Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEGEROMBOLAN simpai belum menghabiskan sarapan buah jambu tangkalak dan pucuk bedih ketika Musadat menyambut tamunya di depan Camp Hutan Harapan di Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi, pada Sabtu, 30 November lalu. Pagi itu, pria asal Palembang, Sumatera Selatan, yang menjabat Supervisor Bisnis Ekowisata PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) tersebut bertugas memandu empat warga Jepang dan Tempo yang hendak menyusuri Hutan Harapan, bekas hutan produksi yang dikelola PT Reki.
Musadat, 42 tahun, memafhumi Hutan Harapan seperti ia mengenali anggota tubuhnya. Bagaimana tidak? Ia bekas karyawan PT Asialog, perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) yang menguasai Hutan Harapan sebelum PT Rekri merekrutnya pada 2007. “Selain simpai dan monyet ekor panjang, jika bernasib baik, kita bisa melihat ungko,” kata Musadat sembari mengajak peserta tur melintasi tepi danau di belakang Camp Hutan Harapan.
Sambil melewati jalan setapak yang ditutupi serasah, Musadat menjelaskan satu per satu pohon unik yang menjadi peninggalan bekas wilayah HPH itu. Ada meranti, jelutung, kempas, dan seva. Ada pohon yang diameternya 85 sentimeter, yang berarti umurnya di atas 85 tahun. Masayasu Taniguchi, peserta tur asal Tokyo, terkagum-kagum melihat getah putih jelutung yang mengucur ketika batangnya ditoreh parang. Musadat mengatakan getah itu bahan baku permen karet.
Taniguchi juga tertarik saat melihat seruas rotan yang berduri. Senior manager external relations perusahaan plastik Sekisui Chemical Co Ltd itu mengungkapkan, di negaranya, furnitur rotan sangat mahal. Ia mengunjungi Hutan Harapan untuk menjajaki kemungkinan menjadi donor. “Biodiversitas di hutan ini sangat tinggi dan sangat banyak jenis pohonnya. Sangat penting untuk diselamatkan,” ujarnya.
Keiko Suzeo, Representative Director BirdLife International Tokyo, yang mendampingi Taniguchi, menyebutkan Hutan Harapan sangat bagus dikembangkan menjadi tujuan ekowisata. “Hutan ini dapat membuka mata sebagai tempat edukasi tentang hutan. Juga banyak jenis burungnya,” ucapnya.
Hutan Harapan adalah bekas wilayah HPH PT Asialog dan PT Inhutani V yang memiliki luas 98,56 ribu hektare. Hutan restorasi ini berlokasi di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, dan Kabupaten Batanghari. Kawasan ini merupakan hutan tropis dataran rendah yang masih tersisa di Sumatera. Kenyataannya, Hutan Harapan dikelilingi kebun sawit dan hutan tanaman industri.
Meskipun kondisi sebagian hutan rusak akibat aktivitas HPH sebelumnya, di area ini terdapat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Hutan Harapan menjadi habitat penting bagi 26 spesies langka dan kritis, seperti harimau Sumatera, gajah, tapir, ungko, anjing hutan, dan tenggiling, serta berbagai jenis burung dan tumbuhan endemis.
Hutan Harapan memiliki lebih dari 600 jenis flora. Adapun spesies burungnya berjumlah 307 dari 626 jenis burung di Sumatera. Sebanyak 66 jenis di antaranya berstatus terancam punah. Hutan ini juga rumah bagi 64 jenis mamalia dari 194 jenis yang ada di Sumatera. Terdapat pula 71 dari 240 jenis reptil, 55 dari 77 jenis amfibi, serta 123 dari 589 jenis ikan di Sumatera.
Mengelola Hutan Harapan sebagai kantong keanekaragaman hayati yang tinggi jelas tidak mudah. Pada Juli-September lalu, misalnya, terjadi kebakaran di area seluas lebih dari 600 hektare di sektor Sungai Jerat. Area yang berjarak satu jam perjalanan dari Camp Hutan Harapan itu merupakan hutan yang ditebangi perambah untuk dijadikan kebun sawit.
Direktur Operasional PT Reki Adam Aziz mengatakan kebakaran terjadi di daerah konflik antara perusahaannya dan perambah yang datang dari Sumatera Utara dan Riau. Dibutuhkan 53 hari untuk memadamkan kebakaran. Api baru bisa padam setelah 22 perambah ditangkap polisi. “Lokasi kebakaran sebagian akan ditanami tanaman agroforestri dan sebagian dibiarkan menghutan secara alami,” tutur Adam, Ahad, 1 Desember lalu.
Adam mengungkapkan, perambah hutan adalah masalah berat. Bahkan karyawan PT Reki pernah diculik saat satu perambah diserahkan ke polisi. Menurut dia, dalam sepuluh tahun ini, banyak perkembangan dalam penanganan konflik. Sudah delapan kelompok dalam Hutan Harapan yang menjadi mitra, yakni 4 dari masyarakat asli Batin Sembilan, 3 pendatang, dan 1 komunitas Melayu. Luas lahan yang dikelola 3.002 hektare dalam bentuk perhutanan sosial.
Temenggung Rusman, pemimpin suku Batin Sembilan, mengklaim sebagai orang Batin pertama yang bekerja dengan PT Reki. Sekarang sekitar 40 orang Batin bekerja di Reki sebagai penjaga hutan. “Pada 2013, kami menandatangani kesepakatan dengan Reki. Kami merasa aman, bisa keluar-masuk hutan dan mengambil hasil hutan asalkan tak menebang pohon,” kata Rusman.
Pengunjung yang diantaranya adalah peneliti melakukan pengamatan di Hutan Harapan, Jambi/Tempo/Febrianti
Kini luas tutupan Hutan Harapan yang masih bagus berdasarkan data analisis citra satelit sekitar 72 ribu hektare. Menurut Direktur Utama PT Reki Mangarah Silalahi, selama 2010-2019, perusahaannya menanam 1.552.506 bibit pohon di Sumatera Selatan dan Jambi dengan luas wilayah 4.850 hektare. Sejak 2018, Mangarah menambahkan, PT Reki telah menanam bambu di lahan seluas 41 hektare dari target 2.000 hektare. Bambu, dia menerangkan, menjadi sumber pendapatan hasil hutan bukan kayu selain madu dan ekowisata.
Ancaman besar lain adalah rencana pembukaan jalan tambang yang membelah Hutan Harapan sepanjang 31,8 kilometer. Jalan itu diusulkan PT Triaryani, anak perusahaan Grup Rajawali yang memiliki konsesi tambang batu bara seluas 2.143 hektare di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Jalan 88 kilometer itu menghubungkan tambang dengan pinggir Sungai Bayung Lincir, Musi Banyuasin.
Menurut Adam, jalan tambang di dalam kawasan Hutan Harapan merupakan ancaman besar terhadap biodiversitas dan 300 keluarga asli Batin Sembilan. Upaya pemulihan hutan yang telah dilakukan juga terancam. Jalan itu memberi perambah hutan akses baru. “Lokasi yang akan dijadikan jalan adalah zona lindung yang hutannya masih sangat bagus,” ujarnya.
Adam menyebutkan pihaknya sudah mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar tidak memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pembangunan jalan tambang itu. Ia berharap Menteri Siti Nurbaya tidak menerbitkan izin pembukaan jalan. “Saya tidak tahu perkembangan terakhirnya. Tapi kelihatannya prosesnya terus berjalan,” ucap Adam.
Pekerjaan besar yang membutuhkan biaya besar dalam restorasi adalah mempertahankan dan mengamankan kawasan. Menurut Mangarah, tiap tahun, biaya operasional PT Reki mencapai 15 miliar. “Saat ini pendapatan hasil hutan bukan kayu baru dapat membantu 10-15 persen biaya operasional di luar gaji,” katanya. “Namun kami optimistis lima tahun mendatang minimal 50 persen pengeluaran dapat ditutup dari unit bisnis perusahaan.»
Saat ini, dana restorasi Hutan Harapan berasal dari Kreditanstalt fuer Wiederaufbau, bank terkemuka Jerman. Sebelumnya, pada 2012-2018, pendanaan dibantu Danida (Kementerian Luar Negeri Denmark) selain lembaga donor lain. Perhatian dunia internasional untuk keberlanjutan Hutan Harapan tinggi. “Mereka bilang yang terjadi di Hutan Harapan tidak hanya berdampak di sini, tapi juga pada global,” kata Adam.
Perhatian dan dukungan dari pemerintah masih sangat dibutuhkan PT Reki. Adam berharap pemerintah memberikan insentif perpajakan.“Jangan samakan regulasi atau perlakuan perusahaan restorasi dengan hutan tanaman industri dan HPH, karena kami tidak ada untung apa pun,” ucap Adam. Untuk pajak bumi dan bangunan, misalnya, PT Reki membayar sebesar Rp 1,5 miliar per tahun dan angka itu tiap tahun naik.
Hal lain adalah masalah penegakan hukum. Pemerintah sudah menetapkan bahwa kawasan hutan yang izinnya diberikan kepada pihak swasta sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak swasta, terutama di hutan produksi. “Saya berharap kelas perusahaan restorasi ini sedikit di bawah taman nasional. Kita butuh support dari pemerintah untuk penegakan hukum,” tutur Adam.
FEBRIANTI (JAMBI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo