Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Walhi Menilai Pernyataan Prabowo Melegitimasi Pendekatan Keamanan di Perkebunan Sawit

Walhi menilai pernyataan Prabowo soal sawit bisa memperluas konflik agraria, selain melegitimasi pendekatan keamanan.

2 Januari 2025 | 11.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara kendaraan melintas di Jalan Lintas Sungai Bahar yang berada di tengah perkebunan kelapa sawit Desa Berkah, Muaro Jambi, Jambi, 20 November 2024. Foto: ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengaku tidak terkejut dengan pernyataan Prabowo Subianto yang menyatakan tidak usah takut membuka perkebunan sawit dan rencananya untuk melakukan ekstenfikasi sawit. Sebab, rencana itu sudah terbaca dari kebijakan dan program yang ada saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional Uli Arta Siagian, yang mengejutkan adalah dalam pernyataan itu Prabowo mengatakan bahwa pembukaan sawit tidak menyebabkan deforestasi karena sawit mempunyai daun. Ia menilai pandangan itu tidak berdasarkan sains, hasil riset dan fakta-fakta yang ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Uli menyitir Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022 yang menyatakan sawit bukan tanaman hutan. KLHK juga merinci praktik kebun sawit yang ekspansif, monokultur, dan non prosedural di dalam kawasan hutan, telah menimbulkan beragam masalah hukum, ekologis, hidrologis dan sosial.

“Ini menunjukkan bahwa pernyataan Presiden Prabowo tidak berdasarkan data dan fakta yang diterbitkan pemerintah sendiri,” kata Uli Arta melalui pesan tertulis kepada Tempo, Kamis, 2 Januari 2024. 

Berdasarkan data KLHK, kata Uli, sawit ilegal dalam kawasan hutan saat ini sekitar 3,2 juta hektare. Seluas 3,2 juta hektare hutan terdeforestasi akibat ekpansi sawit tersebut. Artinya, presiden tidak memakai data pemerintah sendiri saat berbicara mengenai deforestasi dan sawit.

Uli juga menambahkan, selain berdampak pada deforestasi, ekspansi sawit juga berkontribusi pada polusi, kerusakan sungai, krisis air, banjir, longsor serta kebakaran hutan dan lahan. Kerugian itu ditanggung rakyat dan lingkungan.

Pada 8 Desember 2024, kata Uli, Special  Rappourteurs dan Kelompok Kerja PBB menyurati pemerintah Indonesia terkait pelanggaran hak-hak masyarakat adat, degradasi lingkungan hidup, intimidasi dan kriminalisasi terhadap para pembela Hak Asasi Manusia yang meluas di industri kelapa sawit.

Menurut Uli, perluasan ekspansi perkebunan sawit skala besar akan semakin memperpanjang rantai konflik agraria, kerusakan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, bencana ekologis, dan korupsi di sektor sawit.

Dalam pernyataannya, Prabowo juga meminta polisi dan tentara menjaga perkebunan sawit. Uli menilai pernyataan ini berbahaya sekali. Sebab, presiden menginstruksikan secara terbuka di publik bahwa polisi dan tentara harus menjaga sawit. 

Fakta selama ini, kata Uli, polisi dan tentara juga cenderung berpihak kepada perusahaan dalam konflik agraria dengan masyarakat. Tidak jarang aktor keamanan melakukan intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan sawit.

“Oleh karena itu tidak berlebihan jika kita menganggap instruksi ini akan melegitimasi pendekatan keamanan dalam pelaksanaan operasi produksi perusahaan sawit oleh aktor aktor keamanan yang berpotensi akan membuat kasus-kasus intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat semakin bertambah”, kata Uli.

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal sawit ini disampaikan dalam pidatonya di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan di Bappenas, Jakarta, Senin, 30 Desember 2024.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus