BEBERAPA waktu lalu, Menteri Negara KH (Kependudukan dan Lingkungan Hidup) Emil Salim berkunjung ke Desa Cigarung, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Menteri bertanya kepada salah seorang tetua desa tentang apa yang sangat dibutuhkan desa itu. Sebelum yang ditanya menjawab, Pak Bupati cepat menukas, "Jalan. Jalan ke desa ini buruk sekali." Meski sudah dijawab Bupati, si Bapak Tua rupanya mempunyai persepsi prioritas kebutuhan yang berbeda. "Kambing, Pak Menteri," katanya. Mengapa kambing lebih penting ketimbang jalan? Pak Tua itu berkata lagi, "Kami perlu pupuk untuk tanaman kami." Tanaman yang diberi pupuk kandang, menurut tetua desa itu, akan berproduksi dan baru hasilnya itu nanti yang memerlukan Jalan untuk memasarkannya. Perbedaan persepsi, "Sering terjadi antara instansi pemenntah dan nonpemerintah," kata Nashihin Hasan, anggota-Presidium Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), pada sarasehan dua hari mengenai "Swadaya Masyarakat untuk Lingkungan Hidup". Lewat pengalaman Walhi, Hasan mengemukakan contoh: Tahun 1981 sedianya Walhi menjalin kerja sama dengan kelompok AMD (ABRI Masuk Desa) tentang penghijauan. Bertolak dari latar belakang yang berbeda, akhirnya, "Kami sepakat untuk tidak sepakat dalam melaksanakan penghijauan," kata Hasan. Ia juga mengakui, pihaknya, yang nonpemerintah, bagi pihak lain sering tampak serampangan. AMD, yang melakukan kegiatan penghijauan tia bulan sekali. kini memasuki tahap yang ke-15. Karenanya, "Dialog penting untuk bisa mengerti masalah kebijaksanaan setempat," kata Brigadir Jenderal Sarwono dari Aspolkamnas Menko Polkam, yang berbicara tentang perlunya penataan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Mengapa? "Pihak nonpemerintah, yang kini lazim disebut LSM, biasanya tidak mau diperintah," kata Dr. W. Napitupulu, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah & Olah Raga Departemen P & K. Berangkat dari pentingnya LSM sebagai medan pendidikan manusia, sarasehan juga mengundang tokoh-tokoh perorangan yan berminat dan unsur LSM yang nonLingkungan Hidup, seperti MAWI, MUI,dan PKBI. Ini sejalan dengan Hari KLH 5 Juni yang kali ini bertemakan "Membangkitkan Swadaya Masyarakat". LSM, yang dua bulan Iebih muda dari Kantor Menteri Negara KLH (dulu PPLH), kini jumlahnya meningkat pesat. Dari sekitar 75 Iembaga pada tahun 1980, kini ada sekitar 400. "Sarasehan ini sendiri kami rasa perlu," demikian Menteri KLH Emil Salim, "untuk mendapatkan masukan-masukan tentang pengertian konsep swadaya." Meski silang pendapat ini cukup terbuka, ada juga peserta sarasehan yang menggerutu karena lagi-lagi yang dibicarakan adalah apa dan bagaimana SM "Dari dulu kok NATO terus," ujarnya. Artinya: No Actons, Talks Only. Emil Salim rupanya mafhum sindiran itu. Seminggu sebelum sarasehan, Emil Salim berkata kepada TEMPO, "Lingkungan Hidup ibarat lari maraton, jangka panjang. Karena itu, sesuatu yang berjangka panjang harus tumbuh dari dalam." la mengingatkan, jangan sampai kecintaan pada lingkungan seperti orang mengikuti mode, semua ikut-ikutan. Tapi,begitu ganti mode, semua sirna. "Ini yang kita hindarkan," ujar Emil Salim. Mobilisasi pengelolaan KLH sudah harus dimulai, mengingat keanekaragaman ekosistem dan budaya memerlukan pendekatan pemecahan yang berbeda. Sebab, masalah lingkungan di Jawa memerlukan pola pendekatan yang berlainan dengan Irian Jaya. Misalnya Yohannis Bolloy, 25, yang mendapat Hadiah Kalpataru 1984 untuk Pengabdi Lingkungan, mempelopori pembangunan jamban keluarga di desanya, Asatipo, Kabupaten Jayawijaya, yang dibuatnya menyerupai honei - rumah asli Irian. Usaha Bolloy ini berhasil, sehingga penduduk kampungnya kini paham akan jambanisasi. Sebabnya? Kata Bolloy, lulusan SGB dan pernah kuliah di Universitas Cenderawasih "Penduduk tidak merasa asing karena seperti honei. Bagi kami, yang terpenting adalah fungsinya." Komentar Emil Salim? "Penerapan inilah yang sangat penting." Emil Salim merencanakan akan membentuk kelompok kerja dengan para LSM untuk mendapatkan masukan seperti yang diterapkan Bolloy di desanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini