Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang rekan ahli perminyakan Indonesia mengirim pesan pendek kepada saya, yang intinya menyatakan keheranannya bahwa pemerintah memilih asumsi harga minyak dalam APBN-P 2005 yakni US$ 35 per barel. Angka ini, menurut dia, jauh di bawah harga minyak dunia saat ini sekitar US$ 55 per barel, maupun harga di pasar dunia atas minyak mentah (crude) pengiriman Desember 2005 sekalipun.
Rekan lain juga mensinyalir pemerintah sengaja mengasumsikan harga minyak rendah sehingga alokasi subsidi BBM underestimate dan ada alasan nantinya jika akan menaikkan (lagi) harga BBM. Ada pula pengamat lain yang mengatakan bahwa pemerintah sengaja menaruh asumsi harga minyak rendah agar daerah tidak langsung mengklaim tambahan bagiannya. Dengan harga minyak tinggi tentu bagian daerah dari sumber daya alam, terutama minyak, akan tinggi pula.
Asumsi kurs rupiah Rp 8.900 per dolar AS selama tahun 2005 juga dianggap terlalu optimistis dan ambisius. Dengan kurs hingga Maret 2005 rata-rata berkisar Rp 9.200-an, sisa waktu selama tiga kuartal 2005, kurs rupiah harus berada di kisaran Rp 9.000, bahkan lebih rendah. Sasaran kurs tersebut rasanya berat untuk dicapai karena harus ada peningkatan signifikan dari masuknya dana dalam bentuk valas jangka panjang. Memang sekarang dolar melemah dibandingkan dengan mata uang asing dunia, tetapi dibandingkan dengan rupiah, banyak yang heran kenapa justru rupiah yang terus melemah.
Bagaimana pemerintah menjelaskan pertanyaan dan keberatan dari para analis dan pengamat ini?
Pertama, seperti lazimnya, asumsi dasar itu adalah patokan yang dipakai sebagai dasar perhitungan APBN dan bukan merupakan suatu angka yang mati. Hampir pasti angka realisasi besaran makro akan berbeda dari asumsi dasar pada waktu ditetapkan karena banyak variabel yang mempengaruhi dalam perjalanannya. Dan perlu diingat bahwa variabel tersebut banyak yang berasal dari luar Indonesia sehingga sulit dikendalikan. Seperti yang terlihat beberapa saat ini terjadi perubahan arah kebijakan ekonomi di AS dan beberapa kejadian di pasar dunia, misalnya harga minyak dunia, tentu akan berpengaruh pada prognosa besaran ekonomi makro Indonesia. Masalah persepsi dan pandangan terhadap kinerja kabinet, hubungan DPR-pemerintah, bencana alam, dan lain-lain, juga berpengaruh.
Kedua, soal asumsi harga minyak diakui sebagai asumsi yang sulit ditebak. Harga minyak dunia bisa bergerak ke atas, tetapi tiba-tiba bisa anjlok. Secara teknis perlu dijelaskan bahwa yang disinyalir dengan harga minyak mentah dunia US$ 50-55 bukanlah harga minyak Indonesia (ICP). Menurut keterangan para ahli, harga ICP berada US$ 5-7 di bawahnya.
Dan harga yang sekarang terjadi juga tidak mencerminkan kekuatan permintaan dan penawaran minyak dunia yang sesungguhnya. Banyak faktor lain psikologis, geopolitik, dan persepsi yang berpengaruh pada terjadinya harga minyak. Yang juga menjadi pertimbangan adalah asumsi harga minyak ditetapkan dengan mempertimbangkan harga yang aman dari sisi penyusunan APBN-P 2005. Dapat saja harga minyak ditetapkan dengan mengorbankan akurasi, tetapi pelaksanaan anggarannya aman, yakni penerimaan konservatif dan belanja optimal. Seperti diketahui, asumsi harga minyak mentah berpengaruh pada APBN dari sisi penerimaan maupun belanja negara.
Anggapan bahwa dengan asumsi harga minyak rendah, pemerintah menyembunyikan angka subsidi dan bagi hasil daerah rasanya kurang beralasan. Sebab, pada kenyataannya pemerintah membayar subsidi atau bagi hasil sesuai dengan harga realisasi. Jadi, subsidi dibayarkan ke Pertamina sebagai agen pemerintah sesuai dengan harga dan tingkat konsumsi yang terjadi. Dan pemerintah juga membayar bagi hasil kepada daerah sesuai dengan realisasi harga dan produksi minyak.
Ketiga, soal kurs dan besaran makro lainnya. Asumsi kurs Rp 8.900 rata-rata tahun 2005 ditetapkan dengan pertimbangan bahwa di samping kurs dolar AS yang terus melemah juga diharapkan adanya aliran dana masuk (capital inflow) yang signifikan pada paruh kedua tahun 2005 dan perbaikan dalam akumulasi cadangan devisa. Akan segera masuknya pemasukan modal swasta misalnya dari Philip Morris ke HM Sampoerna sebesar US$ 2 miliar plus tender offered berikutnya menambah cadangan dan meningkatkan kepercayaan investor.
Tahun 2004 Indonesia mengalami pemasukan dana neto (net capital inflow) US$ 1 miliar di luar pemasukan dana melalui pasar modal, pertama kali sejak krisis 1998. Diharapkan kecenderungan ini akan terus berlanjut. Penawaran moratorium pokok dan bunga utang luar negeri tanpa syarat dari anggota Paris Club juga mengurangi aliran dana pemerintah keluar. Komitmen negara-negara anggota CGI untuk memberikan tambahan hibah dan pinjaman lunak untuk Aceh dan yang lain membantu pemasukan valas dana APBN.
Belum lagi jika hasil tender proyek infrastuktur pada pertengahan tahun ini dapat direalisasikan pada tahun ini juga. Dari sisi pemasukan dana masuk akan sangat positif bagi akumulasi cadangan devisa dan perkuatan posisi rupiah. Yang masih belum diketahui adalah kecenderungan naiknya nilai impor, khususnya minyak dan BBM karena harga tinggi, jauh melebihi nilai ekspor. Jadi logis kiranya kurs berada pada kisaran Rp 8.900-9.000 per dolar untuk seluruh tahun 2005.
Keempat, apakah asumsi-asumsi tersebut masih dapat diubah? Tentu saja, sesuai dengan keadaan dan prognosa pada saat pembahasan nantinya. Dari sisi waktu, asumsi dasar akan semakin akurat jika ditetapkan semakin mendekati akhir tahun. Asumsi yang ditetapkan Mei pada saat pembahasan nanti tentu akan lebih akurat daripada bulan Maret saat APBN-P disampaikan ke DPR. Itulah juga alasan mengapa dalam keadaan normal APBN-P dibahas setelah satu semester pelaksanaan APBN yakni soal akurasi.
Dalam APBN-P 2005 yang telah disampaikan ke DPR pada bulan Maret disadari soal akurasi asumsi dasar serta besaran-besaran pokok menjadi kendala. Tujuan utama dari APBN-P kali ini adalah agar hal mendesak seperti masalah pendanaan Aceh, kompensasi sosial harga BBM, dan pemilihan kepala daerah langsung dapat disediakan dananya. Jika harus menunggu sampai satu semester 2005 dengan pembahasan komprehensif dikhawatirkan akan memakan waktu dan penanganan masalah-masalah tersebut terbengkalai.
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 27 ayat 1 hingga 5 memberikan koridor mengenai Perubahan APBN. Dalam keadaan normal, APBN-P dibahas setelah semester sesuai dengan siklus anggaran, sedangkan apabila terjadi perubahan signifikan antara lain dalam asumsi dasar, kebijakan fiskal, dan alokasi anggaran, APBN-P dapat diajukan untuk dibahas setiap waktu pada tahun berjalan. Pemerintah saat ini menilai bahwa ketiga alasan tersebut menjadi justifikasi percepatan perubahan APBN 2005.
Percepatan Perubahan APBN 2005 juga sudah diisyaratkan oleh pemerintah dan DPR sebelumnya. Ketika pembahasan APBN-2005 tahun lalu, pemerintah dan DPR pada waktu itu sadar sepenuhnya bahwa pelaksanaan APBN-2005 berada di tangan pemerintah dan DPR baru hasil Pemilu 2004. Untuk itulah meskipun tidak formal, APBN 2005 bersifat anggaran dasar (baseline) yang sub-optimal.
Kalau pesan itu ditangkap dengan baik, rasanya juga cukup alasan bagi kedua lembaga tinggi tersebut untuk memprioritaskan percepatan pembahasan perubahan APBN 2005. Apalagi telah terdapat alasan untuk mempercepat. Rekonstruksi Aceh, dana kompensasi, dan pemilihan daerah membutuhkan dana segera. Dan kita tahu semua persetujuan atas alokasi dana APBN tersebut ada di tangan DPR. Ketiga alasan sungguh sangat nyata dan saya yakin tidak ada satu pun di antara kita yang menganggap sepele persoalan tersebut.
Apa pun dinamika politik yang tengah berlangsung, pembahasan APBN-P 2005, dengan segala kekurangannya harus mendapat prioritas. Politisasi APBN-P 2005 hanya akan menambah kesengsaraan rakyat dan mengurangi kredibilitas pemerintah dan DPR. Wilayah konsideran ekonomi-politik APBN-P 2005 telah diberi ruang cukup untuk mengakomodasi perubahan yang diperlukan.
Sekalipun belum memuaskan banyak pihak, usulan APBN-P 2004 telah ditetapkan serasional mungkin dan tidak ada alasan untuk beranggapan negatif. Pemerintah telah berupaya merespons kebutuhan riil masyarakat sesegera mungkin. Kita semua berharap agar pembahasan APBN-P 2005 antara legislatif dan eksekutif dapat berjalan lancar sehingga keinginan untuk membangun kembali Aceh dan Nias memberikan kompensasi bagi rakyat miskin, dan membangun demokrasi dapat segera terealisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo