Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Garudeya, Refleksi Perjalanan Candi ke Candi

Pameran tunggal perupa Putu Sutawijaya yang terinspirasi dari kisah burung Garudeya sebagai penjaga kebinekaan.

14 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANUSIA-MANUSIA berkepala burung garuda menyerbu ruang galeri. Tengoklah sebuah lukisan hitam-putih. Manusia berkepala garuda mencengkeram balon bergambar peta Indonesia pada kedua ujungnya. Di belakang manusia itu berdiri pasukan orang berkepala burung, simbol Bhinneka Tunggal Ika. Karya berukuran 200 x 145 sentimeter dan berbahan akrilik pada kanvas ini berjudul Menjaga.

Karya dua dimensi lain juga mengeksplorasi burung garuda. Semuanya diwujudkan dalam bentuk kepala garuda bertubuh manusia. Sesosok tubuh manusia bertopeng garuda sedang melayang di pusaran yang penuh labirin. Naga-naga mengelilingi garuda di pusaran. Garuda yang telanjang menyentuh lututnya dan mengambang di tengah pusaran. Karya ini berjudul Pembebas dan dibuat pada 2019. Selain lukisan, karya seni instalasi dan patung mengeksplorasi tema garuda. Karya seni instalasi berbentuk rangka manusia berkepala garuda tampak seperti sedang menari. Obyek yang rancak ini digantung dan dikaitkan pada langit-langit ruangan menggunakan kawat. Karya ini berjudul Learning to Play.

Karya-karya perupa asal Bali, Putu Sutawijaya, itu ditampilkan dalam pameran bertajuk “Anetes” di Sangkring Art Space, Nitiprayan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 27 November-5 Desember 2019. Putu memajang sepuluh karya seni di galeri miliknya. Anetes berasal dari kata “menetas”. “Tema garuda terinspirasi dari kisah burung Garudeya sebagai penjaga kebinekaan,” ucap Putu.

Kisah Garudeya berhubungan dengan “Samodramantana” atau “Amretamantara”. “Amretamantara” merupakan salah satu episode cerita yang terdapat dalam “Adiparwa”, yaitu bagian pertama dari wiracarita Mahabharata. Pokok kisah tersebut berhubungan dengan keluarga Vyasa, tepatnya kisah genealogis Vyasa (Byasa) dengan dua istrinya beserta kejadian dramatis seputar anak keturunan mereka. Kedua istrinya bernama Winata dan Kadru.

Putu tertarik mengeksplorasi Garudeya karena gelisah terhadap situasi sosial-politik Indonesia. Dia prihatin terhadap kisruh pemilihan presiden 2019 yang memecah belah rakyat Indonesia, terutama dua kubu pendukung calon presiden yang terbelah. Dari situasi itu, Putu melihat burung garuda sebagai simbol negara dan kebinekaan hanya dimaknai secara kaku. Burung garuda cuma dipajang di tembok-tembok tanpa diresapi maknanya secara mendalam. Padahal garuda punya simbol penting, misalnya menekankan pada penghormatan terhadap keberagaman dan keadilan. Tapi kontestasi pemilihan presiden 2019 justru menggambarkan keretakan, kepentingan politik dengan membawa isu agama, primordialisme, dan sentimen ras.

Selepas melihat percekcokan dua kubu pendukung pasangan calon presiden itu, Putu kemudian tergerak membuat karya bertema Garudeya. Dia memulainya dengan blusukan ke sejumlah candi dan situs yang terdapat Garuda. Pada 22 September lalu, ia bersama istrinya, Jenni Vi Mee Yei; serta budayawan, kritikus sastra, dan dosen, Kris Budiman, mendatangi penggalian situs Petirtaan Sumberbeji di Jombang, Jawa Timur.

Menjaga karya Putu Sutawijaya. TEMPO/ Gunawan Wicaksono

Dari penggalian itu, Putu, Jenni, dan Kris melihat arca Garudeya yang muncul dari endapan lumpur. Arca garuda dari batu andesit itu seperti sedang berancang-ancang terbang. Di tangannya tergenggam sebuah cupu berisi tirta amarta. “Saya tambah bersemangat berkarya saat melihat arca itu,” ucap Putu. Dia juga menemukan Garudeya di Candi Kidal di Kecamatan Tumpang, Malang, Jawa Timur. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Singasari. Candi Kidal menjadi pemujaan tertua di Jawa Timur dari pemerintahan Airlangga (11-12 Masehi). Raja-raja Kediri (12-13 Masehi) hanya meninggalkan Candi Belahan dan Jalatunda. Candi Kidal dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada Raja Anusapati. Candi ini dibangun pada 1248.

Relief Garudeya terpahat pada badan Candi Kidal. Pahatan itu menggambarkan amanat Raja Anusapati untuk merawat ibunya, Ken Dedes. Penulis pameran itu, Kris Budiman, menyatakan karya Putu Sutawijaya yang berjudul Pembebas merepresentasikan ajaran tersebut. Lukisan itu, menurut Kris, menerjemahkan suatu peristiwa inti dalam kisah Garudeya: ketika sang Garuda menggantikan Winata, ibunya, sebagai budak yang harus menjaga para naga, anak-anak Kadru. “Peristiwa tersebut hadir sebagai salah satu relief Garudeya di Candi Kidal,” kata Kris. Dari karya-karya itu, menurut Kris, Putu tak sekadar menerjemahkan. Dia justru menafsir ulang dan membalik tekanan maknanya: dari perbudakan ke pembebasan. Kris juga mengutip pernyataan ahli sastra Jawa Kuno, Zoetmulder. “Kinon ira ta sang Winatânunggwiha ri sira; sang Garuda kinon irânunggwiheng nâga kabeh” (Zoetmulder, 1994 : 76).

Selain blusukan ke candi-candi di Jawa Timur, Putu menyusuri situs-situs di sekitar Candi Borobudur dan Candi Mendut di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, untuk melihat obyek garuda. Kegemarannya itu menjadi modal Putu menghasilkan karya bertema garuda.

Putu dikenal menginisiasi kelompok Bol Brutu atau Gerombolan Pemburu Batu sejak 2009. Bersama akademikus, peneliti, dan pengamat sosial-budaya, dia menapak tilas ke situs dan candi. Komunitas itu di antaranya beranggotakan Putu Sutawijaya, Kris Budiman, Apriadi Ujiarso, dan Cuk Riomandha. Putu berencana memamerkan karyanya itu dalam pameran tunggal di Bali pada 2020 dan Jakarta pada 2021. Konsep pamerannya tidak berubah alias mengusung tema garuda. Hanya, jumlah karya seni yang ia tampilkan akan lebih banyak.

Putu selama ini tersohor dengan lukisan tentang ritual. Sering yang disajikan adalah lukisan-lukisan yang mengesankan ratusan orang serempak duduk melingkar tengah melakukan ritual atau meditasi bersama. Terasa ada gerak tubuh, emosi, dan ensemble trance dari orang-orang itu. Terasa ada irama dari dalam. Terasa ada gelombang dari gestur kolektif orang-orang tersebut. Terasa ada kekuatan batin. Putu banyak mengulang-ulang tema lukisan ini, tapi hasilnya selalu berbeda. Gerak ratusan orang, mengayunkan tubuh ke kiri-ke kanan, terasa mencapai level trance yang berlainan. Itu kelebihan utama Putu. Sementara itu, instalasi-instalasi Garudeya lebih terkesan analisis Putu dari luar.

SHINTA MAHARANI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus