Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Yang Mengolah Lorong Sejarah

Dua novel yang sarat muatan politik beredar di pasar. Fiktif tapi dengan referensi kejadian aktual yang relevan.

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN JINGGA DALAM KEPALA Penulis: M. Fadjroel Rachman Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 Tebal: 419 halaman

Pertumbuhan novel bermuatan politik nasional rupanya tak sebanding dengan gairah reformasi yang membara sejak 1998. Suksesi pemimpin nasional yang berlangsung dramatis, penuh daya kejut, dan disesaki intrik politik, tak sepenuhnya memukau para novelis. Ambillah contoh, Gabriel ”Gabo” Garcia Marquez.

Dalam The Autumn of the Patriarch (1975), Gabo meramu fragmen episodik diktator militer Kolombia Gustavo Rojas Pinilla, Generalissimo Fransisco Franco dari Spanyol, dan jenderal-cum-presiden Venezuela Juan Vicente Gomez, menjadi sebuah hidangan universal tentang bahaya kekuatan jika terakumulasi di satu tangan.

Di kalangan ”Angkatan 2000”, sebuah sebutan longgar untuk para penulis pemula—meski tak berarti semuanya berumur 20-an tahun—yang mulai mempublikasikan karyanya pada aras ketiga peradaban manusia ini, tema favorit tetap bertaut dengan peristiwa G30S PKI dengan beragam variannya, seperti pada Tapol (2002), di samping yang ”menyempal” secara tematik seperti kisah prajurit di daerah operasi militer (Elang Retak, 2005), tragedi Semanggi I yang menyebabkan perubahan laku seorang jenderal purnawirawan (Imperia, 2005), perjuangan aktivis mahasiswa Sumatera di perkebunan kelapa sawit menjelang reformasi (Nyanyian Batanghari, 2005), atau represi yang dialami aktivis pergerakan Islam pada masa Orde Baru (Jihad Terlarang: Cerita dari Bawah Tanah, 2007).

Dalam pilihan yang tidak banyak itu, muncul dua novel yang pantas ditakar lebih serius dalam beberapa pekan terakhir, yakni Bulan Jingga dalam Kepala (M. Fadjroel Rachman) dan Rahasia Meede (E.S. Ito). Bulan Jingga dalam Kepala (selanjutnya disebut Bulan Jingga) adalah narasi distopia dari seorang tokoh pergerakan mahasiswa bernama Surianata, mahasiswa kimia tingkat akhir Institut Teknologi Bandung yang ikut mendongkel Presiden Jenderal Suprawiro.

Dalam satu demonstrasi besar yang mengepung Istana Merdeka, Surianata dan kawan-kawan berhasil lolos dari pengawasan pasukan pengaman presiden dan berhadapan langsung dengan sang diktator. Kontak senjata segera terjadi antara Surianata dan sang presiden, yang berakibat pada kematian Bulan Pratiwi, putri bungsu Suprawiro yang baru berusia lima tahun. Tragedi ini kelak terus membayangi hati nurani Surianata, dan digunakan oleh para penerus Suprawiro sebagai kartu truf untuk menyudutkan sang aktivis, yang kelak ditembak mati oleh pemerintah berkuasa.

Plot utama ini tak dibiarkan mantan Presiden Grup Apresiasi Sastra ITB ini berjalan sendirian, karena ia membarengi dengan subplot hubungan cinta Surianata dan Bunga Langit, aktivis mahasiswi yang kelak mengambil gelar doktor hukum di Australia. Di antara kerikil hubungan cinta antaraktivis itu adalah munculnya gadis berbukit dada 38B, Dewita Subadra, yang menjadi hasrat pelampiasan berahi banyak pria, namun sebenarnya hanya mengharapkan cinta Surianata.

Untuk membuat karyanya terlihat imajinatif, Fadjroel yang juga penyair ini berupaya keras membebaskan peristiwa demi peristiwa dari dimensi waktu yang spesifik. Tak ada tahun yang pasti selain penggunaan ”tahun X”, ”setahun kemudian”, atau ”enam tahun sebelum tahun X” pada beberapa awal bab. Ia juga menggunakan nama tokoh yang semuanya tak dikenal dalam sejarah Indonesia modern, seperti Presiden Jenderal Suprawiro atau para penerusnya seperti Abdullah Hamid, Ny Teguh Karyanto, dan Jenderal Yogaswara. Tapi hanya sampai di situlah Fadjroel berusaha membuat pembacanya percaya bahwa ini ”sekadar fiksi”.

Selebihnya, pembaca justru mendapatkan kesan yang berbeda dari yang ingin disampaikan Fadjroel. Bagaimana ia mendeskripsikan Yogaswara, presiden yang menjabat pada suasana ”sekarang” di tubuh cerita. ”Jenderal itu tingginya sekitar 185 cm, terlihat gemuk, lebih besar dan tinggi dari umumnya laki-laki Indonesia. Rambutnya tersisir rapi, dibelah ke pinggir, terlihat selalu menggerakkan tangan bila berbicara. Seperti diatur, bukan gerak alamiah umumnya.” (hlm. 276). Atau tentang istri dan anak Suprawiro yang bernama ”Ny Tina Suprawiro” dan ”Titut Suprawiro” (hlm. 113).

Yang sama sekali tak bisa ditahan Fadjroel adalah tumpukan data dan pengalamannya sebagai mantan aktivis mahasiswa, juga dari kimia ITB seperti Surianata, yang muncul di banyak setting: penjara Sukamiskin, tempat-tempat diskusi mahasiswa, jalanan, kuil Yasukuni Tokyo, referensi pada kitab-kitab babon para aktivis, kamp konsentrasi Nazi di Sachsenhausen, alusi-alusi pada karya-karya seni dari film, musik, puisi, sampai pentas opera, dan pelbagai nama tempat, hewan, tumbuhan, yang bukan saja komplit bahkan disertai dengan nama Latinnya sekaligus.

Novel pepat data ini, dengan begitu, semakin memperbesar ancamannya sendiri untuk memelesetkan sang penulis di sejumlah tempat. Dan itulah yang menjungkalkan Fadjroel dengan cukup telak sepanjang halaman 291-298, ketika Surianata bermain catur dengan kawannya satu penjara, Adi Putranto. Fadjroel menggambarkan permainan itu sebagai pembukaan Ruy Lopez yang disambut dengan varian Gambit Marshall yang dimenangi Surianata. ”Wah,” Adi terperanjat, ”32 langkah!” (hlm. 298).

Di sini Fadjroel merasa cukup mendeskripsikan awal permainan itu dengan pergerakan dua pion (e4 e5), yang sebenarnya merupakan pembukaan permainan terbuka (open game), yang bisa menjadi banyak varian. Sebab pembukaan Ruy Lopez dengan varian Gambit Marshall mestilah digambarkan sedikitnya dengan tiga langkah (1. e4 e5 2. Kf3 Kc6 dan 3. Gb5 a6), satu hal yang tampaknya memang tak diperhatikan Fadjroel. Kelemahan kedua terjadi pada celetukan Adi. Tak lazim terjadi seorang pemain amatir sampai hafal jumlah langkah yang sudah dimainkan.

Dua kelalaian di atas—yang terjadi akibat gairah Fadjroel pada detail kisah—terjadi karena ia tak menyadari bahwa ”partai” Surianata vs Adi Putranto yang diceritakannya sebenarnya adalah copy paste dari permainan sesungguhnya ketika Grand Master Hungaria Peter Leko secara brilian mengandaskan juara dunia asal Rusia, GM Vladimir Kramnik, dalam partai bersejarah di Brissago, Swiss, 8 Oktober 2004. Juga dalam 32 langkah yang sama, dengan pola skak mat 32. h4 g4. Di luar ”kecelakaan kecil” itu, Bulan Jingga tetap layak disimak karena faktor semibiografis yang dikandungnya.

Yang lebih piawai memainkan data sejarah adalah Eddri Suminta Ito, 26 tahun, yang menggunakan nama penulis E.S. Ito. Setelah novel perdananya Negara Kelima yang mendukung spekulasi Nusantara sebagai Benua Atlantis yang hilang, kini pemuda jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu datang dengan segunung data historis yang mencengangkan.

RAHASIA MEEDE Penulis: E.S. Ito Penerbit: Hikmah (PT Mizan Publika), 2007 Tebal: 675 halaman

Sementara Fadjroel memilih Istana Merdeka sebagai bagian utama dari novelnya, Ito justru menebar adanya spekulasi terowongan bawah tanah (de ondergrondse stad) yang melintasi bagian bawah istana sebagai akses untuk mendapatkan harta karun VOC (hlm. 145).

Apa pentingnya harta karun itu? Karena itulah satu-satunya faktor yang membuat pemerintah Indonesia, yang dipimpin Bung Hatta, bersedia menerima syarat berat pemerintah Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (1949) yang sangat tidak adil. Sebab, berdasarkan KMB, Indonesia akan menanggung utang Hindia Belanda 4,3 miliar gulden atau setara dengan US$ 1,13 miliar. Ini klausul yang awalnya mati-matian ditampik pemuda kurus bernama Sumitro Djojohadikusumo, anggota delegasi termuda.

Dengan kemampuan menulis thriller yang semakin matang, Ito menautkan, dengan cara yang tak terduga, perjanjian historis itu dengan pembunuhan berantai yang terjadi 50 tahun kemudian di Boven Digul, Bangka, Bukittinggi, Brussels, tempat-tempat eksotis dengan awal huruf yang sama. Lewat seorang tokoh fiktif, wartawan muda bernama Batu Noah Gultom, beberapa pembunuhan yang awalnya terlihat berdiri sendiri itu ternyata menampakkan benang merah pada terkuaknya kaitan dengan tujuh dosa sosial yang pernah diungkapkan Mahatma Gandhi.

Kendati teknik seperti ini pernah digunakan Matthew Pearl dalam The Dante Club, yang menggambarkan sejumlah pembunuhan tokoh terkemuka masyarakat berdasarkan nukilan sajak-sajak bagian Inferno yang ditulis Dante Alighieri, Ito membuat jejak keterpengaruhan itu tak begitu terlihat karena kefasihannya merangkai plot cerita.

Lantas apa pula hubungannya dengan Meede Erberveld, cucu perempuan Pieter Erberveld, satu dari empat orang yang membuat perkumpulan rahasia Monsterverbond pada 1666 bersama pejabat VOC Cornelis Speelman, Kapitan Jonker, dan Raja Bone, Arung Palakka? Monsterverbond, dalam narasi mengasyikkan Ito, adalah motor sesungguhnya di balik operasi-operasi VOC, sang pengumpul harta karun. Ketika keempat pendiri Monsterverbond satu per satu tewas, hilang pula Meede sang cucu bersama rahasia besar harta karun itu.

Dengan alur yang seakan memecah tak berhubungan satu sama lain, baik dari urutan waktu, korelasi tempat, dan nama bersejarah yang terlibat (Ito tak menyamarkan nama-nama tokoh sejarahnya seperti dilakukan Fadjroel), Rahasia Meede membuat lorong-lorong sejarah kita yang semakin berdebu menjadi bacaan yang mencerahkan.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus