SERIBU anak panah menghunjam di tubuh Bisma. Sesepuh Pandawa dan Kurawa itu jatuh terduduk di Padang Kurusetra. Tapi tak ada kesakitan terbayang di wajahnya. Tangan kanannya tetap menggenggam busur. Dan lihatlah, garis busur itu agak miring, lurus ke atas menembus bidang gambar. Di saat-saat terakhir hidupnya, Bisma tetap berpegang teguh pada Yang Di Atas. Kesan religius ini muncul dengan kuat dalam adegan yang heroik ini, karena Kamal Sen, pelukisnya, tampaknya menolak menghadirkan suasana tragis-dramatik: pada tubuh Bisma tak setetes darah pun tampak. Itulah salah satu karya yang menarik dari sekitar 50 luklsan cat alr tradislonal India ciptaan Kamal Sen, 74, di Taman Ismail Marzuki, 11-15 Januari ini. Profesor bekas dekan Departemen Seni Rupa Sekolah Seni Delhi, India, ini tampaknya memang pas menjatuhkan pilihan pada seni lukis tradisional: seni yang berkembang di India dan bertolak dari lukisan di gua-gua dari abad kelima, yang kemudian erat berkaitan dengan agama Hindu. Maka, bagi yang sudah terbiasa dengan lukisan Bali, pameran Kamal ini, terutama dari segi tema, tak asing. Fragmen-fragmen Ramayana dan Mahabharata tak habis-habisnya divisualkan, diberi arah atau tafsiran sesuai dengan kehendak tiap pelukisnya. Dan Rahwana pun tewas tertembus dua anak panah Rama - satu di perut, satu di leher dalam satu pertempuran berkereta. Demikian versi Kamal Sen. Dari segi bentuk, lukisan tradisional India cepat terbedakan dari lukisan Bali dalam hal ornamen. Pelukis Bali punya kecenderungan besar untuk mengisi bidang-bidang dengan hiasan yang ramai. Awan pun selalu dilukis bergelung-gelung. Lukisan tradisional India, meski dari abad ke-5 hingga ke-18 muncul bermacam gaya, yang paling dominan adalah yang disebut gaya India Barat, yang cenderung naturalistis, membuang ornamen. Gaya ini pula tampaknya yang diikuti Kamal Sen yang lahir di Kalkuta itu. Sebuah gaya yang meletakkan garis kontur, yang memberikan bentuk sosok figur atau benda-benda, sebagai hal penting dan ditorehkan sebagai unsur terakhir. "Saya dalam memberikan sentuhan akhir itu bisa sampai dua atau tiga hari," kata Kamal. Ini menyiratkan, selain betapa pentingnya kontur itu, juga betapa cermat kerja anggota tertua All India Fine Arts & Crafts Society ini. Bahkan dalam beberapa karya, Kamal banyak meninggalkan bidang warna tanpa isi. Misalnya dalam lukisan bertahun 1983 yang menggambarkan satu pesta di terang bulan: langit dibiarkan kosong, tembok digambar bersih, dan permadani tempat penari dan musisi berada tanpa hiasan. Yang tercapai kemudian adalah suasana yang syahdu, dan gerak penari adalah sebuah melodi dengan nada yang nyarmg dan bersih. Dan Kamal bangga dengan gaya kuno ini. Katanya, seni macam ini memerlukan kesabaran dan keuletarn Tak banyak generasi sekarang yang mau menekuninya. Padahal, seni jenis ini, lebih dari yang modern, punya misi. Seni ini berkait erat dengan agama Hlndu. Seni tradisional bukan sekadar soal estetika. Lebih dari itu. Memang, pada masa jaya-jayanya, taruhlah di abad ke-14 sampai ke-17, seni lukis tradisional tak terpisahkan dari seni-seni yang lain. Irama garis dan warnanya, kata orang, diambil dari seni tari tradisional. Dan komposisinya memberikan citra musikal. Adapun pesan-pesannya, apa lagi kalau bukan keyakinan-keyakinan dalam agama Hindu. Bila seni lukis ini mengingatkan orang pada seni lukis Persla kuno, sentuhan ltU memang ada. Dalam perkembangannya, seni lukis India di gua-gua di Ajanta, India sebelah barat, dari abad ke-5, kemudian mendapat penaruh lukisan dari negeri di sebelah barat. Dan bila seniman Persia tak canggung-canggung menggunakan "gaya Cina" untuk melukiskan kehidupan masyarakat Islam - ada pengaruh kuat seni lukis Cina pada seni lukis Persia - maka seniman India tak ragu pula memanfaatkan ilham dari Persia untuk menggambarkan keyakinan-keyakinan Hindu. Seni lukis macam itu, kata Kamal, lebih bisa dipahami banyak orang. Yang pasti, beberapa sekolah seni rupa di India mencantumkan seni tradisional sebagai satu mata kuliah, bahkan sebagai jurusan tersendiri. Bukan cuma untuk dipelajari sejarahnya, tapi dipraktekkan gayanya. Dan, sebagaimana dilakukan Kamal, bukan cuma untuk memvisualkan tema-tema mitologi, tapi juga obyek masa kini: satu pemandangan sebuah kuil kuno, atau suasana mandi suci di Sungai Gangga. Ini memang mengingatkan pada seni rupa Bali yang terus hidup dari generasi ke generasi - meski harus bersaing dengan selera turis. Sayangnya, seni rupa Bali tak mendapat tempat di sekolah seni rupa kita, kecuali barangkali dipelajari sejarah dan lekuk likunya. Ada sikap yang agak melenceng tampaknya, terhadap yang disebut kreativitas, di sini. Padahal, seperti dibuktikan Kamal - bukan pelukis tradisional paling baik di negerinya - bergaya seperti pelukis abad terdahulu bukanlah aib. Asal dilandasi keyakinan dan penguasaan teknik plus sentuhan rasa yang mendalam, yang bisa membuat barang "lama" jadi segar. Yang penting, kemudian, bagaimana karya seni itu selalu mengirimkan gelombang-gelombang - entah gelombang artlstik, atau yang lebih dan itu, yang menyentuh audiensnya. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini