Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir langsung tancap gas. Belum genap dua bulan menggantikan Rini Soemarno, ia telah melakukan sederet gebrakan. Erick mencopot semua pejabat eselon I dalam sehari, termasuk tujuh deputi Kementerian, lalu menggantinya dengan tiga deputi yang berfokus mengurusi hukum, sumber daya manusia, dan keuangan. Urusan bisnis perusahaan BUMN, yang semula ditangani deputi, kini dikendalikan oleh dua wakil menteri, yakni Budi Gunadi Sadikin dan Kartika Wirjoatmodjo.
Erick juga bersih-bersih BUMN dengan membongkar-pasang jajaran komisaris dan direksi. Ia, misalnya, menunjuk mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, sebagai komisaris utama PT Pertamina dan mantan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra Hamzah, sebagai komisaris utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. “Saya ingin peran komisaris lebih aktif dan menjadi bagian dalam mengelola setiap BUMN,” kata Erick, 49 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Sabtu, 7 Desember lalu.
Ketika skandal penyelundupan sepeda motor Harley-Davidson yang diduga melibatkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra terbongkar, Erick turun tangan. Ia mencopot Askhara dan empat direktur lain. Erick bahkan mengecek kualitas pelayanan maskapai penerbangan pelat merah itu dengan menumpang pesawat Garuda sepulang dari kunjungan kerja di Seoul, Korea Selatan, akhir November lalu. “Saya mendapati realitas di lapangan. Layanan, terutama di kelas ekonomi, menurun,” ucapnya.
Memimpin 142 perusahaan milik negara dengan nilai aset mencapai Rp 8.400 triliun, Erick mengemban tugas mahaberat. Apalagi Presiden Joko Widodo berpesan agar pengelolaan di semua BUMN diperbaiki. Jika perlu, lewat perombakan total.
Kepada Tempo, Erick menuturkan sederet persoalan yang membelit BUMN, dari salah kelola, terseret kasus hukum, model bisnis yang tidak tepat, hingga soal radikalisme. Pengusaha yang mendirikan Mahaka Group dan pernah menjadi pemilik klub sepak bola Inter Milan ini juga mengungkapkan kiatnya mengatasi konflik kepentingan dan dugaan jual-beli jabatan di kementeriannya.
Apa saja perubahan yang Anda bawa untuk memperbaiki pengelolaan BUMN?
Sesuai dengan strategi, nantinya ada rapat bulanan antara saya, komisaris utama, dan direktur utama. Hanya untuk 20 BUMN terbesar. Yang lain mungkin per tiga bulan, bisa saya atau wakil menteri yang memimpin. Mengelola 142 perusahaan bukan hal yang mudah. Siapa pun menterinya, impossible. Selain mengangkat dua wakil menteri, saya mengubah sistem. BUMN dikelola secara corporate, bukan birokrasi. Lalu fungsi kedeputian dirampingkan untuk mengurusi sumber daya manusia, hukum-investigasi, dan keuangan. Cara lain yaitu mendorong peran komisaris agar lebih aktif, bukan duduk-duduk doang.
Selama ini kerja komisaris BUMN tidak optimal?
Di masa kepemimpinan saya, saya ingin peran komisaris lebih aktif dan menjadi bagian dalam mengelola 142 BUMN. Saya sedang membicarakan dengan Kementerian Keuangan, salah satunya tentang bagaimana Menteri Keuangan tetap memegang peran sebagai pemegang saham terbesar BUMN. Ketika bicara suntik modal atau menjual, itu di tangan beliau (Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati). Tapi untuk korporasi bisa dialihkan ke saya. Hak untuk melakukan merger, menutup, atau ada BUMN mau membeli BUMN lain, mungkin di saya. Ini bagian dari sistem tadi. Masih menunggu peraturannya.
Fungsi pengawasan BUMN seharusnya di tangan komisaris, tapi banyak komisaris BUMN berasal dari partai politik. Tanggapan Anda?
Kita mesti melihat background-nya. Selama background dan kontribusinya terasa, saya rasa it’s OK. Jangan dilihat hanya bajunya. Tapi saya sudah buat statemen, siapa pun yang ada di BUMN harus nonpartai. Itu jelas karena ada aturannya di BUMN.
Termasuk komisaris?
Iya. Tapi enggak ada yang melarang, misalnya, dari si ini atau si itu. Kan, enggak ada. Saya contohkan yang terjadi di BTN. Jumlah komisarisnya diturunkan dari delapan ke enam, direksi dari sembilan ke delapan. Komisaris utamanya, Pak Chandra Hamzah, saya rasa enggak usah dipertanyakan. Lalu ada Pak Armand B. Arief (komisaris independen) yang dulu direktur perusahaan bank internasional (Bank UOB Buana). Mereka diperlukan karena di BTN sedang banyak kasus hukum. Kami perlu figur komisaris utama yang mengerti hukum dan bersih.
Bagaimana dengan bank lain?
Saya mau bank-bank di Indonesia kembali ke core business-nya, seperti juga BUMN yang lain. BRI akan berfokus ke mikro, tetap ada korporasi. Bank Mandiri tetap korporasi. BTN berfokus ke perumahan dan korporasi. BNI ke depan juga harus punya keberpihakan selain korporasi. Nanti kami review.
Anda menyebutkan setiap komisaris harus mencopot “baju partai” begitu masuk BUMN. Apakah keberadaan mereka lebih banyak menjadi beban?
Selama mereka diberi direction dan kesempatan, saya rasa bisa. Saya ingin mereka diberi kesempatan dengan direction dan rambu-rambu yang jelas. Kalau tidak bisa, ya, tinggal diganti. Susah amat. Komisaris dan direksi kan bisa diganti setiap RUPS (rapat umum pemegang saham).
Benarkah perombakan struktur di Kementerian BUMN berkaitan dengan isu jual-beli jabatan?
Sewaktu saya masuk, saya menerima laporan ada 17 individu di Kementerian yang tercatat di anak perusahaan BUMN. Seminggu sebelum saya masuk, ada laporan tentang pengeluaran 80 surat keputusan pergantian (pejabat BUMN). Ini menggelitik buat saya. Apakah memang tour of duty atau ingin “memasang bom” buat saya. Tapi saya enggak mau berpikiran negatif. Ya sudah, saya anggap tour of duty dulu. Urusan nanti saya temukan hal-hal politis, apalagi ada jual-beli jabatan, saya sikat.
Siapa saja mereka?
Saya enggak bisa berkomentar. Sedang dipelajari staf khusus dan deputi investigasi. Selama kebijakannya tour of duty dan baik sih oke. Tapi kalau kebijakannya jual-beli jabatan, apalagi pasang “ranjau” buat menterinya, saya sikat.
Apa indikasinya?
Belum tahu. Kan, mesti baca dulu, enggak bisa suudzon.
Siapa yang selama ini berwenang mengatur penempatan orang di Kementerian BUMN?
Saya tidak tahu. Saya tidak mau menyebut sekretaris menteri, deputi, atau menteri sebelumnya. Saya enggak mau terjebak di situ. Siapa pun menterinya di BUMN, ini tidak mudah. Pak Mustafa Abubakar, Sofyan Djalil, Soegiharto, Laksamana Sukardi, Bu Rini Soemarno, saya rasa enggak ada yang sempurna. Saya pun enggak sempurna.
Apakah Presiden menunjuk Anda khusus untuk bersih-bersih BUMN?
Enggak. Beliau memerlukan orang yang bisa mem-balance kepentingan BUMN tidak hanya sebagai lokomotif pembangunan, tapi juga dari sisi korporasinya. Mungkin juga beliau melihat track record saya selama ini kan alhamdulillah enggak ada apa-apa.
Dalam bersih-bersih BUMN tentu banyak tantangan dari kalangan internal dan eksternal perusahaan. Bagaimana Anda membentengi diri dari intervensi pihak lain?
Ketika pergantian Direktur Utama Garuda, beberapa partai mengeluarkan pernyataan yang sangat positif bahwa BUMN harus dikelola secara profesional. Artinya mereka mendukung, kan? Saya tidak yakin mereka akan nitip-nitip. Mereka sudah memberikan pernyataan ke publik. Saya hanya bisa meminimalkan, tidak mungkin full protection. Karena pasti banyak jalur, tidak hanya ke saya. Bisa saja jalur pengangkatan kalau di anak perusahaan bukan ke saya. Bisa saja dia merekomendasikan ke saya, ini komisarisnya, dan saya tanda tangan.
Anda pernah menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Apakah sudah ada yang menitipkan seseorang ke Anda?
Pak Arya Sinulingga (Staf Khusus Menteri BUMN) kan dulu anggota TKN. It’s OK selama dia bisa deliver. Kalau enggak bisa deliver, ya tahun depan saya tinjau ulang. Tapi memang saya juga tidak akan lupa kepada mereka yang telah berkeringat. Asalkan yang berkeringat mau “copot baju” dan perform. Itu kan realitas, kita enggak sempurnalah. Belum saya cek juga apakah di direksi BUMN ada saudara saya. BUMN ada banyak sekali, bisa saja ada saudara jauh kawin sama siapa. Tapi kalau dia ngaku-ngaku saudara malah lebih enak buat saya, bisa duluan diganti, he-he-he....
Menteri BUMN, Erick Thohir, (kanan) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, menunjukkan barang bukti yang diselundupkan di pesawat baru milik Maskapai Garuda Indonesia Airbus A330-900 NEO di Jakarta, 5 Desember lalu. TEMPO/Tony Hartawan
Sebelumnya, Anda dikenal publik sebagai pengusaha dan mempunyai kakak seorang pengusaha. Bagaimana Anda memastikan tidak terjadi konflik kepentingan?
Saya sudah mundur dari semua perusahaan dan memberikan semuanya kepada kakak saya (Garibaldi “Boy” Thohir, Presiden Direktur dan Chief Executive Officer PT Adaro Energy). Saya rasa sejak di TKN dan bahkan sebagian pada saat Asian Games. Saya yakin Boy Thohir bukan figur yang minta-minta proyek. Beliau tentu punya keteguhan sendiri untuk menjaga adiknya. Apa yang dijalankan oleh Adaro sekarang sudah terbukti menjadi perusahaan yang kredibel, kontribusinya ke negara jelas, bahkan mendapat penghargaan pajak (The Most Tax Friendly Corporate pada 15 November lalu).
Dewan Perwakilan Rakyat sedang membahas revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Salah satu poinnya tentang pembatasan lahan konsesi pertambangan menjadi maksimal 15 ribu hektare. Sementara itu, Adaro memiliki hampir 35 ribu hektare. Bagaimana Anda menyikapinya?
Saya cuma meyakini yang kita jalankan harus obyektif, tidak berdasarkan kepentingan. Saya ini, mohon maaf, sangat powerful. Tapi kalau saya menyalahgunakan kekuasaan itu semata buat kepentingan pribadi, ya enggak usah di sini. Kontribusi sebagai swasta juga ada kepada masyarakat dan pemerintah.
Apa sikap resmi Anda terhadap revisi Undang-Undang Minerba?
Saya serahkan ke DPR saja.
Instrumen apa yang disiapkan untuk memilih direksi dan komisaris BUMN?
Seleksi lewat talent pool tetap dijalankan. Salah satu anggota staf khusus saya, Profesor Nanang Pamuji, akan berfokus mengkaji talent pool dan inovasi sekaligus meninjau sistem pemilihan agar bisa lebih baik.
Belajar dari kasus penyelundupan yang diduga melibatkan bekas Direktur Utama Garuda Indonesia, apa yang perlu dibenahi?
Persoalan Garuda banyak. Ada persoalan kinerja keuangan yang merugi, rute-rute yang tidak profitable, membeli pesawat terbang yang salah. Sebenarnya tiga minggu lalu saya duduk one-on-one dengan Direktur Utama Garuda. Saya minta untuk meninjau model bisnisnya. Apakah tidak lebih baik Garuda berfokus di dalam negeri dan Asia saja karena pasar masih gemuk dan bisa untung. Tidak usah gaya-gayaan terbang ke Eropa. Tapi kan keputusan terbang ke Eropa bukan direktur utama yang sekarang. Kita mesti obyektif. Tidak boleh kuping tipis.
Belakangan ini kualitas layanan Garuda dikeluhkan oleh banyak konsumen.
Beberapa waktu lalu saya travel sendiri balik dari Seoul, sampai semua pejabat Kementerian dan pihak Garuda panik. Sebenarnya secara prosedur enggak boleh, tapi dari situ saya melihat realitas di lapangan. Seperti yang dikomplain netizen soal kualitas makanan di kelas ekonomi. Saat saya lihat bagaimana pramugari melayani penumpang di kelas ekonomi, kualitas makanan dan jumlahnya bukan standar Garuda-lah.
Anda duduk di kelas ekonomi?
Saya di kelas bisnis, tapi sempat mengecek ke belakang. Saya cek toiletnya, enggak dijaga kebersihannya. Saya kan orang media, ketika saya lihat filmnya enggak ada yang baru, ternyata belum beli film baru selama setahun. Layanan, terutama di kelas ekonomi, menurun.
Tidak ada yang mengenali Anda seorang menteri?
Awalnya mereka tidak ngeh. Karena saya pakai jins, jaket, dan bawa ransel. Sewaktu di ekonomi enggak ada yang tahu, he-he-he....
Ada rencana untuk meninjau kebijakan direksi Garuda sebelumnya?
Ya bisa, tapi kan ada 142 BUMN. Kalau saya terjebak di Garuda terus, bagaimana? Makanya saya harus membuat sistem, peran direksi dan komisaris ditingkatkan.
Selain Garuda, ada persoalan BUMN karya yang terlilit utang karena mendapat penugasan menggarap infrastruktur pada periode pertama pemerintahan Jokowi.
Saya rasa itu bukan sesuatu yang kompleks. Apalagi akan ada omnibus law dan rencana pemerintah mengeluarkan sovereign wealth fund (dana kekayaan negara) yang nanti harus disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. Aset-aset yang sudah bagus, seperti jalan tol, kalau bisa mencari partner supaya ada cash flow baru buat perusahaan-perusahaan tol. Enggak bisa terus dibebani utang. Nanti kita sehatkan dengan sistem partnership. Tidak perlu dominasi penuh dari BUMN.
Apakah Presiden pernah menyarankan figur tertentu untuk memimpin BUMN, terutama yang tier I?
Beliau sebenarnya jarang bilang harus. Tapi, dalam beberapa kasus, biasanya beliau menyampaikan pemikirannya dan mendengar masukan. Beliau sangat mendengar publik. Dari kasus Pak BTP (Basuki Tjahaja Purnama), kami sudah mencatat beberapa figur yang menurut kami pendobrak. Pertamina sangat berat kalau tidak ada figur yang menjaga deadline dan mendobrak. Karena itu, salah satu figur yang akhirnya masuk adalah Pak BTP.
Basuki Tjahaja Purnamadisebut khusus oleh Presiden?
Enggak, prosesnya kan ada. Sama seperti komisaris di BUMN lain.
Presiden tidak pernah mengusulkan nama Basuki Tjahaja Purnama?
Beliau, ketika melihat nama itu, ya langsung tertariklah. Tapi kami mengusulkan dengan beberapa nama lain.
Bagaimana dengan PT Perusahaan Listrik Negara?
Di PLN juga akan ada figur-figur pendobrak seperti Pak BTP. Nanti PLN mirip Pertamina, jajaran komisarisnya bakal diisi figur yang bisa memastikan PLN berubah pola pikir dan model bisnisnya. PLN itu distribusi listrik, bukan membikin listrik. Ingat, tahun 2023 kalau tidak ada investasi baru di power plant, kita akan bermasalah. Karena suka-tidak suka, listrik menjadi kebutuhan yang sangat penting. Apalagi nanti mobil pun pakai listrik. Bukan berarti kebijakan sebelumnya salah, tapi ini perubahan model bisnis. Dengan perubahan arah yang baru, maka kita perlu komisaris dan direksi yang tepat.
Pegawai sejumlah BUMN disinyalir terpapar paham radikal. Bagaimana upaya Anda mengatasi persoalan ini?
Saya sudah bertemu dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Beliau sudah memberi daftar tentang langkah-langkah yang harus dilakukan. Saya sampaikan ke Pak Mahfud, akan saya tindaklanjuti, tapi beri waktu. Deputinya belum ada, ini belum rapi semua. Beliau ketawa. Arahan beliau bagus, tapi tentu saya perlu waktu.
Apakah daftar itu tentang BUMN yang terpapar radikalisme dan orang-orangnya?
Saya enggak mau berkomentar karena itu bagian dari rahasia negara.
Datanya sudah ada?
Data yang diberikan Pak Mahfud sangat detail, tapi saya enggak bisa berbicara soal itu.
Apakah paparan paham radikal sampai mempengaruhi kinerja BUMN?
Loyalitas itu penting kepada negara dan visi Presiden. Kalau di swasta, enggak sepakat mungkin enggak apa-apa. Cuma, kalau sudah bekerja di BUMN, ya loyalitasnya mesti jelas. Enggak bisa berbeda, orang cari makannya di sini. Swasta pun kalau ideologinya bukan yang (menunjuk lambang Garuda Pancasila di dinding), ya mending jangan di Indonesia. Kan, banyak negara yang mungkin lebih punya visi sesuai dengan hatinya.
Bagaimana Anda menyikapinya?
Saya juga kan Islam. Lahir sebagai penganut Islam. Saya tidak mau nanti isu yang dikembangkan saya anti-Islam. Saya hanya menganut Islam yang saya kenal. Selama ini di Indonesia, menurut saya, sudah sangat baik dan sudah menjadi percontohan.
Penanganannya diserahkan ke BUMN masing-masing atau ada tim khusus?
Saya rasa ada tim khusus. Bekerja sama dengan Pak Menkopolhukam, kan ahlinya. Kalau korporasi, saya bisa jawab.
Erick Thohir | Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 30 Mei 1970 | Pendidikan: • S-2 Administrasi Bisnis di National University, California, Amerika Serikat (1993) | Karier: • Pendiri dan Komisaris Utama Mahaka Group (1992-2019) • Direktur PT Visi Media Asia (2011-2013) • Direktur Utama ANTV (2014-2019) • Presiden Direktur PT Lativi Media Karya (TVOne, 2007-2010) • Presiden Direktur PT Intermedia Capital Tbk (2013-2019), Ketua Klub Basket Satria Muda (1999-2019) • Presiden FC Internazionale (2013-2018) • Direktur Oxford United FC (2018-2019) • Menteri Badan Usaha Milik Negara (2019-sekarang) | Organisasi: • Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (2015-2019) • Ketua Panitia Pelaksana Asian Games (2018) • Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin (2018-2019) • Anggota Komite Olimpiade Internasional (2019-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo