DI padang salju Alaska, dua seteru itu bersatu. Mereka saling membahu dan sama-sama menderita menghadapi keadaan medan beku di sana. Dan itu semuanya masuk dalam agenda pertemuan puncak Reagan-Gorbachev beberapa bulan lalu. Penderitaan Bonnet, Crossbeak, dan Bone yang terjebak di tengah padang salju -- itulah yang membuat mereka sejenak melupakan permusuhan. Ketiganya yang terancam maut itu, adalah ikan Paus Abu-Abu. Nama itu berasal dari pakar yang bersimpati. Mereka menderita lantaran salah memperhitungkan musim. Seharusnya, ketiganya sudah bersukaria di pantai barat Mexico, sebelum musim dingin membekukan laut Alaska. Akibatnya, sejak 7 Oktober lalu, mereka hanya bisa menyembul-nyembulkan kepala di sebuah celah salju dekat Kota Barrow, tempat 3 ribu orang Eskimo bermukim. Sayang, Bone hanya mampu bertahan 2 minggu. Setelah itu, dia tidak lagi menampakkan diri. Menurut para ahli, Bone tewas di tengah cengkeraman gigitan es. Mayatnya hilang ditelan arus laut Arctic. Operasi penyelamatan jalan terus. Kapal pemecah es Soviet (Vladimir Arsenev dan Admiral Makarov) giat menggorok lapisan es setebal 40 Cm untuk membuka jalan bagi Bonnet dan Crossbeak agar menuju laut lepas. Sedangkan Amerika Serikat mengerahkan sebuah mesin pemecah es seberat 11 ton dan bajak raksasa yang tingginya 3 meter yang ditarik oleh sebuah helikopter. Orang-orang Eskimo juga tak ketinggalan. Dengan gergaji mesin, mereka selalu siap menjaga celah agar tidak menyempit. Hanya, sejak kehadiran mesin pencair es, yang ditempatkan di bawah permukaan, peran mereka berubah -- membuat lubang-lubang agar ketiga binatang itu tak kekurangan oksigen. "Masing-masing digerakkan oleh naluri," ujar Howard Braham, kepala Pusat Penelitian Ikan Paus dari Laboratorium Mamalia Samudra Nasional di Seatle, Washington. Tapi gayung tak bersambut. Senin pekan lalu, ketika digiring menuju jalur yang sudah disiapkan, Bonnet dan Crossbeak tiba-tiba menghilang. Entah ke mana. Ada yang bilang, keduanya tewas lantaran tak tahan lagi menghadapi penderitaan. Kendati demikian, ada yang bahagia. "Saya harap, mereka sedang dalam perjalanan ke selatan," ujar George Ahmaogak, walikota Barrow. Menurut dia, kedua paus itu terakhir terlihat pada pukul 08.45, waktu Alaska. Dan Ron Morris, koordinator bala bantuan dari Lembaga Penyelamatan Samudra Nasional dan Administrasi Atmosfir itu, sependapat dengan Ahmaogak. Memang, berdasarkan pengamatan dari berbagai lembaga ilmiah yang mempelajari tingkah laku ikan paus, tujuan Bonnet dan Crossbeak gampang ditebak. Sebab, setiap musim dingin, semua ikan paus dari California (termasuk Alaska) bermigrasi ke Meksiko. Di sana, mereka bersukaria dan berkembang biak. Kini jumlahnya diperkirakan sekitar 20 ribu ekor. Kenapa ikan-ikan paus itu tak mau melintas jalan yang sudah disediakan? "Karena bekas-bekas potongan es terlau tajam," kata Kolonel Tom Carrol dari Pengawal Nasional Amerika. Tapi, Presiden Ronald Reagan pekan lalu, mengucapkan terima kasih kepada seluruh awak kapal Vladimir Arsenev dan Admiral Makarov. Cuma, rencana pesta memperingati kesuksesan mereka ditunda sampai ada kepastian nasib Bonnet dan Crossbeak. Di tengah ketidakpastian itu, upaya yang menenggelamkan biaya lebih sejuta dolar itu, tidak ada artinya dibandingkan dengan pembantaian ikan paus yang terus berlangsung oleh para nelayan canggih. "Munafik," demikian terlompat komentar Grup Pencinta Lingkungan Dunia (WEG). Bahkan ada yang menganggap upaya itu bersifat politis, dan dihubungkan untuk menjaring suara pemilih dalam proses pemilihan presiden di AS yang sedang berlangsung. Tuduhan terhadap Uni Soviet lain lagi. Upaya itu dipakai untuk menarik simpati publik dunia. Operasi itu mahal. Tapi, seperti tulis kantor berita Tass, "Kehendak masyarakat dunia dan Amerika lebih berharga dari uang yang dihabiskan." Galibnya, dalam soal ikan paus, Jepang jadi pihak yang paling terpojok. Sebagai konsumen ikan paus terbesar di dunia, Jepang selalu dituding sebagai terdakwa utama dalam kemerosotan jumlah mamalia langka itu. Tapi Jepang juga sudah siap untuk menangkis tudingan itu. Sekaligus untuk menandingi pesatnya perkembangan larangan penangkapan ikan paus dari berbagai negara. Para ilmuwan negeri Sakura itu kini sedang kerja keras untuk membuka peternakan ikan paus dalam danau buatan. "Perut dan ginjalnya hampir sama dengan lembu," ujar Profesor Haisao Izawa dari Universitas Hokaido, ketua kelompok ilmuwan yang bereksperimen untuk mengembangkan peternakan binatang ini. Persoalan yang masih mengganjal adalah makanan. Ikan-ikan kecil dan plankton yang dihidangkan kepada si paus minimum harus seberat 4% dari berat badannya. Bayangkan, kalau berat mamalia itu di peternakan mencapai 5 ton. Jawab yang tengah diupayakan adalah mengganti menu, agar para peternak hanya cukup menghidangkan rumput pada ternak mereka. Dan tidak tanggung-tanggung pula. Mengingat harga rumput di Jepang cukup mahal, para ilmuwan itu kini juga mengembangkan rumput canggih yang bisa "ditanam" dalam perut paus. "Nanti produksi daging ikan paus akan berlimpah. Demikian pula dengan populasinya," ujar Izawa. Tapi yang layak diingat: peternakan itu akan menarik banyak turis. Kegilaan juga timbul. Para ilmuwan tersebut bahkan bermaksud mengubah lingkungan hidup paus dari air asin ke dalam air tawar. Sebab, secara teoretis, paus, sebenarnya jenis binatang yang hidup di air tawar. "Binatang itu melewati berjuta tahun sebelum bisa hidup di laut," ujar Kiyoharu Ohsumi, Kepala Laboratorium Perikanan Timur Jauh. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini