Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kawanan ular, sebagian besar berbisa, muncul di tengah hunian penduduk.
Perubahan lingkungan menjadi permukiman manusia menggerus habitat alami ular.
Ada lebih dari 70 jenis ular berbisa di Indonesia, tapi hanya tersedia tiga serum untuk beberapa jenis ular.
KAWANAN ular kobra membuat penghuni perumahan Royal Citayam Residence, Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, tak tenang. Warga kompleks menjadi lebih sering memeriksa lingkungan di sekeliling mereka ketika berjalan atau saat mengobrol. Anak-anak yang tadinya berangkat ke sekolah sendiri kini diantar-jemput oleh orang tuanya. Pengajian juga sempat diliburkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang Desember 2019, tim pemadam kebakaran dan komunitas reptil menangkap 38 anak kobra Jawa (Naja sputatrix) di area perumahan tersebut. Menurut Hari Cahyo, Ketua Paguyuban Koordinator Warga Royal Citayam Residence, ular-ular berbisa itu diduga berasal dari kebun telantar di belakang kompleks. Mereka muncul bersamaan dengan datangnya hujan. “Hingga saat ini induknya belum ketemu,” ujar Hari pada Ahad, 29 Desember 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waswas terhadap kemunculan kembali ular yang mampu menyemburkan bisa itu, warga kompleks kian rajin bekerja bakti membersihkan halaman rumah, musala, taman kompleks, semak belukar, dan tempat pembuangan sampah. Tumpukan bahan bangunan dan semua lokasi yang diduga menjadi sarang ular pun tak luput dari inspeksi. Usaha bersih-bersih itu membuahkan hasil ketika warga kembali menemukan dua anak kobra. Toh, sang induk kobra tetap tak terlacak.
Kabar kawanan ular kobra menyebar di tengah permukiman manusia merebak dalam dua bulan terakhir. Lebih dari 50 ular kobra ditangkap di beberapa tempat di Jakarta; Tangerang Selatan, Banten; Bogor; Klaten, Jawa Tengah; Daerah Istimewa Yogyakarta; dan Jember, Jawa Timur.
Sebanyak 30 butir telur ular yang diduga kobra ditemukan telah menetas di perumahan di Kota Bekasi, Jawa Barat, pada 16 Desember 2019. Sepekan kemudian, lebih dari 20 telur kobra ditemukan dalam lubang di perumahan di Kabupaten Bekasi. Dinas Pemadam Kebakaran Kota Depok, Jawa Barat, bahkan menangkap 25 anak dan satu induk kobra di bawah fondasi rumah penduduk pada Senin, 30 Desember 2019. Total ada 60 ekor kobra, dalam keadaan hidup dan mati, ditemukan di 20 lokasi dari 11 kecamatan di Kota Depok.
Donan Satria Yudha, pakar ular dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan fenomena merebaknya kawanan ular seperti yang terjadi saat ini adalah kejadian alami. Ular di kawasan tropis tidak memiliki siklus reproduksi yang jelas, apalagi berlangsung sepanjang tahun. Umumnya reptil itu banyak bertelur ketika musim kering dengan kondisi dan suhu yang hangat untuk inkubasi. Ketika musim hujan dimulai, telur-telur itu menetas. “Kalau terlalu lembap malah enggak jadi,” kata dosen Sistematika Hewan dan Herpetologi di Fakultas Biologi UGM itu.
Peneliti reptil dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Amir Hamidy, menyatakan ular biasanya meletakkan telurnya di lubang atau di bawah serasah yang lembap. Ular kobra juga menyukai lokasi yang hangat untuk bertelur. Dalam rentang tiga-empat bulan kemudian, telur-telur itu menetas dan anak-anak kobra menyebar. “Awal musim hujan adalah waktu telur ular menetas. Ini fenomena wajar dan siklus alami,” ujar Amir.
Periode telur-telur menetas ini juga berbarengan dengan masa kemunculan katak, mangsa utama ular, yang banyak berkembang biak pada awal musim hujan. Anak-anak ular juga cepat menyebar karena ditinggalkan induknya. Berbeda dengan sebagian besar hewan yang menjaga anak-anaknya beberapa waktu setelah lahir atau menetas, ular hanya mengawal telur-telur pada masa mengerami. Induk kobra bahkan bisa langsung pergi setelah bertelur. “Anak kobra langsung menyebar mencari tempat berlindung dan mangsa sendiri,” kata Donan.
Perubahan lahan menjadi permukiman dan kawasan pertanian membuat frekuensi persinggungan ular dan manusia makin rapat. Akibatnya, habitat alami ular kian sempit dan tersegmentasi. Ketika musim kawin dan bertelur tiba, ular kembali melakukannya di tempat yang sama meski kondisinya sudah berubah dengan banyaknya manusia yang menetap di habitat mereka. “Dari dulu itu kan kawasan ular, jadi sebenarnya manusia yang invasif atau meneror ular,” ujar Donan.
Kawasan Kota Depok dan Bogor termasuk wilayah yang mengalami perubahan drastis. Perkembangan Ibu Kota menarik lebih banyak populasi manusia mendekat. Permukiman dibangun di kawasan yang tadinya merupakan wilayah perkebunan dan hutan. Area perumahan Royal Citayam Residence, tempat ditemukan lebih dari 30 anak kobra, dibangun sekitar delapan tahun lalu. Sebelumnya, lokasi itu adalah perkebunan dan persawahan yang dikenal sebagai habitat ular.
Puluhan kobra juga ditemukan di kawasan hunian penduduk di Tanah Sareal, Kota Bogor, pada pertengahan Desember tahun lalu. Persinggungan manusia dan ular seperti kobra, ular tanah, hingga sanca juga beberapa kali dilaporkan sebelumnya. Sebelum diubah menjadi permukiman, wilayah itu dulu adalah perkebunan, kawasan semak belukar, dan hutan bambu. Wilayah hutan bambu yang lebih rimbun berujung di hulu Kali Angke. “Banyak ular di situ,” kata Haji Ocib, 91 tahun.
Haji Ocib mengenal betul perubahan lingkungan yang terjadi di kawasan Kali Angke. Bersama keluarganya, dia lari dari kejaran tentara Belanda hingga akhirnya menetap di perkampungan kecil di wilayah itu pada 1935. Kala itu daerah sekitar kampungnya adalah hutan belantara. Ular, babi hutan, dan macan tutul lebih dulu hidup di kawasan itu dan tak pernah diusik warga kampung. “Saya, kakak, dan adik numpang hidup di sini,” ucap Haji Ocib. “Sekarang masyarakat malah sebaliknya, menganggap hewan mengganggu.”
Jawa Barat adalah provinsi terpadat di Indonesia dengan populasi mencapai 49 juta jiwa atau sekitar 18 persen dari total penduduk Indonesia. Setiap tahun, peralihan fungsi lahan menjadi permukiman terus bertambah. Kawasan yang tadinya hutan juga diubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan.
Data Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan kerusakan lahan dan hutan yang menjadi habitat satwa liar bertambah dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Luasnya mencapai 569 ribu hektare. Kerusakan terluas ada di Kabupaten Sukabumi, mencapai 236 ribu hektare; disusul Kabupaten Cianjur (158 ribu hektare), Kabupaten Bogor (92 ribu hektare), Kabupaten Bandung Barat (53 ribu hektare), dan Kota Bandung (46 ribu hektare).
Kepala Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Taruna Jaya, mengatakan kerusakan habitat alami satwa liar, termasuk ular, itu membuat mereka merangsek ke daerah hunian manusia. Banjir pun lebih mudah terjadi karena hutan di hulu yang menjadi kawasan serapan air lenyap. Taruna mengatakan penduduk dan pemerintah seharusnya lebih serius mengantisipasi kondisi seperti ini. “Jangan menyalahkan hewan dan menyiapkan pertolongan medisnya, perhatikan juga hak mereka yang habitatnya dirusak,” katanya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, M.A. MURTADHO (BOGOR), ADE RIDWAN YANDWIPUTRA (DEPOK)
Banyak Bisa, Minim Penawar
Kehadiran kobra membuat gempar. Serangan ular itu telah mengirim tujuh orang ke rumah sakit di Depok, Jawa Barat. Sebanyak 15 orang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang, Jawa Barat, gara-gara dipatuk kobra. Empat orang di Gowa, Sulawesi Selatan, tewas setelah digigit reptil itu. “Kobra itu reptil terestrial alias menyukai daerah tanah, jadi paling mudah dijumpai,” kata Donan Satria Yudha, ahli ular dari Universitas Gadjah Mada.
Selain kobra Jawa, yang terdistribusi di Jawa, Bali, Lombok, hingga Flores, di Indonesia juga hidup kobra Sumatera (Naja sumatrana), yang tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Ular kobra Jawa menghuni habitat seperti perbatasan hutan terbuka, sabana, persawahan, dan pekarangan. Reptil ini bisa tumbuh sampai sepanjang 1,8 meter dengan menghasilkan hingga 20 telur.
Indonesia memiliki sekitar 360 jenis ular, 77 di antaranya berbisa. Namun Indonesia hanya memiliki tiga serum antibisa ular untuk kobra, welang, dan ular tanah. Di Papua malah ada salah satu ular berbisa paling mematikan, death adder, yang penawarnya tidak diproduksi di dalam negeri. “Serumnya langka. Harganya mencapai Rp 86 juta,” ujar Donan.
Donan mengatakan pertolongan pertama yang tepat pada korban gigitan ular berbisa memperbesar peluang korban selamat. Sebelum penggunaan serum, menurut dia, harus dipastikan dulu jenis ular berbisa yang menggigit. Salah serum malah bisa membahayakan korban.
Meski terbatas, serum-serum yang tersedia di Indonesia bisa diaplikasikan untuk beberapa jenis ular berbisa. Serum antibisa kobra Jawa masih bisa diaplikasikan untuk kobra Sumatera, sementara penawar racun welang bisa digunakan untuk antibisa weling (Bungarus candidus). “Sementara ini kita aman untuk beberapa jenis, tapi riset antibisa ini harus ditingkatkan,” katanya.
Menurut ahli gigitan ular berbisa, Tri Maharani, di Indonesia terjadi sekitar 135 ribu kasus gigitan ular beracun setiap tahun. Padahal penawar yang bisa diproduksi hanya berkisar 40 ribu per tahun.
Tidak semua rumah sakit menyediakan antivenom ini. Meski demikian, prosedur penanganan awal yang benar terhadap korban gigitan ular berbisa bisa berdampak besar pada keselamatannya. Korban gigitan ular berbisa harus segera dibawa ke tempat layanan kesehatan. Obat-obatan tradisional tidak bisa mengeluarkan venom dari tubuh. “Disilet, diisap, atau diikat juga tidak bisa,” ujar Tri.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo