Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jason Simanjorang, 66 tahun, beserta kedua anak laki-lakinya masih berteduh ketika tiba-tiba terdengar bunyi bergemuruh dari arah belakang pondok mereka. Sore itu, di bulan Februari lalu, langit gelap. Hujan memang kemudian turun lebat hampir satu jam di Gorat Ni Padang, sebuah bukit di punggung Gunung Sipiso-piso, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Dari puncak bukit?selisih sekitar 700 meter di atas mereka?dari dua titik di lokasi penggarapan padang golf seluas 30 hektare, longsoran pasir, tanah, dan batu menerjang bebas laksana air terjun. "Opung, bagaimana ini...?" teriak seorang dari dua cucu Jason yang saat itu bersamanya di pondok, tampak ketakutan.
Beruntung tidak ada rumah dan jiwa yang tertimbun. Longsoran jatuh di areal pekuburan warga, merangsek mengikuti lekuk-lekuk bukit, melumuri dua hektare ladang warga, menerjang badan jalan, dan berhenti di bibir Danau Toba. Pekan lalu, bekas-bekas longsorannya masih terlihat melumuri tebing. Jejak pasirnya memutihkan ladang milik sebagian warga.
Peristiwa longsor itu segera menjadi isu hangat dikaitkan dengan pembangunan padang golf sebagai bagian dari Taman Wisata Simalem Resort milik PT Merek Indah Lestari di Gorat Ni Padang. Tak kurang Menteri Kehutanan M.S. Kaban dan Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar merasa cemas. Dan proyek yang telah dimulai pembangunannya pada tahun 2002 itu diminta supaya ditinjau kembali kelangsungannya. Kelestarian hutan lindung di atas bukit dan alpanya amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) menjadi alasan kuat.
Harapan Pak Menteri agaknya juga harapan Jason serta 68 kepala keluarga lainnya di Desa Sikodon-kodon. "Kalau proyek itu diteruskan, suatu saat desa ini dikhawatirkan bisa tertimbun dan juga kering karena mata airnya dialihkan," kata Jason, bekas guru yang dituakan di desanya. Bagi warga Desa Sikodon-kodon, insiden longsor ditambah debit air yang mengecil di ladang-ladang mereka makin menambah kekecewaan saja, setelah merasa bukit yang sama diserobot oleh sekelompok warga lain demi rupiah (lihat, Lika-liku Bukit Perlajangan).
Sejak longsoran juga menimbun sebagian sawah dan ladang bawang di desa tetangga, Tongging, 235 keluarga di desa itu menuntut hal yang sama. "Kami hanya kebagian longsornya tanpa pernah diberi tahu apa yang sedang mereka coba bangun di atas sana," ujar Orinus Silalahi, sang kepala desa, mengeluh. Selain Desa Sikodon-kodon dan Tongging, masih ada satu desa lagi yang berada di bawah lokasi proyek, yakni Pangembatan.
Ketika Tempo menyambangi proyek taman wisata itu, proses pembangunannya masih terus berjalan. Lebih dari 150 pekerja konstruksi diperbantukan menyelesaikan bangunan yang telah direncanakan, seperti padang golf sembilan lubang, cottage bertingkat, dan playground milik PT Merek Indah Lestari. Rencananya, proyek besar itu juga akan mengembangkan budi daya tanaman keras seperti jeruk, mangga, biwa, markisa, teh, dan kopi sebagai agrowisata.
Lebih dari 8.500 bibit tanaman tersebut akan mengisi lahan perkebunan yang luasnya sekitar 200 hektare di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut itu. Dari padang itulah keanggunan panorama Danau Toba terlihat seperti surga. "Semua akan dibuat seperti alami, dengan menghijaukan kembali bukit ini," kata Sariadi Saragih, pengawas lapangan PT Merek Indah Lestari.
Sementara itu, titik-titik pembangunan jalan yang dikhawatirkan akan mengulangi peristiwa longsor akan diantisipasi dengan menanggalkan peralatan berat. Nantinya dikerjakan manual. "Jadi, kami jamin tidak akan terjadi lagi (longsor)," kata dia meyakinkan.
Direktur PT Merek Indah Lestari, Mustika Akbar, mengatakan tidak ada pelanggaran kelestarian hutan lindung atas proyek senilai Rp 50 miliar di Gorat Ni Padang itu. "Kita tahu mana yang hutan lindung, karena itu kami hanya membebaskan (lahan hutan rakyat) yang bersertifikat," tuturnya menambahkan. Dari 206 hektare, hanya 64 hektare yang bersertifikat (32 lembar). Sisanya merupakan izin lokasi. Pemberian izin itu dibenarkan oleh Bupati Karo, Sinar Perangin-angin. Menurut dia, izin diberikan untuk membangun prasarana fisik, semisal jalan, sebelum berlanjut ke pembangunan fasilitas permanen. "Jadi, wajar kalau belum ada amdalnya," kata dia.
Namun, Sudarsono, Asisten Deputi Urusan Penegakan Hukum Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), punya pendapat lain. "Kita sudah kirim tim ke sana, hingga dua kali," kata dia. "Hasilnya jelas. Sudah ada kerusakan hutan lindung." Bersama tim dari KLH ada tim lain dari dinas kehutanan, dan pemerintah provinsi ikut meninjau lokasi proyek. Tim terakhir bekerja lebih spesifik dengan melakukan pengukuran batas-batas antara hutan rakyat dan hutan lindung register 3/K di Gorat Ni Padang. Hasilnya hingga awal pekan lalu belum dapat diketahui.
Jason berharap, kajian kerusakan lingkungan tim terpadu pemerintah, serta upaya hukum masyarakat Desa Sikodon-kodon di perantauan, cukup berkhasiat untuk meninjau kembali jalannya proyek Taman Wisata Simalem Resort di Gorat Ni Padang. "Gorat Ni Padang adalah tanah ulayat kami," ujarnya tegas. "Kami hanya ingin itu kembali. Kami tidak akan mengganggu tanah yang bukan milik kami."
Wuragil (Merek), Bambang Soed dan Hambali Batubara (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo