Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Islam mengakui adanya jenis selain perempuan dan laki-laki.
Dalam fikih klasik dikenal mukhannast atau laki-laki yang memiliki karakter atau sifat-sifat seperti perempuan. Sedangkan mutarajjilat adalah perempuan yang punya karakter dan sifat seperti laki-laki.
Baik mukhannats maupun mutarajjilat terdiri atas dua kategori, yakni yang khilqah (kodrati) dan yang tashannu' (dibuat-buat). Yang dilaknat adalah yang dibuat-buat.
EMPAT PULUH lima santri Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta, berkeluh-kesah kepada Kiai Mustofa Bisri atau Gus Mus saat berkunjung ke Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin di Desa Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Kepada Gus Mus, Shinta Ratri, pemimpin pesantren waria itu, menuturkan pengalaman buruknya pada 2016 ketika didatangi sejumlah anggota dari salah satu organisasi kemasyarakatan keagamaan. Belasan orang yang marah itu menggeruduk rumahnya yang juga tempat mengaji para santri seraya menuduh pesantren tersebut kedok agar waria leluasa berbuat maksiat. “Aktivitas kami terhenti tiga bulan. Kami tak bisa belajar mengaji karena ketakutan,” kata Shinta, Jumat, 20 Desember 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shinta dan semua santrinya menyambangi Gus Mus karena ulama itu terkenal kerap menyebarkan kesejukan dan kedamaian. Hampir 30 menit santri waria berbaur dengan tamu laki-laki dan perempuan dari berbagai daerah mendengarkan wejangan Gus Mus. Di hadapan para tamu, Gus Mus menyebutkan bahwa Islam tak hanya mengenal laki-laki dan perempuan, tapi juga mengakui keberadaan khuntsa atau orang yang berkelamin ganda. Menurut Gus Mus, orang yang mengatakan Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan kurang mengaji karena fikih dan Al-Quran menjelaskan keberadaan jenis selain perempuan dan laki-laki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rombongan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, yang berdiri pada 2008, juga bertamu ke Kiai Muadz Thohir, pemimpin Pondok Pesantren Roudloh Aththohiriyah di Kajen, Pati, Jawa Tengah. Kiai Muadz berbincang dengan para santri waria selama satu jam. Mereka melontarkan sejumlah pertanyaan, di antaranya tentang ibadah salat waria dan cara memperlakukan jenazah waria sesuai dengan hukum Islam. Shinta bercerita tentang anggota salah satu ormas keagamaan yang menuding ibadah waria tidak diterima Allah dan memaksa santri agar bertobat menjadi laki-laki.
Senada dengan Gus Mus, Kiai Muadz mengatakan keberadaan waria dalam Islam mendapat pengakuan. Kiai Muadz menyebutkan ia menerima santri waria karena waria sama-sama makhluk Allah. Waria juga mempunyai potensi dan pemikiran serta sama-sama beribadah. “Mereka yang membenci waria itu tidak belajar Al-Quran secara utuh,” ujar Kiai Muadz.
Perlakuan buruk kerap dialami kaum waria di banyak tempat di Indonesia. Waria, yang merupakan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), bahkan dianggap sebagai ancaman dan paling tak disukai. Hasil survei Saiful Mujani Research & Consulting pada 2018 mengungkap bahwa 41,4 persen dari 1.220 responden yang berusia di atas 17 tahun dari 34 provinsi di Indonesia merasa LGBT sangat mengancam. Setahun sebelumnya, hasil survei Wahid Foundation bersama Lembaga Survei Indonesia menemukan bahwa 17,8 persen dari 1.520 responden di 34 provinsi memilih LGBT sebagai kelompok yang tidak disukai di Indonesia. LGBT menempati urutan kedua setelah komunis dan mengalahkan Yahudi, dan Syiah.
Menurut catatan lembaga swadaya masyarakat Arus Pelangi, sejak 2006 hingga 2018, ada 1.850 orang dari kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, dan interseks (LGBTI) yang menjadi korban persekusi. Para korban itu merupakan bagian dari 172 kasus--terutama ujaran kebencian--pada kurun 12 tahun tersebut. “Penyebab diskriminasi yang meluas dan sistemik itu karena masifnya ujaran kebencian yang dilakukan tokoh masyarakat, aparat penegak hukum, eksekutif, dan legislatif,” ucap Riska Carolina, peneliti dan penulis Catatan Kelam: 12 Tahun Persekusi LGBTI di Indonesia, Senin, 23 September 2019.
Pengajar pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati, Cirebon, Kiai Husein Muhammad, mengatakan tradisi Arab atau teks Arab mengenal khuntsa, yang artinya manusia yang mempunyai dua alat kelamin, yakni vagina dan penis. Ada juga mukhannats, yakni orang dengan tubuh laki-laki yang memiliki kecenderungan seks atau orientasi seksual kepada yang sejenis (laki-laki). Menurut peraih doctor honoris causa dari Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, ini, waria di Indonesia tergolong sebagai mukhannats.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Imam Nahe'i mempunyai pandangan yang sama dengan Kiai Husein ihwal waria. Islam, kata Imam, mengenal waria sebagai mukhannats atau laki-laki yang memiliki karakter atau sifat seperti perempuan. Sedangkan mutarajjilat adalah perempuan yang mempunyai karakter dan sifat seperti laki laki. Baik mukhannats maupun mutarajjilat, menurut Imam, terdiri atas dua kategori, yakni yang khilqah (kodrati) dan yang tashannu' (dibuat-buat).
Imam menyebutkan ada dua hadis Nabi Muhammad, yakni Riwayat Bukhori dan Shahih Turmudzi, yang menyatakan Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan (mukhannats) dan perempuan yang menyerupai laki-laki (mutarajjilat). “Kedua hadis itu harus diposisikan dalam dua jenis tadi, kodrati dan dibuat-buat. Jadi yang dilaknat itu kalau dibuat-buat,” ujar Imam. “Mengapa kalau yang tashannu’ itu haram karena ada tujuan yang tidak baik.”
Ihwal membedakan waria yang kodrati atau alami dengan yang dibuat-buat, Kiai Husein mengatakan sulit mengidentifikasinya. Alasannya, kata dia, baik yang kodrati maupun yang dibuat-buat itu berhubungan dengan cinta yang merupakan pemberian Tuhan. “Orang tidak tahu kapan cinta datang dan kapan pergi,” ucapnya.
Kiai Husein mengaku punya pengalaman mendengarkan cerita waria yang diusir keluarganya saat mengikuti konferensi internasional di Malaysia. Dia melihat film yang menggambarkan seorang bocah laki-laki berumur 5 tahun yang suka mengenakan baju perempuan dan bersolek. Kalau keluar dari kamar, bocah itu kembali mengenakan pakaian laki-laki. Suatu hari ibunya tahu dan memarahi bocah tersebut, lalu memukuli dan mengusirnya. Bocah itu, menurut Kiai Husein, termasuk mukhannats khilqah.
“Orang yang mengatakan Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan kurang mengaji karena fikih dan Al-Quran menjelaskan keberadaan jenis selain perempuan dan laki-laki.”
Kiai Husein mengatakan kebanyakan orang mencampuradukkan antara orientasi seksual dan perilaku seksual. Kemudian menyamakan antara homoseksual dan perilaku sodom kaum Nabi Luth. “Menurut saya, tidak selalu begitu. Laki-laki yang punya orientasi seksual perempuan tidak selalu melakukan praktik sodomi. Dia hanya cinta, keinginan melakukan hubungan seksual sejenis,” kata penulis buku Fiqh Seksualitas, yang terbit pada 2016, ini.
Kiai Husein menambahkan, orang yang mempunyai orientasi seksual menyukai yang sejenis tidak selalu melakukan sodomi. Dan orang yang menyukai lawan sejenis dan heteroseksual bisa jadi melakukan praktik sodomi. “Dalam khazanah Islam, yang tidak boleh itu sodomi, bukan orientasi seksual,” ujarnya. Pemahaman yang mencampuradukkan orientasi seksual dan perilaku seksual itu, kata Kiai Husein, berbahaya karena bisa menyebabkan penangkapan sewenang-wenang terhadap waria.
Ihwal penyaluran hasrat seksual waria, menurut Kiai Husein, Islam mengenal mukhaadzah, yakni laki-laki yang menggesek-gesekkan alat kelaminnya di antara paha lelaki lain. “Aktivitas seksual mereka ini bukan tergolong sodomi. Ada juga sihaq, yakni perempuan yang menggosok-gosokkan alat kelaminnya di antara bagian pinggang yang menonjol,” ujar Kiai Husein.
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede yang juga penasihat Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, KH Abdul Muhaimin, mengatakan senang karena kiai sepuh seperti Gus Mus sebagai pemangku pesantren memberikan empati dan simpati terhadap santri waria. Ini menunjukkan ada pengakuan terhadap fakta-fakta sosiologis dan perlu jalan keluar untuk mengurangi tingkat diskriminasi terhadap mereka.
Kiai Muhaimin mewacanakan ide fikih transgender dan sedang mengkaji penyusunannya bersama Universitas Nahdlatul Ulama, Jepara, Jawa Tengah. Dalam fikih klasik, kata Kiai Muhaimin, terdapat khuntsa yang menunjukkan kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Fikih transgender itu, menurut dia, harus lebih banyak berwarna tasawuf agar tidak hitam-putih. Wacana fikih transgender ini penting untuk memperkaya fikih klasik melalui muatan-muatan tasawuf. “Saya ingin memperkaya fikih itu dengan tasawuf. Basis saya jelas kemanusiaan. Waria itu tergolong Bani Adam seperti disebut dalam Al-Quran. Tidak ada segregasi. Apa pun jenis kelaminnya, mereka manusia,” ujarnya.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo