Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA ponton berarak ke tengah lautan di sisi timur Pantai Rambak, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Kamis pagi, 18 April 2024, delapan kapal isap produksi lebih dulu berbaris di horizon. Seperti hari-hari sebelumnya, mereka beroperasi menyedot material timah di laut yang lebih dari sedekade terakhir terletak di area izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP-OP) PT Timah Tbk seluas 9.919 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemandangan itu jauh berbeda dengan kondisi Februari 2024, sebelum kasus dugaan korupsi tata niaga timah yang disidik Kejaksaan Agung mulai menarik perhatian publik pada awal Maret 2024. Kala itu, dari lokasi yang sama, masih terlihat puluhan ponton dan kapal isap produksi berjubel di seberang pesisir Sungailiat. Selain dari Pantai Rambak, kerumunan fasilitas pengisap pasir timah itu bisa dilihat dengan jelas dari Pantai Matras dan Pantai Tanjung Sentosa yang berhadapan langsung dengan area konsesi PT Timah Tbk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyusutnya jumlah ponton dan kapal isap juga tampak di perairan Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Di sisi barat daerah tersebut, wilayah laut seluas 7.607 hektare juga dikaveling sebagai area konsesi PT Timah Tbk. Perseroan juga mengantongi izin lain seluas 4.403 hektare di perairan selatan Toboali.
Kamis itu, 18 April 2024, ketika ditemui Tempo, Bujang baru saja pulang memancing di sekitar Pantai Kubu. Warga Kecamatan Toboali ini adalah seorang penambang di salah satu ponton yang beroperasi di wilayah izin PT Timah. Sudah sebulan lebih dia beralih kegiatan, di antaranya menangkap ikan, sekadar untuk menambal kebutuhan ekonomi keluarganya yang bolong karena ponton-ponton pengisap material timah berhenti beroperasi.
“Percuma menambang karena sekarang susah mencari pembeli. Adapun harganya tidak menutupi biaya operasional,” kata Bujang, Kamis, 18 April 2024. “Kolektor-kolektor sekarang takut, mereka memilih berhenti sementara membeli pasir timah.”
Tambang timah rakyat di Toboali Kabupaten Bangka Selatan/Tempo/ Servio Maranda
Kolektor yang dimaksud Bujang adalah para pengepul. Mereka selama ini menampung pasir timah yang dikumpulkan oleh para penambang rakyat, termasuk yang menggunakan ponton-ponton di perairan Kepulauan Bangka Belitung. “Kebanyakan kolektor ini menjual pasir timah ke smelter-smelter yang sekarang kena masalah hukum itu,” ucap Bujang.
Kejaksaan Agung sebenarnya mulai mengusut kasus dugaan korupsi dalam tata niaga timah di Bangka Belitung pada November 2023. Namun skandal ini baru menarik perhatian publik pada awal Maret 2024, ketika penyidik mengungkapkan nilai kerugian negara akibat kasus tersebut mencapai Rp 271 triliun—angka ini kerap disalahartikan oleh banyak kalangan sebagai duit yang dikorupsi para tersangka.
Sejauh ini kejaksaan telah menetapkan 16 tersangka. Tiga tersangka di antaranya adalah Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani; Direktur Keuangan PT Timah 2017-2018, Emil Ermindra; dan Direktur Operasi Produksi PT Timah 2017-2021, Alwin Albar. Adapun tersangka paling anyar adalah Harvey Moeis, pengusaha yang lebih kondang sebagai suami selebritas Sandra Dewi.
Dalam kasus ini, para tersangka ditengarai berkomplot untuk menggangsir timah secara ilegal dari area konsesi TINS—kode emiten PT Timah Tbk—di Kepulauan Bangka Belitung. Adapun nilai kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 271 triliun sebetulnya merupakan akumulasi dari kerugian lingkungan hidup, ekonomi, hingga biaya pemulihan dari aktivitas penambangan ilegal tersebut.
Namun nilai kerugian itu ditengarai hanya sebagian dari besarnya dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas penambangan ilegal di Bangka Belitung. Sumber Tempo yang mengetahui detail penghitungan kerugian dalam kasus PT Timah Tbk mengungkapkan, sejauh ini penyidik hanya mencermati aktivitas tambang ilegal di daratan. “Belum masuk tambang di lautan yang luasnya jauh lebih besar,” tuturnya. “Penggalian timah di laut itu bahkan bisa sampai kedalaman 40 meter.”
•••
DI Kepulauan Bangka Belitung, PT Timah Tbk mengantongi izin usaha produksi (IUP) untuk 118 wilayah seluas total 427,9 ribu hektare. Hampir sepertiganya, atau area IUP seluas 139,2 ribu hektare, berada di laut. Wilayah konsesi penambangan lepas pantai PT Timah tersebut mayoritas tersebar di perairan sekitar Pulau Bangka.
Perseroan menjalin kemitraan dengan sejumlah badan usaha dalam kegiatan penambangan di laut tersebut, termasuk dalam pengoperasian kapal isap produksi. Seorang bekas penambang timah di Bangka Belitung mengungkapkan, aktivitas tambang ilegal yang marak di daratan juga masif dilakukan di lautan. Selama ini, dia memaparkan, ponton dan kapal isap produksi beroperasi di area konsesi PT Timah Tbk dengan mengantongi surat perintah kerja (SPK).
“Namun, dari ratusan unit yang selama ini beroperasi, mungkin hanya 10-20 persen yang benar-benar legal,” ujarnya.
Berbeda dengan kapal isap produksi, ponton dibangun para penambang rakyat dari tumpukan drum yang dirakit sedemikian rupa dan dilengkapi mesin pengisap pasir timah. Dalam sehari, setiap unit ponton bisa menambang ratusan kilogram pasir timah. Sedangkan satu unit kapal isap produksi bisa menyedot hingga 5 ton pasir timah per hari.
Menurut sumber Tempo yang juga pemain bisnis ponton, penambang ilegal leluasa beroperasi di wilayah IUP PT Timah karena pada praktiknya SPK yang diberikan kepada para mitra perseroan dapat dengan mudah diduplikasi. Sebagian penambang, dia menerangkan, juga sudah biasa meminjam foto ponton berikut alat produksi mitra resmi di lokasi penambangan lain untuk kemudian dijadikan bekal dalam mengajukan permohonan SPK.
Celakanya, seperti yang diduga terjadi pada penambangan di daratan, PT Timah disinyalir merugi dua kali. Pasalnya, tak semua hasil penambangan pasir timah di area konsesi PT Timah itu disetorkan ke perusahaan. Penyelewengan semacam ini disinyalir tak hanya dilakukan para penambang ilegal, tapi juga oleh mitra resmi PT Timah.
“Tergantung selisih harganya. Kalau PT Timah beli murah, ya dijual ke swasta lain yang menawar lebih tinggi,” kata sumber Tempo yang biasa mengikuti seleksi kemitraan PT Timah tersebut. “Kalau mitra dapat 10 ton, paling yang disetor ke PT Timah tidak sampai setengahnya. Ini bukan rahasia lagi.”
Satwa endemik Bangka Belitung Tarsius yang terancam punah akibat habitatnya berkurang karena tambang timah/Dok. Yayasan PPS Alobi
Sejumlah kelompok masyarakat sipil sudah lama mengecam aktivitas penambangan timah yang kian ugal-ugalan di perairan Bumi Serumpun Sebalai—julukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hasil pengamatan citra satelit yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung pada 2017 menaksir terumbu karang di perairan Kepulauan Bangka Belitung tersisa sekitar 12,47 ribu hektare, menyusut drastis dari semula 82,25 ribu hektare pada 2015.
“Rusaknya terumbu karang menyebabkan hilang atau berkurangnya keanekaragaman hayati di perairan,” ujar Direktur Walhi Bangka Belitung Achmad Subhan Hafiz.
Hafiz menuding aktivitas penambangan timah di laut pula yang selama ini memicu lenyapnya hutan mangrove di pesisir Bangka Belitung. Pasalnya, aktivitas ponton belakangan makin marak merambah wilayah pesisir, menerabas ketentuan batas 1 mil laut dari bibir pantai. Hasil analisis Walhi Bangka Belitung menunjukkan, dalam 20 tahun terakhir, kawasan mangrove seluas 240,46 ribu hektare di Kepulauan Bangka Belitung rusak sehingga kini hanya tersisa sekitar 33 ribu hektare.
Menurut Hafiz, kondisi tersebut berimbas pada penghidupan masyarakat di pesisir pantai Bangka Belitung. Kerusakan terumbu karang menyebabkan kelompok nelayan kehilangan pendapatan karena berkurangnya jumlah tangkapan ikan. Masyarakat adat suku Melayu di Tempilang, dia menjelaskan, bahkan tak leluasa lagi melakoni ritual sedekah laut karena lokasinya dirambah kapal-kapal pengisap pasir timah.
Hal yang membuat Hafiz lebih khawatir adalah meningkatnya potensi bencana jika kerusakan akibat penambangan pasir timah di laut Bangka Belitung terus dibiarkan tak terkontrol. “Kerusakan terumbu karang dan mangrove menyebabkan hilangnya benteng daratan di Kepulauan Bangka Belitung,” ucapnya. “Inilah yang menyebabkan wilayah pesisir berulang kali mengalami banjir, intrusi air laut, dan abrasi.”
Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatatkan, dalam kurun 2016-2020, potensi luas gelombang ekstrem dan abrasi di Kepulauan Bangka Belitung mencakup wilayah pesisir seluas 42,24 ribu hektare. Area tersebut menjadi tempat tinggal sedikitnya 53,6 ribu jiwa, yang berpotensi menanggung dampak terbesar abrasi dan gelombang ekstrem.
Langka Sani punya kekhawatiran yang sama. Ketua Yayasan Pusat Penyelamatan Satwa Animal Lovers of Bangka Island itu mengungkapkan, dalam sedekade terakhir, lembaganya telah berupaya menyelamatkan 8.276 satwa yang ditengarai terkena dampak penambangan timah. Sebagian di antaranya merupakan satwa perairan sungai dan laut, seperti dugong dan penyu.
Menurut Sani, gangguan pada habitat perairan tersebut juga telah meningkatkan konflik manusia dengan satwa. Dia mencontohkan kerusakan kawasan mangrove yang membuat buaya muara makin terdesak dan akhirnya kerap masuk ke area permukiman. “Hampir setiap bulan kami menerima laporan informasi dari masyarakat soal serangan buaya,” tuturnya.
•••
PT Timah Tbk sebetulnya tak sendirian menggaruk perairan Bangka Belitung. Puluhan perusahaan tambang mengantongi izin serupa. Namun sorotan utama mengarah ke PT Timah yang selama ini menguasai mayoritas area tambang di wilayah laut, sebagaimana perseroan juga mendominasi pertambangan di daratan.
Kepala Bidang Komunikasi PT Timah Tbk Anggi Siahaan mengakui kerja sama dengan para mitra usaha perseroan selama ini tidak semulus yang diharapkan. Namun, Anggi menerangkan, PT Timah Tbk terus mengawasi dan membina para mitra. “Bahkan kami sudah sampai memutus hubungan kerja dengan perusahaan mitra yang melanggar ketentuan yang telah disepakati,” ucapnya.
Anggi menjelaskan, PT Timah Tbk memahami bahwa karut-marut pertambangan timah yang terjadi saat ini telah menimbulkan gejolak dan menjadi perhatian publik. Tapi dia memastikan perseroan terus mengupayakan perbaikan. Dalam proses pola kemitraan, misalnya, PT Timah Tbk selalu mengacu pada peraturan perundang-undangan.
Anggi juga mengklaim perusahaannya telah mengikuti pelbagai regulasi untuk menjamin keberlangsungan lingkungan hidup. Selain membayar pajak dan penerimaan negara bukan pajak, dia menambahkan, PT Timah telah menunaikan kewajiban reklamasi pada lubang tambang, baik di darat maupun laut.
Khusus reklamasi di area tambang laut, Anggi memaparkan, perusahaan telah memasang 3.105 unit fish shelter selama periode 2016-2023. Pada saat yang sama, PT Timah Tbk turut serta dalam upaya transplantasi 1.475 unit karang yang mencakup area 51,1 hektare, penanaman artificial reef sebanyak 5.760 unit atau seluas 96 hektare, pemasangan penahan abrasi sepanjang 2.360 meter, penanaman mangrove seluas 8,81 hektare, serta restocking 40.435 ekor cumi-cumi dan 2.499 ekor kepiting.
Walau begitu, Anggi mengungkapkan, upaya reklamasi yang dilakukan perseroan di darat dan laut menghadapi kendala. “Lahan yang sudah direklamasi kembali dieksploitasi oleh praktik penambangan tanpa izin sehingga lahannya menjadi rusak kembali. Ada pula konflik kepemilikan lahan,” ujarnya.
Ihwal tudingan keterlibatan pihak internal dalam kebocoran hasil produksi tambang di area konsesi perusahaan, Anggi menjawab secara normatif. Dia mengungkapkan, PT Timah Tbk selalu memetakan dan mengukur kualitas kinerja internal perseroan. “Untuk itu, tentunya tindakan tegas bagi karyawan yang melakukan tindakan tidak terpuji yang merugikan perusahaan juga dilakukan,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Servio Maranda dari Bangka Belitung berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Rusak Lautan Bumi Serumpun Sebalai"