RATU Belanda, Juliana, adalah orang yang melahirkan pelukis Basoeki Abdullah. Ini diceritakan sendiri oleh pelukis yang kini 69 tahun di Hotel Hilton, Jakarta, tempat ia berpameran tunggal 4 sampai 9 Juni ang lalu. Ccritanva, pada tahun 1949 Juliana membuka sayembara melukis potret dirinya. "Ada 81 pelukis dari berbagai penjuru mengikuti sayembara itu," tutur Basoeki. "Tapi yang bisa menyelesaikan potret Ratu tepat pada waktunya cuma 21 orang." Dan juaranya, siapa lagi, Basoeki dari Indonesia itulah. "Sejak itu saya laris sebagai pelukis potret," tambahnya. Lukisan potret Ratu Juliana yang memenangkan sayembara itu kini satu di antara sekitar 150 lukisan yang dipamerkan Basoeki. Sebuah pameran yang kira-kira ingin menampilkan karya-karya lama dan baru. Termasuk jarang diketahui umum, misalnya lukisan potret Mahatma Gandhi, yang dilukis Basoeki pada 1925, pada usia sekitar 18 tahun, mencontoh foto. "Saya biasanya tergerak oleh orang-orang pergerakan," kata pelukis ini. Yang jelas, seperti bisa dilihat di Hilton ini, potret-potret yang dibanggakan Basoeki adalah potret para pejabat. Bukan cuma potret kepala negara - dari Soekarno, Soeharto, Lee Kuan Yew, Ratu Sirikit, sampai Sultan Brunei - tapi ada juga Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, Menteri Tenaga Kerja Sudomo, Ketua Mahkamah Agung Ali Said (waktu dilukis masih menteri kehakiman), dan beberapa pejabat Indonesia lain. "Melukis potret yang penting tak hanya kepersisan wajah, tapi juga ekspresi," kata pelukis kelahiran Solo ini. Tapi ia mengelak ditanya apa yang ingin diekspresikan dalam lukisan-lukisan potret para kepala negara ASEAN itu. "Lha, menurut Saudara sendiri bagaimana?" jawabnya. Pengunjung, yang ditarik bayaran Rp 1.000 untuk bisa melihat pameran ini, kebanyakan memang mengagumi karya Basoeki. Biasanya yang dipuji yakni kepersisan warna kulit, mata yang bercahaya seolah potret itu hidup. Tapi bila ini dimaksudkan sebagai pameran restrospektif - di samping untuk ikut memperingati 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional, begitu tertera dalam katalog yang begitu sederhana - sebenarnya tak banyak perbedaan antara Basoeki dulu dan sekarang. Dengan kata lain, tak ada perkembangan. Terasa bahwa yang dikejar pelukis ini hanya kepersisan wajah dan bentuk figur. Bila ada yang lebih dari itu, yakni pelebih-lebihan agar figur tampak lebih cemerlang, lebih indah dari aslinya. Gusti Ayu Mangkunegoro (almarhum) digambar Basoeki dalam pose yang sederhana. Lukisan ini mengetengahkan figur berbaju merah sedikit jingga dengan kembang-kembang hitam, lalu kain batik bermotif parang. Tapi kesederhanaan itu tiba tiba jadi mahal, karena latar belakang Gusti Putri mengesankan suatu pemandangan desa. Yang kemudian tampil yakni, apa boleh buat, suatu pameran kecantikan yang tak pada tempatnya - semacam fashion show di sebuah desa begitulah. Tentu ini tak mengapa, seandainya memang ada sesuatu yang lain yang tampil. Eksprsi di situ tak lain dan tak bukan agaknya cuma ekspresi pamer diri. Ini memang kesan subyektif. Tapi bila ternyata hampir semua lukisan Basoeki Abdullah mengesankan begitu, boleh dibilang memang itu cap Basoeki. "Habis bagaimana, saya bisanya cuma begitu?" komentar pelukis ini dengan santai, tanpa nada membela diri. Ia sudah begitu yakni dengan kesenian seperti itu. Dan dengan itu pula ia hidup. Maka, sungguh berbeda, misalnya, dengan lukisan potret Pelukis Dede Eri Supria. Pelukis jebolan Sekolah Seni Rupa Indonesia, Yogyakata, itu pernah membuat satu potert Bung Karno dalam ukuran besar. Tentu, Dede, yang kini baru 28 tahun, tak melukis soekarno langsung di hadapan orangnya. Ia menggambar lewat potret. Dari segi bentuk dan warna, orang bisa menemukan kelebihan dan kekurangan lukisan Dede dibandingkan dengan lukisan Basoeki. Kelebihah Dede, ia tak sekadar menyajikan bentuk atau potret datar tanpa makna. Misalnya, digambarkannya Bung Karno di tengah anak-anak dan lukisan itu lantas ditoreh-toreh dengan garis mirip mainan jigsaw puzzle. Atau, potret Soekarno pada prangko dibiarkan dengan ukuran sekitar 2,5 X 2,5 meter. Lepas dari ide itu diterima atau tidak, tapi hasilnya sebuah lukisan yang bukan cuma mcnyajikan potret seseorang. Ada lebihnya, yang membuat lukisan itu lebih berharga. Boleh dinamakan itu semacam cerita, atau pikiran-pikiran, yang berkaitan dengan Soekarno. Pada Basoeki hal-hal seperti itu tak ada. Bahwa pelukis Istana Kepresidenan Indonesia sampai kira-kira tahun 1963 ini menyukai melukis tokoh-tokoh pergerakan tak tecermin pada karya-karyanya. Entah itu Soekarno, Marcos, Lee Kuan Yew, yang ditampilkan sekadar identitas bentuk. Bukan watak. Juga bukan ide. Ini jelas dalam lukisan-lukisan perempuan telanjangnya - yang tak sebiji pun ada dalam pamerannya kali ini. Dalam lukisan telanjang itu seolah tak ada yang lain, selain soal daging yang merangsang. Keindahan proporsi tubuh, keindahan bentuk makhluk, yang konon diciptakan mirip Sang Pencipta, tak ada. Memang, keterampilan menggambar Basoeki bolehlah. Juga ketajaman intuisinya untuk menyuguhkan bentuk-bentuk yang bakal disenangi banyak orang harus diakui. Figur yang cantik-cantik, pemandangan yang molek-molek. Dibandingkan dengan sejumlah pelukis dari Pasar Seni Ancol, pelukis kawakan ini memang masih punya kelebihan. Beberapa pelukis Ancol yang juga menggambar potret, yang ternyata juga bisa persis seperti modelnya, masih kalah pengalaman dengan Basoeki dalam keluwesan. Garis, bentuk, dan warna Basoeki seolah-olah dibuat dengan satu tarikan garis dan satu sapuan kuas, selesai. Ketaksusahpayahan menyelesaikan lukisan, itulah satu-satunya nilai lebih yang ada pada lukisan-lukisan Basoeki Abdullah, anak kedua Pelukis Raden Abdullah Surio Subroto - seorang pelukis pemandangan elok pada zaman Belanda. Lukisan-lukisan potret para pelukis Ancol masih mengesankan satu kesulitan menyelesaikan bentuk. Tapi ini mungkin cuma soal latihan. Dan Basoeki, yang mengaku sudah melukis 300 lukisan potret dan sekian ratus lagi lukisan hewan, plus sekian ratus lagi lukisan pemandangan, wajar bila menguasai benar sapuan dan goresan kuasnya. Soalnya sekarang, kesenian tentu bukan hanya begitu. Jika lukisan perkelahian banteng dengan tiga harimau Raden Saleh dicatat sejarah, sebab itu tak sekadar banteng dan harimau. Ada yang lain, yang selalu digemakan lukisan itu, yang menyentuh. Seandainya itu sebuah buku, banteng dan harimau hanyalah daftar isi. Selanjutnya masih ada kata pengantar, dan bab-bab berikut. Dan lukisan Basoeki, pelukis Istana Chitralada, Bangkok, ]960-an sampai 1974 mungkin cuma berhenti pada daftar isi. Tak berarti bahwa Basoeki tak mendapat tempat dalam sejarah seni rupa Indonesia. Setidaknya ia mewakili jenis seni rupa yang mengejar hanya bentuk yang elok, tanpa dimensi yang lain. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini