SETUMPUK kayu pinus di tepi jalan itu siap diangkut truk. Tapi di saat bersamaan, petugas Dinas Kehutanan yang dibantu polisi segera menyergap sekitar lima belas penduduk. Sedangkan belasan yang lainnya lari, bersembunyi di balik belukar hutan pinus itu. "Siapa yang mendalangi kamu mencuri kayu di sini?" sergah Sagala, petugas Dinas Kebutanan Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Mereka yang tertangkap itu -- berpakaian compang-camping -- kebanyakan wanita dan anak-anak, tak menjawab. Tapi seorang di antaranya, lelaki kurus, menghampiri wartawan TEMPO. "Ini kampung nenek moyang kami. Kenapa kami di sini dilarang mengambil kayu untuk memasak nasi, padahal PT Inti Indorayon Utama (IIU) boleh menghabiskan hutan ini?" tanyanya sambil berbisik. Wajahnya marah, hanya ia tak berani melawan petugas. Peristiwa kecil itu terjadi di Desa Harangan Ganjang, beberapa belas kilometer dari Parapat, kota turis di tepi Danau Toba, Kamis pekan silam. Sehari kemudian Menko Polkam Sudomo ke PT IIU bersama Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap, Menteri PU Radinal Mochtar, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim, disertai Sesdalopbang Solichin G.P., Dirjen Industri Kimia Dasar Sidharta. Sudomo ke sana karena PT IIU yang sedang disorot tajam oleh berbagai pihak. Puncak kedatangan Sudomo itu adalah berlangsungnya rapat di guest house perusahaan tersebut. Pertemuan, selain diikuti rombongan dari Jakarta, Gubernur Sum-Ut beserta pejabat yang terkait dengan proyek besar ini, juga diikuti Bupati Simalungun dan Bupati Tapanuli Utara. Sudomo melihat bahwa kasus PT IIU itu karena lemahnya koordinasi antarinstansi. Dan kontroversi yang terjadi selama ini, menurut pengamatannya, memang belum ada pertanda bahwa pihak ketiga memanfaatkannya. Karena itu, Sudomo beralasan untuk membentuk sebuah tim yang mengupayakan PT IIU boleh jalan terus. Tapi syaratnya ada: bahan baku dan limbah buangan pabriknya jangan sampai merusakkan lingkungan. Dengan dibentuknya tim yang diketuai Gubernur Sumatera Utara itu, mungkin ribut-ribut yang menuding PT IIU bisa cepat diredam. Pabrik pulp itu dibangun sejak Februari 1986. Rencananya, setiap tahun memproduksi 165.000 ton pulp (bahan baku kertas) dan 54.000 ton viscose rayon (bahan baku tekstil). Sedangkan PT IIU, sejak 1984 sudah menggenggam HPH 86.000 hektar, plus pada 1986 dapat lagi 150.000 hektar seluruhnya berada di Simalungun, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Tapanuli Selatan. Tapi sejak berdirinya pabrik pulp di daerah Porsea itu, sudah timbul kontroversi karena punya potensi pencemaran tinggi. Setidaknya, itu dikhawatirkan menimpa turbin PLTA Tangga dan Sigura-gura. Penggerak pabrik aluminium PT Inalum itu bisa hancur dimakan karat, karena PLTA tadi memanfaatkan air Sungai Asahan. Ledakan protes meluncur lagi setelah Agustus silam waduk logoon yang menyaring limbah PT IIU itu jebol. Dan sekarang, malah Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) memberi pula kuasa kepada Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk menggugat PT IIU dan pemerintah. "Kami bertindak untuk kepentingan kelestarian lingkungan," ulas Agus Purnomo Direktur Eksekutif Walhi, pada Diah Purnomowati dari TEMPO. Pemerintah, katanya, dianggap tidak mematuhi ketentuan Andal (Analisa Dampak Lingkungan) yang mestinya diberlakukan untuk PT IIU. Hingga sekarang, dokumen itu belum dimiliki perusahaan itu. Bagi Walhi, menggugat PT IIU penting, karena pabrik itu telah melakukan pencemaran terhadap lingkungan. "Kami mungkin akan tersandung atau terpeleset, tapi terus berusaha," ujar Agus Purnomo. Kalau tak berdampak, mungkin sejak awal keributan itu bisa diredam. Sementara itu, direksi PT IIU mengatakan bahwa pabriknya belum berproduksi padahal limbahnya, yang tanpa diproses lebih dulu itu, sudah disalurkan lewat pipa-pipa buangan ke Sungai Asahan. Melalui pipa tadi, kotoran dari percobaan produksi unbleached pulp (belum diputihkan dengan bahan kimia) yang dibuang selama dua bulan itu sekitar 4.000 ton. Akibatnya, penduduk yang memanfaatkan Sungai Asahan -- juga nelayannya merasa tak enak. Walau pencemarannya belum berkepanjangan, air sungai sempat berubah cokelat, bau, dan ikan-ikannya mati. "Tapi bila ada tamu datang ke pabrik itu, anehnya, air yang keluar dari pipa tidak cokelat," tutur Agus Purnomo. Untuk itu, ia sudah punya segepok bukti foto-foto. Bulan lalu lain lagi. Air sungai Bah Kisat susut. Ini diduga gara-gara perambahan hutan di Sibatuloting oleh PT IIU di Desa Sosorladang, Porsea, Tapanuli Utara. Air sungai, konon, turun sampai 2 meter, dan kedalamannya sempat selutut. Sungai itu adalah sumber untuk mengairi sawah sekitar 760 hektar. Tak kurang dari 300 penduduk di sana melayangkan surat protes ke Tromolpos 5000, Menteri KLH, Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, dan tembusannya ke pemda setempat. Gubernur Sum-Ut. Raja Inal Siregar, setelah melihat sungai itu, ikut prihatin. Tapi sebelum ia mengusut, Syam Simanjutak, staf Humas PT IIU, bicara. Ia memergoki dua oknum membuka pintu air bendungan Bah Kisat, sewaktu Gubernur ke sana pada 29 Oktober lalu. Lain pula Bupati Simalungun, J.P. Silitonga. Ia tetap risi melihat hutan Sibatuloting yang digunduli. Padahal, hutan seluas 33.000 hektar itu setidaknya sisanya 20.000 hektar bertahan hijau. Kawasan itu merupakan hulu 19 sungai kecil yang menjadi sumber air 34.000 hektar sawah di Simalungun. Daerahnya itu salah satu lumbung beras di Sum-Ut. Sebuah sumber mengatakan pada TEMPO, PT IIU yang menguasai hutan 25.000 hektar itu masih sedikit melakukan penghijauan. Tapi beda dengan apa yang dilihat Sudomo. Kendati PT IIU suka menebangi hutan, sebaliknya merka juga menanami lagi. "Kita lihat dari udara, itu ada," ujarnya pada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Hari itu peninjauan para pejabat ke pabrik tersebut juga dilengkapi dengan keliling melalui udara. Suhardjo Hs., Amran Nasution, Irwan E. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini