Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGGOTA regu pengawas api datang membawa kabar pahit ke rumah Kepala Desa Kampung Melayu, Apuk Harto. Mereka melaporkan asap tebal mendekati kampung di pesisir Sungai Katingan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, itu. Apuk segera mengumpulkan masyarakat dan pergi ke sumber asap. Api rupanya sudah melalap pepohonan, belukar, dan lahan gambut sekitar 2 kilometer di selatan desa.
Apuk segera mengabari polisi dan tim PT Rimba Makmur Utama, yang mengelola area restorasi ekosistem gambut Katingan Mentaya Project. Desa Kampung Melayu berada persis di sisi tenggara konsesi PT Rimba Makmur Utama itu. Apuk ingat, kebakaran yang terjadi pada Agustus-September lalu tersebut merembet dengan cepat. “Kami bawa alat pemadam seadanya, pokoknya api tidak boleh menyebar,” kata Apuk saat ditemui di rumahnya pada Sabtu, 23 November lalu.
Dalam keadaan darurat, Apuk menggelar rapat desa. Mereka terpaksa memakai dana desa untuk membeli mesin pompa air dan perlengkapan pemadam api. Dengan harga mesin mencapai Rp 5 juta per unit, tim Kampung Melayu hanya mampu membeli tiga unit. Pengelola Proyek Katingan Mentaya, Apuk menerangkan, menghibahkan satu mesin pompa untuk menambah daya mereka melawan kebakaran.
Cuaca panas dan kondisi lahan yang kering membuat api membesar pesat. Angin musim kemarau yang bertiup kencang menyebarkan bara pemicu kebakaran baru di sekitar Kanal Hantipan. Apuk dan teman-temannya sempat kewalahan bertempur melawan api karena kekurangan alat pemadam dan pompa air. Apalagi ada lokasi kebakaran yang jauh dari air kanal. Sumur bor tak ada dan air menjadi barang langka.
Bersama tim pemadam dari Proyek Katingan Mentaya, warga desa membersihkan area menjadi sekat bakar untuk memblokade laju api. Sejumlah embung yang dibuat di beberapa lokasi sebelumnya cukup membantu suplai air. Menurut Muhamad Nurhuda, anggota staf lapangan Proyek Katingan Mentaya, sebagian besar area yang terbakar adalah kawasan terbuka dengan vegetasi rumput. “Tidak ada api yang merembet masuk ke kawasan hutan,” ucapnya.
Lebih dari sebulan Apuk dan warga Kampung Melayu berkolaborasi dengan tim pemadam kebakaran Proyek Katingan Mentaya menaklukkan api. Meski dikepung asap, penduduk kampung memilih bertahan. Apuk bersyukur tidak ada warganya yang jatuh sakit karena terlalu lama menghirup asap. Namun kebakaran itu telanjur melahap lahan sekitar 500 hektare. “Alhamdulillah, semua orang selamat, tapi banyak kebun warga sini binasa,” tuturnya.
Apuk hanya mengedikkan badan saat ditanyai soal sumber kobaran api yang dihadapinya kala itu. Menurut Apuk, regu siaga api yang melapor juga tak tahu asal-muasal si jago merah yang melalap segala tanaman dan lahan gambut di kampungnya. Mereka hanya berpikir segera bergerak melawan api yang terus merangsek ke arah utara. “Bakal lebih repot kalau sampai ke hutan dan perkampungan,” ujarnya.
Regu siaga api seperti yang dimiliki Desa Kampung Melayu menjadi ujung tombak pertahanan menghadapi kebakaran hutan dan lahan. Mereka rutin berkeliling memantau wilayah desa. “Desa-desa sekitar konsesi punya regu siaga api serupa,” kata Apuk.
Kampung Melayu juga memiliki menara pengawas sendiri. Apuk menjelaskan, warga desa berencana membangun dua menara pengawas lagi tahun depan. Lokasi pembangunan yang diincar berada di sisi selatan desa. “Dari pengalaman selama ini, api dan asap banyak dari sana,” ujarnya.
Pengawasan oleh regu siaga api makin intensif memasuki musim kering. Selama empat bulan pada musim kemarau lalu, Apuk mengungkapkan, sejumlah tim berisi tiga orang dikirim bergantian setiap pekan untuk memantau hutan dan lahan gambut di sekitar desa. “Sekalian saja menjaga lahan sendiri dan mengawasi lahan orang lain,” ucapnya.
Kebakaran menjadi ancaman besar area restorasi ekosistem hutan dan lahan gambut Proyek Katingan Mentaya. Terletak di kubah gambut di antara Sungai Katingan dan Mentaya, Kalimantan Tengah, area seluas 157 ribu hektare itu bak berada di atas bahan bakar yang mudah tersulut. Pada 2015, sekitar 9.000 hektare wilayah itu terbakar. Tahun ini, kebakaran melahap wilayah seluas 1.900 hektare. “Sebagian besar area yang terbakar lahan terbuka yang dipenuhi alang-alang, bukan hutan,” tutur Direktur Utama PT Rimba Makmur Utama Dharsono Hartono.
Pengelola Proyek Katingan Mentaya sebenarnya sudah membangun sistem pencegahan kebakaran sendiri. Mereka mengembangkan skema peringatan dini melalui prakiraan cuaca, patroli, dan sistem radio komunitas. Satu menara pengawas setinggi 12 meter dibangun di area terbuka di pinggir Kanal Hantipan.
Mereka pun memiliki sistem peringatan dini berdasarkan pesan otomatis sebagai respons atas titik panas (hotspot) yang terdeteksi satelit. Wahana kontrol radio (drone) juga dipakai untuk mengawasi hutan dan lahan. “Penggunaan drone jauh lebih efektif daripada menara pemantau kebakaran,” kata Dharsono pada Senin, 9 Desember lalu.
Pengelola Proyek Katingan Mentaya juga memiliki sekitar seratus anggota staf pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Meski demikian, Dharsono menambahkan, masyarakat di sekitar area konsesi pun berperan besar menjadi penentu keberhasilan pencegahan kebakaran. Bekerja sama dengan pengurus desa, PT Rimba Makmur Utama membentuk regu siaga api di 25 kampung di sekitar hutan Proyek Katingan Mentaya. “Kita bisa saling menjaga,” ujarnya.
Menurut Apuk, kolaborasi dengan pengelola Proyek Katingan Mentaya untuk menjaga hutan dilakukan sejak tiga tahun lalu. PT Rimba Makmur Utama membantu warga desa memetakan daerah rawan kebakaran, membangun kanal bersekat dan sumur bor, serta mengatur tim patroli pada periode kritis seperti musim kemarau. Mereka pun mengerjakan proyek pembibitan dan penanaman pohon di lahan-lahan terbuka di sekitar kanal.
PT Rimba Makmur Utama juga merekrut sekitar 600 warga kampung di sekitar wilayah konsesi untuk regu siaga api gabungan. Tim itu biasanya dikerahkan pada periode rawan kebakaran pada musim kemarau, yang bisa berlangsung hingga lima bulan. Setiap personel mendapat upah sebesar Rp 100 ribu per hari. “Makan tiga kali sehari juga ditanggung perusahaan,” ucap Dharsono.
Tim gabungan berisi 50-70 orang itu diterjunkan kala kebakaran menerjang sebagian area di sisi barat dan selatan Proyek Katingan Mentaya. Muhamad Nurhuda menerangkan, mereka membuat sekat bakar ketika api sudah terpantau dari jarak sejauh 2 kilometer. “Lebar sekat itu sekitar 25 meter. Kalau panjangnya sudah tak terhitung lagi,” kata Nurhuda.
Desa Penyaguan, Kabupaten Kotawaringin Timur, yang terletak di sisi barat area PT Rimba Makmur Utama, juga memiliki regu siaga api sendiri. Mereka belajar banyak dari dampak kebakaran hebat yang melanda Kalimantan Tengah pada musim kemarau 2015. Saking tebalnya asap menghalangi cahaya matahari kala itu, siang hari terlihat gelap.
Zaenal Abidin, Kepala Desa Penyaguan, menyebutkan warga sudah berusaha menjaga wilayah kampung dari sambaran api. Dia mengklaim regu siaga api desa juga rutin berpatroli. Meski demikian, terbatasnya jumlah personel regu membuat mereka tak bisa menjangkau seluruh wilayah desa. “Siapa tahan menjaga lahan warga yang jauh? Tapi, begitu ada api, semua ribut ke sana,” tutur Zaenal.
Ada lokasi kebakaran di dalam wilayah konsesi PT Rimba Makmur Utama yang terletak sekitar 4 kilometer dari Desa Penyaguan. Menurut Zaenal, tak ada warga kampung yang tahu dari mana api itu berasal. Apalagi Zaenal sudah melarang warganya menyulut api saat membersihkan lahan untuk pertanian. “Tak ada warga sini yang berani membakar lahan. Mereka tahu risikonya besar dan bisa ditangkap polisi,” ujarnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (KATINGAN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo