SOSOK terbesar dalam layar wayang kulit adalah yang dinamakan kekayon atau gunungan. Ini ditancapkan di tengah layar ketika pertunjukan mulai. Mantap, tak goyah, gunungan memang melambangkan makrokosmos yang penuh keseimbangan. Seluruh permukaannya bertatahkan gambar flora dan fauna Iengkap. Ada hutan, ada satwa, ada rumah yang menggambarkan kesejahte raan. Ketika gunungan diangkat, mulailah bermunculan tokoh - tokoh yang berperangai aneka macam. Singkat kata, konflik pun terjadi, dan peperangan tak terelakkan. Setelah pertempuran mereda dan kestabilan tercapai, gunungan ditancapkan kembali di tengah layar. Clep! Pertunjukan pun usai. Dunia lambang sebenarnya bukan alam yang sulit ditembus. Dengan mudah kita dapat menemukan analogi kekayon itu dengan kehidupan kita sehari-hari, dalam hubungannya dengan kekacauan. Ketika hutan - yang merupakan lambang lingkungan yang mendukung kehidupan manusia - terganggu, kesulitan pun terjadi. Orangorang Asmat di pedalaman Irian Jaya yang biasanya hanya cukup berjalan sebentar untuk mengambil kayu bakar, kini tidak bisa lagi melakukan itu: hutan mereka sudah dipagari pengelola HPH. Saudara-saudara kita di Kalimantan tidak bisa lagi tenang mandi di sungai, karena setiap saat kayu-kayu gelondongan digelontorkan dari hulu - cara termurah mengangkut kayu dari pedalaman ke tepi pantai. Awal tahun lalu, hampir tiap malam kita melihat di televisi peristiwa kebakaran hutan di Australia. Liputan juru kamcra yang dramatis itu membuat kita cemas dan teriris, melihat hutan seluas itu punah dalam jilatan api yang mengerikan. Surat-surat kabar dan media massa kita pun menampilkan laporan eksklusif. Mereka yang sudah paham psikologi pemberitaan di Indonesia tcntulah menyadari: peristiwa yang mendapat liputan luas biasanya untuk menyelimuti peristiwa lain yang sebenarnya lebih gawat. Memang betul. Pada saat yang sama, di tanah air kita justru sedang terjadi kebakaran hutan besar-besaran. Dan liputan terhadap peristiwa Kalimantan Timur itu rasanya kurang seimbang dibanding laporan tentang Australia. Padahal, Kalimantan Timur bukan saja begitu lebih dekatnya, bukan saja merupakan bagian negara kita, tapi bahkan diakui sebagai cadangan hutan hujan tropika yang terbaik di seluruh bumi. Para ilmuwan memang kemudian menemukan justification: timbulnya gelombang panas yang disebut El Nino. Gelombang yang diduga mempunyai daur 80 tahun sekali itu telah mengakibatkan musim kering yang paling dahsyat di wilayah Pasifik dalam tahun 1982-1983. Hutan hujan tropika, yang biasanya lembab, jadi kerontang. Percikan api yang kecil saja, bahkan karena panas yang dihasilkan gesekan kayu, dapat menyulut hutan dalam waktu yang singkat. "Itu menyadarkan kita betapa ringkih sebenarnya sistem alam ini," kata Dr. Mark Leighton, ahli ekologi dari Harvard yang meneliti daerah sekitar kebakaran Kalimantan Timur. Menurut Leighton, kebakaran Kalimantan Timur itu, yang berkobar sejak Februari hingga Mei 1983 telah menghancurkan 3,3 juta hektar rimba belantara. Kalau angka ini benar, jelas kebakaran Kalimantan Timur skalanya 15-20 kali lebih besar dari kebakaran Australia. Kerugian kayu gelondongan, yang mestinya dapat menjadi devisa, diperkirakan mencapai 5,6 milyar dolar AS. Tidak banyak di antara kita yang sadar magnitude kebakaran itu. Mungkin juga karena kita bangsa yang lemah dalam mengkuantifikasikan suatu masalah. Surat kabar Straits Times, Singapura, 3 Mei yang lalu menulis bahwa musibah besar yang menimpa hutan kita adalah combination of bad luck and bad management. Kita kesal membaca kesimpulan yang mirip ejekan itu. Tetapi, begitulah kenyataannya. Menurut Menteri Kehutanan Soedjarwo, sekitar 400 ribu hektar hutan kita rusak setiap tahun. Dengan angka itu saja sudah berarti 20% kerusakan hutan tropis dunia terjadi di Indonesia. Tetapi laporan lain, dari scbuah badan dunia, mengatakan bahwa kerusakan hutan kita per tahun bukan 400 ribu hektar, melainkan 600 ribu hektar. Mungkin karena pcngusaha HPH tidak membuat laporan yang benar tentang hutan yang mereka babat. Selisih kedua angka itu tentu termasuk dalam pengertian bad management. Dan itu berarti pula bad luck.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini