DALAM rapat KDPASMP (Kumpulan Diskusi Politik Anak SMP), dikatakan oleh si Achmad (ketua) bahwa pemikir rencana melemparkan bom di BCA bermaksud memberitahukan pada pemerintah bahwa dia tidak setuju dominasi Cina di bidang ekonomi. Tanya si Mience (anak perempuan, penulis, dan tidak naik kelas dua): Mengapa dia tidak menulis karangan di surat kabar? Semua anggota kumpulan diskusi ketawa terbahak-bahak. Dia tidak menulis karangan di surat kabar karena pasti tidak dicetak, berhubung dengan pers yang bertanggung jawab, kata oponen dan musuh si Mience (si Pepet), yang pernah jatuh cinta tapi ditolak. Karangan bisa dikirim ke Suara Kaya, begitulah usul sang ketua. Pasti dicetak. Tapi tidak dibaca, kata si Pepet yang selalu beroposisi. Karena kumpulan diskusi juga tidak setuju dengan dominasi Cina di bidang politik, mereka memutuskan mengirim karangan ke salah satu majalah yang mencetak dan yang dibaca. Karangan mulai dengan tesis umum yang berbunyi: yang baik untuk itik juga baik untuk bebek. Yang baik untuk orang Cina juga baik untuk orang Indonesia. Kalau business Cina maju dan bergelora, juga yang berasal dari Flores, Bali, Sumatera, dan ribuan pulau lainnya akan ikut menikmati kemakmuran. Tapi tesis itu ditolak oleh para penulis dari manifesto ekonomis itu. Sebelum persoalan monopoli ditinjau dari sudut ekonomi, politik sosial, dan psikologi, para penulis bertanya dulu apakah gerangan monopoli. Untuk menjawab pertanyaan itu mereka meneliti suatu kasus dari salah seorang anggota KDPASMP, si Yance, yang pernah menjual cokelat di lapangan sepak bola waktu ada pertandingan. Dia dapat cokelat berharga sembilan puluh rupiah dan menjual seratus, sehingga setiap hari dia untung seribu rupiah. Tapi si Yance cukup pintar dan mendapat cokelat langsung dari dealer, kostprijs lima puluh, dan untung juga lima puluh. Sesudah itu dia mencari beberapa teman dan penjualan terjadi di pelbagai lapangan lain, sehingga untung betul-betul mulai berarti. Si Yance mimpi tentang corner dia pernah membaca bahwa seseorang telah corner pasar gandum yaitu mendapat monopoli sempurna sehingga bisa menentukan harga sesuai dengan kemauannya. Idem dito mengenai seseorang yang menguasai pasar perak. Si Yance berpendapat, kalau saya bisa menguasai penjualan cokelat, saya dapat untung tak terhingga. Sayang sekali usaha Yance disetop ayahnya, yang merasa Yance lebih baik menyelesaikan SMP dan SMA daripada menguasai pasar cokelat di lapangan sepak bola. Bagaimana juga semua anggota KDPASMP setuju (sesuai dengan pengakuan Yance) bahwa dasar monopoli ialah sifat rakus dari yang kaya yang tambah kaya sedang yang miskin tambah miskin. Hanya satu orang tidak setuju - yaitu si Pepet. Saya tidak setuju dengan pendapat Nona Mience dan temannya yang lain, karena monopoli ialah in-he-rent dengan sistem ka-pi-ta-lis. Semua anggota ketawa terbahak-bahak, karena baik kata inherent maupun kata kapitalis belum begitu banyak dipakai dalam rapat KDPASMP. Tapi si Pepet tidak hilang ketenangan jiwa, dan meneruskan wejangan. Dasar sistem kapitalis seperti di Indonesia, katanya, ialah pasar bebas dan persaingan bebas. Berhubung dengan pengaruh infrastruktur (ekonomi) terhadap suprastruktur (pemerintah), jelas bahwa yang mempunyai banyak duit bisa membeli pelbagai sarana, fasilitas, dan bantuan dari Pemda dan Pempus - sehingga dalam persaingan sang ikan hiu menang bertanding dengan ikan mujair pendek kata kalau Pak Murair bertanding dengan Pak Salim, Pak Salim menang. Itu bukan soal rakus itu soal mekanika buta proses ekonomi. Per se (dan muka si Pepet serupa muka seorang doctor honoris causa), per se monopoli tidak jelek, tapi mekanika ekonomi juga mempunyai segi psikologis. Lihatlah orang Yahudi di Eropa sesudah Perang Dunia I. Mereka monopoli bidang keuangan, pers, dan kesenian, sehingga monopoli itu menimbulkan banyak rasa benci pada yang dulu makmur dan sesudahnya menjadi miskin, sehingga tujuh juta orang Yahudi dibunuh di Jerman, dan kalau mereka tidak hati-hati, hal yang sama akan terjadi nanti di Amerika. Si Pepet duduk dan melihat ke arah si Mience seolah-olah mau mengatakan, kalau Nona bisa menjawab, silakan. Tapi si Mience, waktu wejangan si Pepet, berpikir: dia after all seorang yang cukup menarik, sehingga si Mience senyum saja, dan sesudahnya si Pepet dan si Mience bersahabat kembali. Yang menjawab ialah si Achmad (ketua). Bahwa monopoli menimbulkan banyak rasa benci memang benar. Ayah saya dagang aspal, dan mau mulai dagang pasir di salah satu pulau. Tapi datanglah ikan hiu, dan slup slup slup usaha ayah saya ditelan, karena sang ikan hiu dapat semua bantuan yang perlu dari penguasa di pulau itu. Ayah marah sekali, die verdomde chineses, katanya, padahal ikan hiu yang menelan usahanya bukan suku Cina. Monopoli, begitulah si Achmad, berhubungan dengan stigma. Tidak benar yang dikatakan si Pepet bahwa orang Yahudi sebelum Perang Dunia I di Eropa menguasai pasar uang, pers, dan kesenian. Monopoli ada di tangan orang Protestan (Krupp, Siemens, Bayer Schuckert, Thyssen, Waldeck), sedang Rathenau dan Rothschild hanya ikan teri dibandingkan dengan yang lain. Tapi stigma penting: seperti orang hitam di AS menjadi korban kalau ada resesi, dan orang Yahudi di Rusia dan Eropa, begitulah Yap Seng di tanah air kita. Tapi waktu sudah selesai, dan rapat akan ditutup dengan menyanyi Indonesia Raya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini