naskah ini memang terasa aktual ketika dipentaskan pada saat pemerintahan Orde Baru. Tanpa jargon-jargon politik, pementasan mampu menampilkan suara terluka rakyat kecil dari hati paling dalam. Makian-makian Jawa yang kasar dalam pertunjukan saat itu terasa bagai umpatan yang pedih, bagian dari kewajaran wong cilik yang hidupnya tertindas.

Kini umpatan itu tak terasa keperihannya, malah dilihat penonton sebagai banyolan yang membuat mereka tertawa. Ketika Mbah Kawit bertahan tak mau diusir dari Margasaren dan bersiap mati di situ, suasana pertunjukan tak mencekam. Yang juga harus diperhatikan adalah bahwa problem yang disajikan Teater Gapit, seperti penggusuran untuk plaza, telah sering disuarakan.

Tapi penonton yang membludak selama dua hari berturut-turut dan bertahan sampai pertunjukan habis membuktikan bahwa pementasan ini menyenangkan. Sebagai sebuah pentas perdana para aktor pemula, pertunjukan ini sudah cukup lumayan. Teater Garasi malam itu berperan sebagai sebuah teater pendidik.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus