MAUT mungkin sedang mengintip penduduk sekitar Kawasan Industri Gresik, Jawa Timur. Hal ini terungkap dari hasil penelitian sebuah tim dari Institut Teknologi Surabaya, tahun lalu. Ketika itu, tim mengukur kadar enam jenis zat kimia berbahaya di udara kawasan tersebut. Hasilnya cukup mengejutkan. Kadar gas karbon monoksida, misalnya, ditemukan berada di atas kadar maksimum yang dianggap aman. Yaitu berkisar antara 20,9056 ppm/8 jam dan 352,512 ppm/8 jam. Padahal, batas maksimumnya cuma 20 ppm 8 jam. Yang membuatnya lebih berbahaya adalah zat ini tak berwarna ataupun berbau. Maka, korban dapat jatuh tanpa sadar. Misalnya saja peristiwa tevasnya Syeny Laloan di Ancol, November lalu (TEMPO, 8 Desember 1984, Kriminalitas), diduga keras akibat menghirup gas berkode CO ini. Meski begitu, bukan berarti bahwa mayat akan bergelimpangan di Gresik. Sebab, tingkat bahaya suatu zat tidak hanya ditentukan oleh kadarnya, melainkan juga lamanya seseorang berada di udara yang mengandung zat itu. Pada kadar 100 ppm Co di udara, misalnya, seseorang dapat bertahan sampai 15 menit tanpa mengalami gejala terganggu. Tapi, dalam kadar 1.500 ppm, itu tak mungkin. Bahkan jika lebih dari 30 menit akan terjadi kerusakan permanen pada tubuh. Mungkin juga kematian. Bahaya gas CO ini adalah karena ia mengikat darah hingga tak mampu membawa oksigen. Bila ikatan yang disebut carboxyhaemoglobin ini mengikat separuh saja dari butir darah merah yang ada dalam tubuh, seseorang akan jatuh pingsan. Dalam kadar yang lebih rendah ia menyebabkan pusing, mengantuk, mual, ataupun pendek napas. Belum jelas benar apakah zat ini yang menyebabkan banyak penduduk Gresik, menurut seorang dokter di sana, menderita tadang paru. Pasalnya, tingkat zat NO, ditemukan berkisar 0,096 ppm/1 jam sampai 0,336 ppm/1 jam dan tingkat gas H2S berkisar dari tak terdeteksi hingga 0,0952 ppm/30 menit. Sedangkan batas aman maksimum NO2 adalah 0,05 ppm/1 jam dan H2S pada 0,03 ppm/30 menit. Padahal, racun zat ini juga bisa menyerang paru atau sistem pernapasan seperti ulah CO tadi. Sebetulnya Pemda Gresik juga sudah memperhatikan hal ini. Itu sebabnya ada rencana memindahkan penduduk desa Pojok Pesisir - salah satu dari lima daerah yang diteliti tim tersebut - ke tempat yang lebih bersih. Penduduk pun sudah setuju. Tapi belum ada kesepakatan besarnya ganti rugi. Penduduk minta Rp 100 ribu/meter, sedangkan pihak Pemda memperkirakan harga tanah di sana berkisar dari Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu saja. "Memang bagi Pemda terasa ada dilema," kata Drs. Burhanuddin Rasyid, kepala Humas Pemda Gresik. "Di satu pihak penduduk menuntut ganti rugi yang tinggi, di pihak lain tergantung pada kesanggupan PT Petrokimia," tuturnya pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini