Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo menjadi kardinal ketiga asal Indonesia.
Paus Fransiskus memilih pria 65 tahun asal Sedayu, Yogyakarta, ini sebagai kardinal karena getol menggelar dialog lintas agama.
Kardinal Suharyo juga dikenal vokal menyuarakan isu Papua dan persoalan sosial lainnya.
UNTUK ketiga kalinya, seorang uskup agung asal Indonesia ditunjuk sebagai kardinal atau “pangeran” Gereja Katolik Roma. Pemimpin Takhta Suci Paus Fransiskus melantik Uskup Agung Jakarta Monsignor Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo sebagai satu dari 13 kardinal baru di Vatikan pada 5 Oktober tahun lalu. Romo Suharyo meneruskan jejak Kardinal Justinus Darmojuwono dan Kardinal Julius Darmaatmadja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paus memiliki pertimbangan khusus dalam menunjuk para kardinalnya kali ini. Mereka yang dipilih adalah pegiat dialog lintas iman, pembela pengungsi, ataupun pejuang lingkungan. “Meski tidak dikatakan eksplisit kepada saya, beliau (Paus) mengetahui penduduk Indonesia sebagian besar adalah penduduk muslim terbesar di dunia, tapi kehidupannya sejak dulu harmonis,” kata Suharyo dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, dan Aisha Shaidra di kantor Keuskupan Agung Jakarta, Selasa, 24 Desember 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terpilihnya Suharyo sebagai penasihat Paus juga menyiratkan perhatian besar Vatikan kepada Indonesia. Vatikan merupakan salah satu negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Pengakuan itu ditandai dengan pembukaan delegasi apostolik Vatikan atau perwakilan kepausan di Jakarta, dua tahun setelah Sukarno dan Mohammad Hatta mengumandangkan kemerdekaan.
Selama berkiprah sebagai pemuka agama Katolik, Suharyo dikenal getol menggagas dialog lintas agama. Pria 69 tahun yang menjadi Ketua Konferensi Waligereja Indonesia ini juga kritis menyuarakan isu-isu sosial, seperti isu Papua dan perlawanan petani Kendeng, Jawa Tengah, menolak pembangunan pabrik semen. Suharyo, mengutip sabda Yesus, mengatakan bahwa manusia hendaklah berbela rasa terhadap manusia lainnya. “Paus dalam suratnya juga menyampaikan tentang compassion alias bela rasa,” ujarnya.
Dalam perbincangan selama sekitar dua jam, Romo Suharyo menceritakan tentang berbagai hal, ari penunjukannya sebagai kardinal, kepeduliannya pada isu-isu sosial, intoleransi, hingga dugaan perundungan seksual di gereja Katolik di Indonesia.
Apa yang disampaikan Paus Fransiskus saat menunjuk Anda sebagai kardinal?
Penunjukan ini tidak berkaitan dengan kekuasaan, tapi martabat. Makin tinggi martabatnya, makin dituntut pelayanannya. Mempraktikkan perintah kasih yang total dari Yesus dalam bentuk sekecil apa pun, dalam perjuangan bermacam-macam. Intinya komitmen tanpa kompromi. Pesan beliau, penunjukan ini jangan dirayakan dengan pesta seolah-olah menunjukkan kenaikan pangkat.
Anda satu-satunya uskup agung dari Asia yang baru dilantik menjadi kardinal. Bagaimana Paus melihat situasi Indonesia saat ini?
Akhir-akhir ini Paus lebih mengenal Indonesia. Saat melihat peta Indonesia dan mengetahui dari Sabang hingga Merauke tak cukup dicapai naik pesawat selama delapan jam, ia baru paham Indonesia begitu besar. Kedua, beliau selalu menyebut Indonesia dalam doa, terutama saat terjadi bencana. Dalam pertemuan dengan para uskup asal Indonesia di Vatikan, Juni tahun lalu, Paus juga sempat bertanya apakah Dokumen Abu Dhabi dikenal di Indonesia. Saya menjawab dikenal. Sesudah dokumen itu muncul, pada bulan Ramadan, Wahid Foundation, Maarif Institute, Gusdurian, dan Paramadina mengundang kami untuk berbicara mengenai hal itu.
(Pada 4 Februari 2019, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmed at-Tayyeb, menandatangani Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan atau dokumen Deklarasi Abu Dhabi dalam Pertemuan Persaudaraan Manusia di ibu kota Uni Emirat Arab itu.)
Apa yang bisa kita pelajari dari Dokumen Abu Dhabi?
Di situ didaftar hal-hal yang menjadi masalah kemanusiaan. Dan ini dilihat oleh komunitas-komunitas lintas iman sebagai masalah lintas iman untuk ditanggapi bersama. Bagaimana komunitas lintas iman melihat realitas seperti itu dan mencari jalan keluar. Soal HIV, kesenjangan ekonomi, lingkungan hidup, kemiskinan, semua ada di dalamnya.
Termasuk soal intoleransi?
Kami menyebutnya konflik agama. Sumbernya ditengarai adalah pemahaman agama yang tidak benar. Semua agama pasti mengajarkan damai. Kenapa sampai ada konflik? Paus tidak hanya mengamati Indonesia. Ada juga konflik yang tak pernah selesai di Timur Tengah, Afganistan, dan lainnya.
Larangan merayakan dan mengucapkan selamat Natal masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Bagaimana gereja Katolik menyikapinya?
Watak kita semestinya Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, UUD 1945, hidup di negara kesatuan Indonesia. Maka diskriminasi seperti itu seharusnya tidak ada. Tapi nyatanya ada. Saya yakin, kalau masalahnya agama, pasti tidak akan sampai ke situ. Ini pasti agama dijadikan alat untuk kepentingan entah apa.
Di Dharmasraya, Sumatera Barat, polisi tak bisa berbuat apa-apa karena sudah ada kesepakatan warga untuk melarang perayaan Natal.
Pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk memastikan kebaikan bersama di wilayah itu. Kalau ada anggota masyarakat yang menyalahi seluruh kesepakatan nasional, seharusnya diberi tahu atau diapakan. Jadi kembali lagi tergantung siapa yang memimpin daerah itu.
Anda melihat psikologi minoritas melekat kuat di kalangan umat Katolik?
Saya tidak pernah berbicara tentang itu di kalangan umat Katolik. Saya mengatakan umat Katolik di Indonesia mempunyai warisan yang sangat berharga, diwariskan para pendahulu, perintis gereja Katolik. Namanya rasa cinta tanah air. Buktinya banyak sekali. Saya selalu mengutip Frans van Lith, misionaris Belanda yang memilih berpihak kepada pribumi karena tertindas dan terjajah. Ada pula Soegija, Slamet Riyadi, Yos Sudarso, Adisutjipto, Karel Satsuit Tubun.
Apakah Anda menilai umat Kristen, terutama Katolik, di negara ini teraniaya?
Itu yang selalu dikatakan wartawan asing saat datang ke sini mengatasnamakan hak asasi manusia. Mereka melihat bahwa di Indonesia terjadi penganiayaan. Saya katakan kepada mereka, coba tinggal di sini sebulan. Silakan lihat ada penganiayaan apa tidak. Justru saya menghindarkan istilah seperti itu. Bahwa ada soal itu tidak disangkal. Sejak Indonesia merdeka, soal itu selalu ada. Tapi selalu berhasil diatasi pemerintah.
Apakah toleransi sejak era reformasi memburuk?
Kasus-kasus intoleransi makin muncul di permukaan jelas sekali. Seperti yang sering dikatakan para ahli, konflik agama itu hanya gejala. Di balik itu, ada sekian banyak masalah yang lain. Munculnya karena agama paling mudah dijadikan isu, paling menarik, dan bisa membakar.
Apakah dulu orang tak berani terbuka?
Orang makin terbuka dan ada pengaruh dari luar negeri, aliran-aliran transnasional. Pengaruhnya besar sekali. Tahun 1998 kalau mau apa-apa harus tulis surat atau telepon. Sekarang berita bisa menyebar ke seluruh dunia dengan satu ketukan jari. Pengaruh media sosial besar sekali.
Agama kerap dijadikan komoditas politik saat pemilihan presiden ataupun pemilihan kepala daerah. Bagaimana dampaknya terhadap umat Kristen, terutama Katolik?
Saya hanya berani berbicara dari perspektif gereja Katolik. Sayang sekali masyarakat kita, komunitas-komunitas iman kita, masih mudah sekali dipermainkan. Iman itu tidak bisa diperalat karena masalah batin hubungan dengan Tuhan. Masalahnya, agama sering ditunggangi kepentingan politik. Kalau orang berani menggunakan agama untuk kepentingan tidak mulia, kalau dia jadi pemimpin akan seperti apa?
Apakah gereja Katolik memilih menutup mata terhadap dunia politik?
Di gereja Katolik, ada tiga kelompok. Pertama, kepemimpinan atau hierarki. Kedua, kelompok religius, seperti suster dan bruder. Ketiga, kaum awam, bukan religius-hierarki. Hierarki hanya menjalankan fungsi kepemimpinan di dalam gereja, wilayahnya iman dan moral. Tak boleh terjun ke dunia politik praktis. Awam adalah bagian terbesar dalam gereja Katolik. Merekalah yang bertanggung jawab, dalam bahasa gereja, menyucikan dunia. Mereka bisa terjun dalam politik praktis, bisnis, dan bidang apa pun yang berkaitan dengan dunia.
Bukankah Yesus pernah bersabda, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”?
Yesus juga berpolitik dalam arti paling dasar, ya. Politik itu secara harfiah artinya adalah segala macam usaha untuk memastikan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Jadi bukan kekuasaan. Seandainya Yesus mau kekuasaan, saya kira dia tak akan dibunuh, he-he-he....
Paus dipilih di antara para kardinal. Anda terbayang suatu saat akan menjadi paus?
Sama sekali tidak. Tak pernah punya bayangan apa-apa. Di dalam gereja Katolik tidak ada karier. Semuanya pelayanan. Saya selalu mengatakan, kalau ada seorang calon imam yang ingin menjadi uskup, lebih baik mundur. Jadi kardinal itu bukan jabatan, tapi komitmen pribadi.
Mengapa Anda menaruh perhatian terhadap isu-isu sosial?
Itu tentu bagian dari keyakinan iman. Semestinya semua orang beriman begitu. Karena kalau saya mengutip kitab suci, ada sabda Yesus yang berbunyi, "Hendaklah kamu berbela rasa seperti Bapa berbela rasa.” Kesempurnaan orang salah satu indikatornya adalah bela rasa. Atas dasar bela rasa itu sumber dari segala macam kepedulian sosial. Paus dalam suratnya saat menunjuk saya sebagai kardinal juga menyampaikan tentang compassion alias bela rasa.
Apakah semua pemuka agama seharusnya menyuarakan kepedulian sosial?
Lha, iya. Karena semua percaya bahwa Tuhan menciptakan dunia ini baik adanya. Firdaus. Tapi manusia jatuh ke dalam dosa. Harus kembali kepada firdaus. Dosa itu bisa dosa sosial, dalam bidang ekonomi, dalam bidang publik. Concern-nya di situ.
Apakah karena itu juga Anda peduli terhadap nasib petani Kendeng?
Saya kenal baik pemimpinnya, Mas Gunretno (Koordinator Forum Jaringan Masyarakat Peduli Kendeng). Dia selalu mengatakan kasus ini di Mahkamah Agung sudah menang, tapi enggak bisa dieksekusi. Itu kan nelongso ya, kok bisa di negara hukum ada realitas seperti itu. Saya tidak pernah mengadvokasi, sungguh. Terlalu berat itu bagi saya. Saya hanya mendukung perjuangan mereka, karena saya tahu mereka itu orang-orang yang sangat tulus.
Anda juga vokal menyuarakan isu Papua. Bagaimana seharusnya peran pemerintah?
Saya kira kalau pemerintah pusat peranannya terbatas. Bagi saya, yang akan menentukan maju-tidaknya Papua itu pemerintah daerah. Dana sudah jelas, tapi kesadaran bahwa pemerintah atau negara mempunyai fungsi rupanya masih jauh.
Sebagian pihak menilai warga Papua sebenarnya tertindas oleh pemerintah Indonesia. Bagaimana tanggapan Anda?
Ini kan pernyataan yang sangat umum, ya, masyarakat Papua tertindas. Datanya apa? Saya pernah diberi tahu Bapak Presiden (Joko Widodo) saat kami diundang khusus untuk membahas masalah Papua. Kan, tuduhannya itu pemerintah pusat mengeruk kekayaan Papua. Beliau memberikan data yang sama sekali terbalik. Jadi beliau mengatakan dana yang diambil sebagai pajak ke pemerintah pusat itu sekian triliun. Yang dikirim ke sana (Papua) itu kelipatan lima. Bagaimana bisa mengatakan tertindas? Saya tidak menyangkal kalau di sana ada ketidakadilan, tapi mesti kembali lagi, spesifik. Tidak secara generalisasi.
Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo (ketiga kiri) menyambut anggota komunitas lintas agama saat mengunjungi ibadah Misa Natal di Gereja Katedral, Jakarta, Rabu (25/12/2019). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Jika pemerintah pusat telah memperlakukan Papua dengan sangat baik, mengapa masih dijumpai ketidakadilan di sana?
Ya pemerintah daerah. Kan, dana itu dikirim ke sana untuk dikelola pemerintah daerah yang mempunyai otonomi khusus. Orang-orang Papua sendiri yang menjadi gubernur dan bupati. Masalahnya, untuk apa uang itu dan bagaimana dengan uang itu mengelola kehidupan publik. Saya sering ke pedalaman Papua. Terakhir saya ke Agats. Masyarakat di kampung pendidikannya masih sangat rendah, fasilitas kesehatan juga rendah. Otonomi khusus yang sudah sekian lama dengan dana yang sekian banyak itu dikemanakan dananya.
Kondisi masyarakat Papua masih memprihatinkan?
Bahwa mereka miskin dan menderita, iya. Saya pergi ke Papua sejak 12 tahun lalu, praktis setahun sekali. Saya lihat kemajuannya, tapi masalahnya juga lebih banyak. Misalnya Jalan Trans-Papua. Bagus, kan? Pertanyaannya, penduduk yang tadinya tinggal di sekitar itu sekarang ke mana. Siapa yang sekarang punya tanah di sekeliling atau di kiri-kanan Jalan Trans-Papua itu. Pasti bukan orang Papua.
Artinya, pembangunan Jalan Trans-Papua tidak tepat?
Itu bagus. Tapi orang Papua harus diadvokasi supaya tidak terpinggirkan lebih lagi dengan adanya jalan baru itu.
•••
Beberapa waktu lalu, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) membenarkan ada kasus dugaan perundungan seksual di beberapa gereja Katolik di Indonesia. Bagaimana ceritanya?
Saya ini sebagai Ketua KWI tidak pernah mendapat laporan seperti itu. Maka, ketika saya ditanyai wartawan, jawabannya silakan tanya kepada sumbernya. Saya ndak ngerti sumbernya dari mana. Jadi, kalau mereka mengatasnamakan KWI, itu KWI yang mana.
(Majalah Warta Minggu, yang diterbitkan Paroki Tomang-Gereja Maria Bunda Karmel, Keuskupan Agung Jakarta, 8 Desember 2019, melaporkan tentang dugaan kekerasan seksual di gereja-gereja Katolik di Indonesia, yang melibatkan 33 pastor dan 23 predator lain. Korbannya 56 orang, dengan rincian 21 korban dari kalangan seminaris dan frater, 20 biarawati, dan 15 anggota umat awam. Sekretaris Komisi Kerasulan Awam KWI Paulus Christian Siswantoko pada 11 Desember 2019 mengatakan pihaknya telah menerima laporan dari informan yang mengaku pernah menjadi korban kekerasan seksual di gereja Katolik. Tapi Siswantoko belum memiliki data pasti tentang jumlah korban.)
Sejak informasi itu muncul, apakah sempat ditelusuri secara internal?
Kasus-kasus seperti itu, kasus moral, kalau terjadi di dalam lingkungan gereja enggak pernah didaftarkan dan diumumkan secara publik. Ada etikanya. Biasanya itu masalah personal yang diceritakan kepada pemimpin rohani. Kalau yang melakukan itu imam, diceritakan kepada uskupnya masing-masing. Itu bersifat rahasia sekali. Lha, kok sampai ke publik, itu dari mana.
KWI dikabarkan sampai membentuk tim khusus untuk menyelidiki persoalan ini?
Enggak ada. Tapi memang Paus Fransiskus itu sangat keras dalam hal ini. Di Eropa, masalah ini sangat aktual. Bahkan, yang terakhir, Kardinal George Pell dari Australia dijatuhi hukuman.
Bagaimana gereja Katolik menyikapi kasus-kasus seperti ini?
Beda-beda. Kalau di Eropa dan Amerika kasus-kasus itu dibawa ke pengadilan. Di Eropa, bahkan aparat penegak hukum boleh masuk ke tempat arsip keuskupan. Pastor-pastor biasanya menyimpan file di situ. Di tempat lain, kasusnya baru menjadi kasus gereja kalau menjadi kasus hukum. Kalau bisa dibuktikan, itu akan dibuktikan di pengadilan. Gereja tidak boleh melindungi anggotanya yang dilaporkan karena kasus itu.
Bagaimana peran keuskupan setempat?
Kalau dilaporkan kepada uskup, misalnya, uskup mempunyai kewajiban menanggapinya secepatnya. Itu yang dituntut Paus. Masalahnya adalah soal budaya yang sangat berbeda. Soal ini dibicarakan dalam sinode para uskup sedunia pada 2015 di Roma. Waktu itu saya hadir. Ini kasus yang banyak terjadi di Eropa dan Amerika. Asia dan Afrika sangat berbeda. Ada seorang uskup Eropa yang bekerja di Afrika merasa heran, Eropa kok begini jadinya. Kalau di Afrika, di salah satu negara yang diwakili uskup itu, masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan.
Ada tren di Eropa dan Amerika untuk membawa kasus perundungan di gereja Katolik langsung ke ranah hukum.
Di sini kan juga sama. Keterbukaan bagus, tapi kita kan enggak pernah tahu ya pengadilan itu maunya apa, bayarnya berapa, untuk kepentingan apa. Itu selalu rancu di sini. Saya berharap masalah yang ada di sana tidak akan sampai ke sini. Pastor-pastor pemimpin gereja itu mesti melindungi umatnya. Ini sangat serius.
Apa sanksi yang diberikan gereja kepada pastor atau imam yang terbukti melakukan perundungan seksual?
Contohnya di Australia. Kardinal George Pell kan dinyatakan bersalah. Tapi masih ada satu institusi lebih tinggi yang terakhir yang akan menyatakan keputusan yang sama. Setelah itu, proses gereja baru dimulai. Jadi dia akan diberhentikan.
Menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap?
Tidak serta-merta. Kalau tidak akan dijadikan masalah hukum sipil, itu prosesnya dijalankan di dalam gereja. Ada satu tim yang menanganinya. Kalau terbukti, pastor itu akan dilepaskan dari tugas imamatnya.
Itu sanksi terberat?
Iya. Karena gereja tidak punya penjara. Kalau nanti menjadi ranah hukum, ya, sesuai dengan hukum. Kan, ada yang dipenjara. Dulu tidak pernah ada pastor dan uskup dipenjara. Sekarang ada.
Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo | Tempat dan tanggal lahir: Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 9 Juli 1950 | Pendidikan: Sarjana filsafat/teologi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta; doktor teologi bibilis di Universitas Kepausan Urbaniana, Roma, Italia |Tahbisan: 26 Januari 1976 oleh Justinus Darmojuwono | Konsekrasi: 22 Agustus 1997 oleh Julius Darmaatmadja | Menjadi kardinal: 5 Oktober 2019 oleh Paus Fransiskus | Peringkat: Kardinal-Imam | Posisi sebelumnya: Uskup Agung Semarang (1997-2010), Administrator Apostolik Bandung (2010-2014), Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (2012-sekarang), Uskup Agung Jakarta (2010-sekarang)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo