Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tentara palsu bertahun-tahun

Asisten dosen iain sunan gunung jati bandung, aceng uun sukarna selalu berpakaian militer. terakhir berpangkat letkol. setelah dilacak asal-usulnya ternyata tentara palsu. 10 tahun kemudian baru terungkap.

12 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kampus IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung, nama Aceng Uun Sukarna begitu kondang. Staf pengajar Sosiologi Pembangunan dan Kewiraan ini sehari-hari selalu tampil necis. Rambutnya yang dipotong pendek senantiasa terjaga rapi. Badannya tegap. Maklum, ia berpangkat letkol. dan bergelar Drs. Ke kampus ia selalu mengenakan seragam militer. Tak ada mahasiswa yang, misalnya, iseng bertanya dari kesatuan mana Bapak Uun ini. Kata Uun, sih, dia itu tamatan SMA Garut dan mengikuti Ujian Guru Agama tahun 1965. Lalu ia mengajar di sebuah SD di Sumedang. Sambil mengajar, pada 1977 ia mendaftar di Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung. Saat itu ia sudah berpangkat kapten. Lho, kapan memasuki sekolah ABRI tak dijelaskannya. Tahun 1981, Uun diwisuda di IAIN itu. Dengan modal sarjana dan pangkat kaptennya, dia diterima sebagai asisten dosen di almamaternya. Dan karier militernya terus menanjak. Tahun 1984 pangkatnya naik menjadi mayor. Tahun 1987 menjadi letkol. Dan sejak berpangkat letkol itu, diam-diam ada yang mengawasinya. "Kami curiga karena ada perwira menengah berkeliaran di Cimalaka," kata Kol. Suherman, Kapolwil Priangan. Yang dimaksud, Letkol. Drs. Uun. Kok, perwira menengah bisa bebas begitu? Akhirnya, September lalu Uun dipanggil polisi. Ia ditanya asal dan usulnya. Mula-mula ia menjawab seperti di atas tadi. Setelah dicek, tak ada nama Letkol. Drs. Aceng Uun Sukarna di wilayah Kodam Siliwangi. Hari itu juga Uun ditahan. Ia dituduh memakai seragam dan pangkat ABRI secara tidak sah. Lalu, siapa dia yang asli? Ia pernah kuliah di Institut Islam Siliwangi Bandung, sebelum masuk IAIN. Di situ ia menjadi anggota Resimen Mahasiswa. Sejak menjadi anggota Menwa inilah minat Uun menjadi anggota ABRI menggebu. Apalagi setelah teman-temannya ada yang diterima menjadi wamil. Maka, sejak 1976 ia mencari jalan pintas, mengenakan seragam ABRI dengan pangkat lettu. "Semua perlengkapan saya beli di pasar Kosambi," kata ayah enam anak ini. Meyakinkan memang. Semua orang kalau bertemu dia selalu memberi hormat. "Rasanya bangga sekali," kata Uun. Sepuluh tahun lebih ia dengan aman malang melintang dengan seragam palsunya. Ini betul-betul sebuah prestasi. Apalagi sudah tiga kali ia menjadi calo untuk memasukkan orang sebagai pegawai negeri. Uun minta imbalan sekitar Rp 500 ribu per orang. "Dengan pangkat letkol, saya lebih mudah berurusan kalau ke instansi-instansi," katanya pula. Petualangan Uun berakhir. Yang paling terpukul tentu saja IAIN. "Secara material kami tak dirugikan. Namun, nama institusi kami tercoreng," kata Achmad Supardi, Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung, dengan sedikit geram. Keluarga Uun juga jadi korban dan terpukul. "Selama ini kami juga tidak tahu apa-apa," kata Diah, anak Uun kedua. Di zaman ini, mungkin perlu seorang anak bertanya pada ayahnya, "Apakah Bapak tentara atau polisi atau wartawan... yang palsu?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus