SEBELUMNYA pelaut C.W.M. van de Velde, di Negeri Belanda, tidak tercatat sebagai pelukis. Pada 1838 sampai 1841, ia berlayar ke Hindia Belanda, atau Indonesia, bersama kapal Z.M. Triton. Selama menjelajahi Nusantara itu, Velde membuat ratusan sketsa panorama dan gambar dengan pensil berwarna. Bahkan hingga ke pelosok dan kota-kota di Jawa, misalnya pemandangan di Ryswijk dan gedung pertemuan De Harmonie di Batavia. Ciptaan itu lalu ia bawa pulang ke negerinya. Kecekatan dan kebagusan karya Velde itu, ternyata, menumbuhkan minat para pencinta seni di sana. Dan untuk mengabadikannya, dipakailah tangan penggrafik, seperti Lauters dari Brussel, hingga gambar-gambar dengan hasil litografi itu sejuk, penuh warna, dan kaya detail. Di paruh pertama dan akhir abad ke-19, sampai awal abad ke-20, pelukis-pelukis Belanda (dan Eropa lainnya) juga datang susul-menyusul, lengkap dengan perangkat cat, kanvas, easel. Mereka melukis mirir kelompok Barbizon dari Prancis. Dan hampir bersamaan dengan kedatangan mereka itu, A.A.J. Payen, A.J. Bik, dan saudaranya menelusup pula ke Jawa, dibawa Prof. Reinwardt -- pendiri Kebun Raya Bogor. Pada 1916 pelukis-pelukis tadi mendirikan Bond van Nederlands Indische Kunstkringen (Ikatan Lingkungan Seni Hindia Belanda), cikal bakalnya Bataviasche Kunstkring, Lingkungan Seni Batavia. Dan suasana itu bahkan memancing kesadaran pelukis Indonesia, yang sebelumnya sedikit bergerak. Apalagi setelah Raden Saleh -- pelukis priayi yang meninggal pada 1880 -- seni lukis di sini vakum sekitar 50 tahun. Barulah di perempat awal abad ke-20, di antaranya muncul Abdullah Surio Subroto, Lee Man Fung dan Wakidi. Kelompok mereka kemudian dicap Mooi Indie alias Indonesia Molek. Sebutan itu memang berkonotasi sinis. Karya mereka dianggap sekadar menjual keindahan, dan tak hirau pada realitas buruk Indonesia yang sedang dijajah. MI itu dicerca: dangkal, karya "permukaan", dan berbohong. Dengan datangnya seorang kolektor Belanda, G.J. Scherpel, ini banyak artinya. Ia kolektor dan pedagang hasil seni di Den Haag dan Bussum yang belum pernah ke Indonesia. Tapi karena kenal beberapa kolektor di sini, antara lain Suteja Neka dan Yusuf Wanandi, Scherpel 61 tahun, bersemangat mengumpulkan karya-karya MI sejak belasan tahun lalu. Sebelumnya ia hanya terpikat pada lukisan antik Eropa dan Amerika. Scherpel memboyong simpanannya di Bussum, untuk dipamerkan di gedung pameran P dan K, depan Stasiun Gambir, Jakarta, dari 27 Oktober sampai 10 November ini. Pameran tersebut dirancang sejak setahun lalu. Karena 49 lukisan itu berharga ratusan juta rupiah, maka Verstrijden, direktur Erasmus Huis, Jakarta, bergotong-royong dengan pihak Kedubes Belanda dan Departemen P dan K. Lukisan-lukisan itu ciptaan Rudolf Bonnet, Eland, Hofker, Kinsen, Mystkowsky, Imandt, Ger Adolfs, Dake Jr., dan beberapa yang lain. Bahkan dibawa pula sebuah lukisan berusia 140 tahun, terawat baik, karya Payen. Ia pelukis Belanda awal abad ke-19, yang dikenang sebagai guru Raden Saleh. Sedangkan dari pelukis MI, hadir karya Abdullah Surio Subroto, Lee Man Fung, Basoeki Abdullah, Soejono, Soewardja Sumardi, Dewa Gde Sobrat, Ernest Dezentje. Juga ada sebuah lukisan S. Sudjojono orang yang paling garang menggempur Indonesia Molek -- berjudul Pemandangan Sepanjang Jalan, yang memang bernada menjual Indonesia. Lukisan-lukisan "antik" itu memang indah dipandang dengan mata nostalgik. Lukisan tertua adalah Pohon Tua karya Payen (1792-1853) berukuran 33 X 23 cm. Keteduhan dan ketenangan alam Indonesia tergambar apik lewat teknik cat minyaknya. Karya panorama lain yan memikat adalah Ger Adol (1897-1968). Pemandangan dari Ngorong dimanifestasikan dalam kehangatan matahari kemarau. Adolfs, yang juga melukis lelaki Bali pengadu ayam, melampiaskannya lewat sapuan kuas, spontan dan kasar. Ekspresi semacam itu juga pada lukisan Wilhem C.C. Bleckman (1853-1942) yang menggambarkan keramaian pasar di Minangkabau. Umumnya lukisan-lukisan pemandangan itu terjelma dalam teknik renaisans. Misalnya, karya-karya Willem G. Hofker (1902-1981), yang merekam figur-figur Bali. Beberapa karyanya itu diciptakan dengan pastel, pensil warna, dan cat minyak. Yang agak lain adalah Czeslaw Mystkowsky (1898-1938), seniman Belanda kelahiran Polandia. Ia melukis adu ayam dalam warna yang "tak selesai". Di deretan Indonesia muncul Sumardi. Namanya nyaris tak dikenal. Ia hadir dengan sebuah lukisan bagus, Gambar Seorang Wanita -- potret perempuan Jawa yang digarap realistik. Agus Dermawan T.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini