Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABDUL Wahab terpaksa memutar kelotoknya untuk pulang ke rumah. Asap kebakaran di ujung Kanal Hantipan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, pada September lalu terlalu tebal untuk diterabas perahu tradisional itu. Dia berubah pikiran begitu melihat sekelompok orang menunggu perahu di dermaga. Kanal sepanjang 30 kilometer itu akses utama warga Katingan menyeberangi lahan gambut untuk sampai ke kawasan Sungai Mentaya, Kabupaten Kotawaringin Timur.
Menahan perih di mata gara-gara menghirup asap, Wahab awalnya berkukuh mengantarkan para penumpangnya yang berasal dari arah barat. Kelotoknya, yang berkapasitas enam orang, juga pasti terisi penumpang untuk perjalanan pulang ke Katingan. Mereka terpaksa menerobos kanal yang diselimuti asap ketimbang harus memutar lebih jauh lewat Teluk Sampit. Angin kencang pada musim kemarau memicu gelombang tinggi di laut. “Ada penumpang yang pingsan, tak kuat menahan asap,” kata Wahab pada Sabtu, 23 November lalu.
Kebakaran berkobar di Katingan sejak pertengahan Agustus lalu. Cuaca kering dan angin kencang memperburuk keadaan. Api merembet masuk ke padang di sekitar kanal dalam area restorasi ekosistem Katingan Mentaya Project, yang dikelola PT Rimba Makmur Utama (RMU). Tim pemadam perusahaan dibantu warga kampung memadamkan api dan menutup jalur kebakaran. “Sekitar 500 hektare lahan terbakar,” ucap Apuk Harto, Kepala Desa Kampung Melayu, kampung terdekat dengan lokasi kebakaran.
Kanal Hantipan yang membelah sisi selatan kawasan restorasi ekosistem Katingan Mentaya, Kalimantan Tengah, 23 November 2019./Tempo/Gabriel Wahyu Titiyoga
Gerak Limbung Lumbung Karbon/Tempo
Hujan yang turun pada Oktober lalu membantu meredakan kebakaran. Taruk-taruk pakis dan rumput tumbuh kembali. Namun jejak banal kebakaran masih terlihat jelas. Lapisan tanah di tepi kanal gosong terbakar. Serasah di permukaan lahan gambut telah menjadi abu. Arang tunggul-tunggul pohon menyembul di permukaan tanah. “Api itu dari luar area PT RMU, menyebar cepat sampai menyeberang kanal,” ujar Wahab.
Hasil analisis data satelit sejak Januari lalu oleh organisasi lingkungan Auriga menunjukkan ada 160 titik panas (hotspot) di area konsesi Proyek Katingan Mentaya. Titik panas terbanyak, 130 titik, muncul pada September lalu. Jumlah titik panas baru turun drastis pada bulan berikutnya.
Kebakaran yang lebih luas terjadi di sisi barat wilayah konsesi PT RMU. Penelusuran Tempo serta jurnalis Narasi, Aqwam F. Hanifan dan Achmad Nur Wahid, pada November lalu mendapati lokasi kebakaran sekitar 8 kilometer dari Desa Penyaguan, Kabupaten Kotawaringin Timur. Daerah itu bisa dicapai dengan menumpang perahu kecil menyusuri jaringan kanal dan berjalan kaki.
Lahan yang hangus terbakar di lokasi yang tadinya dipenuhi belukar dan pohon terentang hingga lebih dari 1 kilometer. Sebagian lahan gambut basah terendam air hujan yang turun sebelumnya dan sudah mulai dipenuhi ilalang. Foto dan video dari udara menunjukkan alur kebakaran meluas mendekati dinding pepohonan kawasan hutan. Warna hitam dan cokelat lahan yang terbakar bertabrakan dengan rona hijau pepohonan rapat di hutan gambut.
Kepala Desa Penyaguan, Zaenal Abidin, mengatakan asap kebakaran sempat melingkupi kampungnya sekitar dua pekan. Namun kondisinya lebih baik dibanding dampak kebakaran besar yang melanda Kalimantan pada 2015. Kabut asap membuat hari gelap serasa malam. “Tahun ini asap lebih tipis, hilang setelah timbul matahari,” katanya.
Sebagian area bekas kebakaran kini ditumbuhi padi. Bibit-bibit padi rupanya disebar tak lama setelah kebakaran reda. Ada patok-patok bertulisan sejumlah nama yang menjadi tanda lokasi. Meski demikian, Zaenal memastikan tak ada warganya yang membakar lahan untuk bertani. Mereka tak tahu dari mana datangnya api. Dia menduga kebakaran dipicu bara api yang terbang tertiup angin kencang musim kemarau. “Masyarakat hanya memanfaatkan lahan bekas kebakaran,” tutur Zaenal.
Menggunakan citra satelit, tim lapangan organisasi lingkungan Save Our Borneo menghitung luas area kebakaran mencapai 1.900 hektare. Ini setara dengan luas sekitar 2.000 lapangan sepak bola. “Kerugian besar dalam usaha restorasi lahan gambut, banyak stok karbon yang sudah tersimpan lenyap,” ujar anggota Save Our Borneo, Muhamad Habibi.
Direktur Utama PT RMU Dharsono Hartono mengatakan timnya sudah berusaha maksimal mencegah api menyebar. Luas area kebakaran pun jauh lebih kecil daripada 2015, yang mencapai 9.000 hektare. Wilayah yang dilalap api itu bagian dari sekitar 12 ribu hektare padang terbuka minim pohon yang harus direstorasi. “Dua tahun terakhir tak terbakar. Ini yang terburuk sejak 2015,” ucap Dharsono.
•••
PROYEK Katingan Mentaya dirintis Dharsono Hartono dan rekannya, Rezal Kusumaatmaja, pada 2007. Hutan dan rawa gambut menyimpan stok karbon berlimpah. Mereka menilai kawasan itu lebih baik dikonservasi ketimbang dikonversi menjadi lahan pertanian atau perkebunan sawit. “Banyak perusahaan membuka dan mengeringkan lahan gambut, lalu ditanami sawit, akhirnya deforestasi dan banyak kebakaran,” kata Dharsono.
Dharsono dan Rezal mengajukan proposal untuk mengelola sekitar 200 ribu hektare lahan di antara Sungai Mentaya dan Katingan, Kalimantan Tengah. Mereka sudah menyusun rencana perdagangan karbon, bisnis jasa lingkungan yang belum dikenal luas di Indonesia. Izin restorasi ekosistem baru turun lima tahun kemudian. “Selama itu pula saya melakukan sosialisasi ke penduduk desa soal program Katingan,” ucap Dharsono.
Dharsono dan timnya mempromosikan sistem bertani tanpa menebang pohon dan membakar lahan. Warga desa banyak memakai praktik tebang dan bakar dalam membersihkan lahan untuk pertanian. Cara ini dianggap lebih cepat dan murah, padahal menimbulkan kerugian besar saat kebakaran meluas. Dharsono juga memperkenalkan proyek pembuatan gula kelapa di selatan wilayah konsesi, yang dipenuhi kebun kelapa. “Perlu waktu tiga tahun bernegosiasi dengan warga,” ujarnya.
PT Rimba Makmur Utama bermitra dengan 34 desa untuk menjaga kawasan hutan. Mereka menjalankan proyek pembibitan pohon untuk restorasi. Hingga saat ini, lebih dari 340 ribu bibit pohon ditanam di lahan seluas 800 hektare. Menurut Dharsono, pemberdayaan masyarakat menjadi kunci proyek restorasi ekosistem di Katingan. “Jika mereka tidak bisa berproduksi secara berkelanjutan, akhirnya malah menebang pohon dan membakar lahan,” tuturnya. “Cepat atau lambat, itu akan merembet ke area konservasi.”
Investasi untuk membangun proyek bisnis karbon Katingan mencapai US$ 15 juta atau sekitar Rp 209 miliar. Mereka bekerja sama dengan perusahaan Inggris, Permian Global, Yayasan Puter Indonesia, dan Wetlands International. Mereka juga berkolaborasi dengan lembaga verifikasi karbon asal Amerika Serikat, Verra.
Setiap tahun, Proyek Katingan Mentaya diperkirakan mencegah sekitar 7,5 juta ton karbon lepas ke udara. Dharsono tak bersedia mengungkap berapa banyak jumlah karbon yang dijual dan berapa pendapatan perusahaan. Dia hanya menyebutkan tren penjualan karbon baru terlihat dalam dua tahun terakhir. Klien mereka antara lain Shell, Volkswagen, dan BNP Paribas. “Harga kredit karbon berkisar US$ 5-10 dolar per ton,” katanya.
Shell tidak bersedia mengungkap berapa besar investasi mereka untuk proyek karbon Katingan-Mentaya. Meski demikian, bencana kebakaran tidak akan mempengaruhi kompensasi yang mereka keluarkan. Dalam keterangan tertulis kepada jurnalis Investico, Daphne Dupont-Nivet, Shell menyatakan tidak ada kredit karbon yang dikeluarkan dari daerah yang terbakar karena tak ada karbon yang diserap alam. “Tidak akan ada kredit yang bisa dibeli Shell atau perusahaan lain.”
Shell menyatakan kredit karbon harus diverifikasi dan divalidasi dulu asalnya sebelum dijual. Perusahaan itu pun hanya akan membeli kredit karbon yang sudah diverifikasi secara independen sesuai dengan norma, seperti Verified Carbon Standard (VCS) dari Verra dan Gold Standard.
Dharsono mengatakan para kliennya membeli kredit karbon Proyek Katingan Mentaya melalui proses seleksi yang panjang. Ia menjamin kredit karbon yang dijual telah terverifikasi dan terdaftar berdasarkan VCS dan Climate Community and Biodiversity Standard. “Kami terbuka dan transparan, secara berkala juga memberikan laporan,” ujarnya.
Muhamad Habibi menilai langkah PT RMU merestorasi dan menjaga lahan gambut sudah cukup baik. Apalagi perusahaan mengatakan wilayah di antara Sungai Katingan dan Mentaya merupakan kesatuan ekosistem gambut. “Tidak ada fungsi hutan yang berubah, pohon juga bertambah di kawasan yang tadinya rusak,” tuturnya.
Perdagangan Karbon dan Janji Penurunan Emisi/Tempo
Masalahnya, Habibi melanjutkan, wilayah Proyek Katingan Mentaya berdempetan dengan perkebunan sawit, yang berdampak negatif. Bukannya membuat zona proteksi, pemerintah malah melepas kawasan hutan dan gambut seluas 40 ribu hektare kepada tiga perusahaan sawit yang kini mengepung area konsesi Proyek Katingan Mentaya.
Selain itu, pembangunan kanal yang terkoneksi dengan sungai alam berpotensi menurunkan muka air dan mengeringkan lahan gambut. Kondisi inilah yang membuat lahan gambut mudah terbakar. Akumulasi kebakaran yang terjadi setiap tahun, Habibi menambahkan, akhirnya menghambat perbaikan ekosistem gambut.
Peneliti Center for International Forestry Research, Daniel Murdiyarso, mengatakan restorasi lahan gambut di Indonesia harus ditingkatkan. Kondisi asli gambut adalah kawasan yang terendam air. Pembukaan dan pengeringan lahan gambut berpotensi melepaskan stok karbon yang sudah tersimpan lama. “Lahan juga dibakar sehingga karbon cepat sekali lepas,” ujarnya.
Stok karbon, menurut Daniel, berpotensi diperjualbelikan. Namun selama ini tak ada pengaturan harga yang pasti. Suplai pun lebih tinggi daripada permintaan. Harga paling tinggi yang dilirik pembeli hanya sekitar US$ 5 dolar. “Tata batasnya tak jelas dan adanya kemungkinan karbon hilang di lapangan membuat pembeli tak mau bayar mahal,” ucapnya.
Daniel mengatakan pemerintah juga perlu membuat regulasi tentang restorasi dan perdagangan karbon. Sebab, hal itu berkaitan dengan target penurunan emisi karbon nasional sebesar 29 persen pada 2030. “Kita berkepentingan merestorasi diri kita sendiri, penuhi dulu yang 29 persen itu, baru dagang,” katanya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih menyusun regulasi untuk mengatur mekanisme perdagangan karbon. Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup Ruandha Agung Sugardiman, aturan perdagangan karbon masih alot dibahas sejak Kesepakatan Paris dikeluarkan pada 2015. “Semua negara ingin seluruh instrumen itu selesai di sini sehingga Januari 2020 bisa dijalankan,” tutur Ruandha kepada Budi Setyarso dari Tempo di sela Konferensi Perubahan Iklim di Madrid, Spanyol, Kamis, 12 Desember lalu.
Meski belum ada aturan yang jelas, Kementerian Lingkungan Hidup telah mengakomodasi bisnis penjualan karbon yang sudah dilakukan sejumlah perusahaan pemilik izin restorasi ekosistem dan perhutanan sosial. “Biarkan berjalan dulu, tapi tetap dijaga jangan sampai terlalu melebar. Soalnya kita juga punya kewajiban menurunkan emisi karbon,” ujar Ruandha.
Target pemerintah menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen jika mendapat bantuan internasional pada 2030. Target penurunan emisi pada 2030 berkisar 834 juta ton-1,08 gigaton setara dengan karbon dioksida. Kebakaran besar yang terjadi tahun ini diperkirakan menurunkan target menjadi sekitar 20 persen. “Masih banyak pekerjaan sampai 2030. Presiden juga sudah perintahkan tahun depan tidak boleh lagi ada kebakaran hutan,” ucap Ruandha.
Ruandha yakin Indonesia tidak akan kekurangan stok karbon karena masih memiliki banyak hutan. Meski demikian, jika Indonesia membutuhkan tambahan cadangan karbon dalam program penurunan emisi, stok perusahaan di perdagangan karbon bisa ditarik atau disetop agar tidak dijual. Syarat itu, menurut Ruandha, tertera dalam klausul perusahaan dan mereka sudah menyepakati mengikuti regulasi pemerintah jika stok karbonnya diperlukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini ditulis bersama Gabriel Wahyu Titiyoga dan bekerja sama dengan lembaga investigasi Belanda Investico, serta Narasi. Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Gerak Limbung Lumbung Karbon".