Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI banyak seniman di Indonesia, hanya Suprapto Suryodarmo yang begitu intens mengolah diri di candi-candi dan situs-situs arkeologis. Bagi Prapto--sapaan akrab Suprapto--candi bukanlah suatu monumen mati, melainkan monumen hidup. Pada 1970-an, dia mengajak murid-muridnya berlatih gerak di candi dan situs arkeologi di Jawa Tengah, seperti Prambanan, Borobudur, Cetho, Sukuh, dan Sangiran. Dari Candi Jago, Malang, sampai Gua Selomangleng, Kediri, Jawa Timur. Dari Gua Gajah sampai Pura Samuan Tiga di Bedulu, Bali. Bukan hanya itu, sejak 2008, tiap tahun bersama murid-muridnya di Inggris, ia mengadakan lokakarya gerak di situs megalitikum Avebury dan Stonehenge.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suprapto memiliki posisi tersendiri dalam dunia seni. Posisi itu belum dirumuskan dengan baik di sini. Ia mengajarkan gerak, tapi bukan tari. Ia mengajarkan meditasi, tapi bukan jenis meditasi dengan duduk diam penuh konsentrasi sembari mata terpejam. Murid-murid Eropanya bukan hanya seniman, tapi juga dokter, rohaniwan, arsitek, guru martial art, perawat, dan ahli akupunktur. Kepada semua muridnya itu, ia mengajarkan sebuah gerak bebas, yang disebutnya Amerta Movement.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam beberapa kesempatan, Prapto menjelaskan gerak bebasnya bertolak dari kehidupan sehari-hari: gerakan saat tidur, menggeliat, berjalan, hingga melompat. Gerak tersebut, menurut dia, harus ada unsur sumeleh atau kepasrahan kepada Gusti Allah. Juga harus atas kesadaran sepenuhnya. Dalam metode latihan Prapto, seseorang yang berjalan hanya beberapa meter bisa sampai mungkin satu jam durasinya karena harus sadar terhadap semua langkah kaki dan ayunan tubuhnya, termasuk rasa telapak kaki yang menyentuh tanah.
Sementara dalam meditasi biasa semua perubahan di lingkungan sekitar dilihat dari posisi diam, Prapto sebaliknya mengajarkan melihat terjadinya perubahan dalam posisi tubuh yang ikut berubah. Bila mengajak murid-muridnya ke Pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, Prapto menstimulasi mereka bergerak bebas tapi sembari intim mengamati perubahan di sekitar, dari desir angin, burung melayang, awan berarak, sampai bayangan kita di pasir pantai yang tersapu buih ombak. Dalam mengajarkan gerak kepada murid-murid Eropanya, kata-kata kunci Prapto yang sering terdengar adalah moving, breathing, sensing, blossoming, blessing.
Saat wafat pada Ahad, 29 Desember 2019, pada usia 74 tahun, Prapto sesungguhnya tengah mempersiapkan acara “Srawung Seni” di Candi Sukuh untuk memperingati detik-detik pergantian tahun 2019 dan “Sharing Time: Megalitikum Milenial” di Tulang Bawang Barat, Lampung, pada 23-26 Januari 2020. Dia tertarik ke Lampung Barat karena tempat itu memiliki situs megalitik Batuberak. Prosesi persemayaman Prapto sendiri di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, berlangsung khidmat. Puluhan penari Solo--diiringi tembang Jawa dan mantra Buddha yang didaraskan Bhante Tejapunno Mahathera--mengelilingi peti jenazahnya.
Prapto bisa disebut bagian penting dari sejarah Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT). Jauh sebelum TBJT berdiri, dia menjadi Sekretaris Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT), yang merupakan cikal-bakal TBJT. PKJT saat itu berlokasi di Sasana Mulya, Keraton Kasunanan Surakarta. Di TBJT, Prapto banyak membikin gebrakan. Ia bersama Kepala TBJT saat itu, mendiang Murtijono, dan Halim H.D. menyelenggarakan “Nur Gora Rupa”--sebuah pesta seni alternatif--pada 1994, yang memperbolehkan seniman mana pun bereksperimen. Beberapa hari menjelang wafatnya pun ia masih tampil di Festival Solo Butoh (17-20 Desember) di Teater Arena, TBJT.
Penari Sardono W. Kusumo dalam pidato persemayaman Prapto menyebutkan, “Kami sama-sama lahir dan tumbuh besar di Kampung Kemlayan. Kemlayan dari kata Sanskrit ‘laiya’ yang artinya irama terdalam. Kemlayan adalah kampung para maestro gamelan seperti Ngaliman dan Mlayawidodo. Tiap hari di sana terjadi pembicaraan mendalam tentang tari dan sastra. Prapto tumbuh dalam penghayatan itu.” Prapto pernah mengatakan, semenjak kecil, dia sering diajak bapaknya melakukan ritual kejawen hingga ke Wonogiri dan Gunung Lawu, Jawa Tengah.
“Prapto tidak dalam tataran tari. Namun dia berada pada aras yang lebih penting. Prapto berada di wilayah pre-expressiveness. Dia menciptakan atmosfer atau suasana yang membuat orang tersentuh. Prapto tidak memburu bentuk. Bentuk diserahkan ke masing-masing,” ujar Sardono. Barangkali buku Embodied Lives: Reflections on the Influence of Suprapto Suryodarmo and Amerta Movement bisa menjadi bukti apa yang dikatakan Sardono itu.
Buku itu berisi serangkaian pengakuan 30 murid Prapto dari berbagai penjuru Eropa. Mereka membuat testimoni mengenai manfaat gerak Amerta terhadap pekerjaan mereka sehari-hari. Seorang muridnya yang bekerja di sebuah rumah sakit di Jerman, misalnya, mengaku latihan Prapto membuatnya lebih peka saat menerapkan terapi psikosomatik. Muridnya yang lain menulis berlatih dengan Prapto membuatnya mampu “berdialog” dengan bayi di ruang perawatan intensif neonatal. Seorang arsitek juga merasa lebih peka terhadap ruangan.
Suprapto pemeluk Buddhisme Theravada. Ia menjalani penahbisan sebagai penganut Buddha dalam upacara Upasaka pada 1974. Sebagai Buddhis, ia belajar meditasi Vipassana, yang merupakan latihan rohani untuk melatih pengamatan murni. Berbarengan dengan itu, ia mengikuti latihan meditasi di Paguyuban Kebatinan Sumarah. Vipassana dan Sumarah sesungguhnya adalah fondasi bagi lahirnya Amerta Movement.
Laura Romano, seorang Italia yang belajar Sumarah di Solo semenjak 1970-an dan penulis buku Sumarah: Spiritual Wisdom from Java, menjadi saksi pergumulan Prapto dengan Sumarah. “Pada 1970-an, banyak pamong Sumarah di Solo. Saya belajar Sumarah kepada Pak Suwondo, yang merupakan paman Sardono; sementara Prapto belajar kepada Pak Sudarno Ong,” kata Laura. Sudarno Ong adalah peranakan Tionghoa dan penganut Buddhis yang bersahaja. Sehari-hari dia berjualan arang di rumahnya yang kecil di kawasan Jalan Yosodipura, Solo. “Pak Sudarno Ong meminjam pendapa rumah Pak Ananda Suyono di Jalan Ronggowarsito. Seminggu dua kali latihan. Pesertanya banyak orang asing. Mas Prapto sering ikut di situ,” tutur Laura.
Bertolak dari Vipassana dan Sumarah, Prapto lalu melakukan pencarian sendiri dalam bentuk gerak. Dalam latihannya di Stonehenge, 2 Juni 2011, sebagaimana dicatat murid-muridnya, Prapto mengatakan, “Yang diajarkan Sumarah adalah relaksasi. Relaks, relaks, sedikit demi sedikit seluruh organ tubuh kita relaks sampai akhirnya kita pasrah, menyerahkan diri total kepada Tuhan. Bernapas dalam Sumarah berbeda dengan latihan Anapana Sati (perhatian penuh pada napas) dalam Vipassana. Sementara di Vipassana kita harus sadar dengan setiap tarikan napas kita, dalam Sumarah kita harus berada dalam napas.”
Melalui Amerta Movement, Prapto melakukan lintas batas. Dia tak hanya berhenti pada melatih meditasi gerak dari seni rupa, tapi juga mengajak kolaborasi berbagai seniman, dari bidang film, teater, sampai tari, untuk berpentas. Tapi dia tidak menyebut apa yang disajikannya berada dalam wilayah seni pertunjukan, tapi sebuah seni ritual. Atas nama seni spiritual inilah Prapto banyak menciptakan acara, dari “Srawung Candi”, “Solah Bawa”, sampai “Umbul Dongga”. Beberapa di antaranya menarik. Misalnya, pada 1990-an di Padepokan Lemah Putih yang didirikan Prapto di Mojosongo, Solo, komponis Fahmi Alatas dari Institut Kesenian Jakarta membuat labirin dari tonggak-tonggak kayu berdasarkan perhitungan Kitab I Ching. Prapto dan perupa Agus Jolie (almarhum) bergerak memasuki kotak labirin dari arah berbeda dan berusaha mencari titik temu.
Nama Suprapto diperhitungkan dalam dunia seni setelah ia mementaskan Wayang Buddha pada 1970-an. Wayang ini terinspirasi kisah Sutasoma. Karya ini mulanya disebut Wayang Seng karena waktu itu perupa Hajar Satoto (almarhum) membuat wayang tersebut dari bahan seng. Pementasan pada hari raya Waisak di Candi Mendut, Magelang, Jawa Tengah, membuat orang akhirnya menyebut pementasan itu “Wayang Buddha”. Wayang Buddha akhirnya disajikan dalam Pekan Penata Tari Muda di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1978.
Prapto pernah berkolaborasi dengan penari butoh Jepang, Katsura Kan, menyajikan The Tempest of Borobudur di Candi Borobudur, yang mengajak Bhante Pannavaro Thera. Pentas terakhirnya di Borobudur pada November 2019, ia tampil dalam acara “Ritual Kalacakara Tantrayana”, yang dilakukan para biksu True Buddha Foundation dari Taiwan. Para biksu membuat mandala besar di lapangan Kenari, Borobudur, yang tak jauh dari badan candi. Begitu Prapto masuk, tiba-tiba suasana seperti berbalik. Para pemusik Prapto dari Bugis mengelilingi mandala sembari menabuh gendang dan meniup pui-pui. Prapto dan beberapa warga padepokan Tutup Ngisor Lereng Gunung Merapi masuk dengan mengusung kain putih bertulisan “Rajah Kalacakra” dalam bahasa Jawa. Prapto tampak bahagia bisa menghadirkan ritual seni Nusantara di zona I Borobudur.
Saya ingat, sebelum pertunjukan itu, di Solo saat Prapto baru pulang dari pengembaraannya di Eropa selama empat bulan, ia menghadiahi saya buku The Spell of the Sensuous karangan David Abram. Abram adalah doktor filsafat dari State University of New York, Amerika Serikat, yang melakukan penelitian mengenai khazanah pengobatan dukun-dukun di Indonesia dan Nepal. Dia lalu membaca ulang pemikiran filsuf Prancis, Merleau Ponty. Terutama buku Ponty, The Visible and the Invisible (Studies in Phenomenology and Existential Philosophy). Lewat pengalamannya di Nusantara dan Nepal, Prapto mengarahkan pandangan Ponty untuk sebuah cara pandang mengenai pancaindra yang lebih peka terhadap perubahan ekologi. “Buku ini banyak dibaca murid saya di Eropa,” katanya. Sabbe sankhara anicca. Semua yang terbentuk tidak kekal.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo