Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Melapis Kepala Dengan Helm

Helm untuk pengendara sepeda motor dianjurkan lagi kematian dijalan raya banyak disebabkan benturan keras di kepala. Dengan memakai helm bisa mengurangi angka kematian karena kecelakaan lalu lintas.(ksh)

19 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT belas tahun yang lalu, soal helm - penutup kepala untuk pengendara motor - sempat bikin ramai. Banyak yang protes ketika Kapolri, ketika itu Hoegeng Iman Santoso, hendak menerapkan peraturan penggunaan helm bagi pengendara kendaraan roda dua itu. Ada yang keberatan dari segi biaya, ada yang menolak karena dlanggap tidak biasa, bahkan ada yang curiga terjadi kongkalikong antara Polri dan pengimpor helm. Ketika itu, sedikit saja yang membahas secara mendalam faktor keamanan yang sebenarnya sangat menentukan: ruda paksa pada kepala. Awal bulan ini, anjuran penggunaan helm terdengar lagi. Dan dua pekan lalu helm diwajibkan di lingkungan Polri sendiri. Kali ini boleh dibilang tak ada reaksi dari masyarakat. Mungkin karena zaman sudah berubah dan masyarakat mulai memahami manfaat penggunaan helm. Kematian di jalan raya meningkat. Kasus cedera kepala yang dirawat RSCM, Jakarta, misalnya, 75% adalah akibat kecelakaan lalu lintas - di luar negeri 60%. Sementara itu, kematian akibat cedera kepala - kebanyakan umur 20-40 tahun sekitar 60%. Di Jakarta sepanjang tahun 1983 ada 133 orang pengendara sepeda motor yang tewas. Dari jumlah itu 95 orang dlketahui mati akibat cedera kepala karena tak memakai helm. Di RSUP Hasan Sadikin Bandung tahun 1984 yang lalu, 560 dari 1.000 operasi kepala, akibat benturan keras yang 80% akibat kecelakaan lalu lintas. Dr. Lukas Budiono, ahli bedah saraf RSCM, melihat helm bisa menghindarkan akibat fatal. Ia menjelaskan, benturan pada kepala yang menggunakan helm jauh lebih kecil, karena helm memecah benturan dan meratakan tekanannya ketika jatuh ke kepala. Di samping itu, helm juga melindungi daerah kepala yang sensitif. Khususnya pelipis kiri dan kanan. Tulang di daerah ini tipis, sehingga mudah patah, sementara pada tulang ini melekat pembuluh-pembuluh darah. "Helm dapat mencegah terjadinya benturan langsung antara kepala dan benda keras," kata Umar Kasan, ahli bedah saraf RSUP Soetomo, Surabaya. Ia khususnya menyebutkan perdarahan otak sebagai bahaya akibat tidak menggunakan helm. Di Indonesia belum ada penelitian tentang seberapa jauh helm bisa mengurangi cedera kepala atau kematian akibat kecelakaan. Namun, di negara-negara yang sudah mewajibkan penggunaan penutup kepala itu, menurut Dr. Lukas, pemakaian helm bisa menurangi akibat fatal sampai 60%. Ia menunjuk berbagai penelitian di Amerika Serikat. Di empat negara bagian yang mewajibkan helm, dari 1.000 kecelakaan tercatat masingmasing: 12, 8, 11, 3 kematian akibat ruda paksa pada kepala. Sedangkan di empat ne gara bagian yang tidak mewajibkan helm, kematian tercatat masing-masing: 34, 41, 63, 28. Cedera kepala akibat benturan keras, menurut Lukas, ada bermacam-macam. Memang tidak semuanya berat. Yang terbilang sederhana, patah tulang, dikenal sebagai fraktur. "Terapinya tanpa operasi," katanya. Tapi yang berbahaya, menurut ahli bedah saraf itu, patah tulang yang menusuk otak. Dan justru ini yang terbanyak. "Cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas, umumnya, campuran ada fraktur, ada perdarahan, ada kerusakan jaringan otak," kata dokter itu lagi. Keberhasilan menangani kasus cedera otak, menurut Lukas, sangat bergantung pada kesigapan memberi pertolongan. Jika diketahui sejak dini terjadi perdarahan di otak, dan operasi dilakukan 2-3 jam kemudian, risiko kematian hanya 1%. Namun, bila pembedahan baru dilakukan 12 jam kemudian, risiko kematian meningkat jadi 75%. Sementara itu, yang menyulitkan, tidak mudah mengetahui ada perdarahan pada otak. Untuk mengetahui keadaan ini umumnya dilakukan pemeriksaan arterografi atau CT Scan. Arterografi adalah penyuntikan bahan berwarna kontras untuk kepentingan pemotretan. Sedangkan CT Scan, yang menggunakan komputer bisa lebih cepat menghidangkan gambar otak pada layar komputer - lengkap dengan warna. Meskipun demikian, menurut dr. Umar Kasan, pemeriksaan ini baru bisa dilakukan apabila pasie sudah berada dalam keadaan tenang. "Bila pasien mengalami trauma berat, memfoto kepala penderita makin memberatkan saja," katanya. Dilemanya, perdarahan otak sering menampilkan gejala aneh. Seperti yang terjadi di Bandung. Dua pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan. Yang dibonceng luka parah dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Tapi si pengemudi, tampaknya, hampir tak cedera apa-apa. Ia sempat pulang, mandi, kemudian tidur. Tak disangka, keesokan harinya, tiba-tiba ia mati. Setelah diautopsi, terungkap bahwa terjadi perdarahan dan pembekuan darah pada otak si pengemudi itu. Menurut Dr. Iskarno, ahli bedah saraf dari RSUP Hasan Sadikin, bahaya perdarahan otak lebih khusus bisa dilihat sebagai pembekuan darah di otak, yang dikenal sebagai hematoma. Pada klasifikasinya, pembekuan ini bisa terjadi hanya di selaput otak (epidural), di selaput otak dan jaringan otak (subdural), dan di jaringan otak (intra-cerebral haemoragic). Karena luasnya kemungkinan hematoma di otak, yang berbahaya menurut Iskarno, bila hematoma menekan bagian-bagian otak. Bila penekanan sampai ke batang otak, penderita bisa mengalami apnoe, yaitu berhentinya napas - pada batang otak terdapat pusat napas. "Di situlah pentingnya mengapa hematoma harus dioperasi dan dikeluarkan," ujar Iskarno. Yang ikut pula menyulitkan, jumlah ahli bedah saraf di Indonesia ternyata tidak banyak. Seluruhnya hanya 16 orang dan tersebar hanya di kota-kota besar. Kendati begitu, pertolongan oleh bukan ahli bedah saraf, menurut Iskarno, masih mungkin. Untuk epidural, misalnya, bisa digunakan bor kayu - asal steril. "Bor saja di daerah pelipis," kata ahli bedah saraf itu sambil menekankan perlunya memburu waktu, agar hematoma tidak berakibat fatal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus