Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Akhir Kisah Pengagum Jack The Ripper

Pedofil pembunuh Febi Harahap akhirnya tertangkap. Dia cerdas dan karenanya amat berbahaya.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teriakan "maling, maling, maling..." pecah di Kampung Kramat Pulo, Jakarta Pusat, Senin sore pekan lalu. Tak berselang lama, beberapa warga dan polisi tampak menggelandang seorang pemuda. Ia mengenakan kaus abu-abu dan celana pendek hitam. Rambut di kepalanya dipotong sangat pendek, hampir pelontos.

Pemuda itu bukan pencuri. Tapi kejahatannya jauh lebih mengerikan. Namanya Ahmad Yusuf, biasa dipanggil Oji. Sore itu ia baru saja datang ke rumah ibunya di kawasan permukiman padat penduduk itu. Sa'diah, sang ibu, mafhum putra sulung kesayangan itu biasanya pulang karena membutuhkan uang.

Hari itu Sa'diah belum memberikan apa yang dibutuhkan anaknya. Dia baru sempat bertanya lantaran heran: mengapa Oji memotong rambutnya sependek itu? Namun sang anak tak menjawab sepatah kata pun. "Dia malah ngeloyor begitu aja," katanya.

Tak dinyana, sore itu juga polisi datang menanyakan keberadaan Oji. Janda beranak sembilan itu mengakui anaknya ada di rumah. Namun, ketika dicari, Oji agaknya berupaya menyelinap dari pintu belakang. Sebuah usaha kabur yang sia-sia. Polisi bersama warga langsung membekuk pemuda lajang berusia 33 tahun itu.

Sa'diah tak pernah tahu anaknya sudah sebulan lebih menjadi buron polisi. Dia menjadi tersangka utama pembunuh Febrina Purnamasari Harahap alias Febi, 11 tahun. Empat puluh hari lalu pelajar kelas VI SD Pamardi Yuwana Bhakti, Pondok Gede, Bekasi, itu ditemukan tewas di sebuah kamar kontrakan dengan kondisi mengenaskan.

Jasadnya ditemukan hampir membusuk terbungkus sehelai kain seprai. Di sekujur tubuh dan bagian kepala terdapat luka bekas benturan. Ada pula bekas-bekas percikan sperma. Berdasar hasil visum, polisi menduga gadis kecil yang malang itu menjadi korban kejahatan seksual.

Polisi sudah mengintai kediaman Sa'diah selama lima hari. Kecurigaan bahwa Oji berada di rumah orang tuanya mencuat gara-gara ia pernah menelepon Suherman, pemilik kamar kontrakan di Pondok Gede. Polisi menemukan telepon itu ternyata berasal dari sebuah wartel di daerah Senen, Jakarta Pusat. "Wartel itu terletak di sekitar rumah orang tua tersangka," kata Kepala Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tjiptono.

Tertangkapnya Oji membuat kasus pembunuhan sadistis itu terkuak lebar. Dalam gelar perkara Rabu pekan lalu di kantor Polisi Resor Bekasi, pemuda itu mengaku sebagai pembunuh Febi. Pengakuannya tenang dan lancar. Ia seperti tak menderita gangguan jiwa. Hanya matanya merah pertanda kurang tidur.

Kejahatan keji itu sudah direncanakan ketika Oji melihat Febi bersama dua kawannya, Yosie dan Cindy, di Plaza Pondok Gede. "Saya nafsu banget melihat mereka. Mau saya gituin," katanya. Ia pun memantau ketiga gadis kecil itu dari jauh. "Tapi mereka tak tahu saya perhatiin," katanya.

Oji menguntit ketiga bocah itu berjalan keluar dari pertokoan. Saat itu ia belum menetapkan sasaran. Ketika mereka naik angkutan umum jurusan Pondok Gede-Terminal Bekasi, Oji ikut. Di sana barulah ia memutuskan akan membawa salah satu anak yang turun lebih dulu.

Ternyata Febi yang bernasib nahas. Putri tunggal keluarga Henry Harahap itu turun di pintu gerbang perumahan Departemen Dalam Negeri. Oji tak langsung ikut turun. Beberapa meter setelah mobil kembali bergerak, ia baru meminta berhenti dan mengejar korban.

Lantaran Oji melihat Febi sudah tak ada di depan pintu gerbang perumahan, ia menyewa seorang tukang becak untuk mengejar. Ternyata Febi masih berjalan seorang diri. Ia kemudian turun di depan gadis kecil itu dan langsung melempar umpan maut berupa puji-pujian. "Adik cakep, deh. Tinggal di mana dan dari mana tadi?" katanya.

Saat digoda, kata Oji, Febi hanya tersenyum-senyum. Ia mengaku baru merayakan ulang tahun. Oji mengikuti sampai di depan rumah Frans Harahap, kakek Febi. Rumah orang tuanya sendiri tinggal beberapa meter lagi. Di sana Febi putar haluan setelah Oji mengiming-imingi memberikan boneka bagus sebagai hadiah ulang tahun. "Saya bilang bonekanya masih di rumah di dekat situ, dia kemudian mau mengikuti saya," Oji menceritakan akal bulusnya.

Beberapa tetangga Febi sempat menegur ketika mereka berjalan ke arah gerbang perumahan. Da-ri sana mereka menumpang angkutan umum ke arah Pasar Pondok Gede. Setelah itu mereka berjalan kaki ke arah kamar kontrakan Oji di Jalan Masjid Rahmat, Jati Rahayu, Pondok Gede.

Febi sempat protes karena rumahnya ternyata jauh. Kemudian gadis kecil itu menagih boneka yang Oji janjikan. "Sebentar, ngaso-ngaso dulu," katanya. Selanjutnya Oji merayu Febi untuk melakukan hubungan seks. Ia menggerayangi tubuh Febi dan mencoba mencium bibir. Febi memberontak.

Oji kemudian menyuruh Febi ke kamar mandi untuk membasuh muka sebelum diberi boneka. Di kamar mandi, ia memeluk Febi dari belakang. "Saya sebetulnya kepengen langsung gituin dia," Oji bercerita sambil tertawa kecil.

Namun Febi tetap melawan. Ia meronta-ronta dan sempat menjerit. Khawatir diketahui orang, Oji membekap mulut Febi. Rontaan Febi justru semakin keras. "Saya panik. Saya pegang lalu saya benturin kepalanya ke tembok lebih dari dua kali," katanya. Akibat benturan, Febi tak sadarkan diri. Darah mengucur deras dari kepalanya.

Oji saat itu tak tahu apakah Febi sudah meninggal atau cuma pingsan. Ia menelanjangi Febi, lalu bersiap memperkosanya. Tapi darah gadis kecil itu menggenangi lantai kamar mandi. Ia tak bisa membersihkan karena air tak mengalir. "Saya jadi tak nafsu karena banyak darah," ujarnya.

Pukul 20.00, air di kamar mandi mengalir. Oji membersihkan lantai kamar mandi dari ceceran darah. Saat melihat tubuh telanjang Febi, hasrat seksnya kembali memuncak. Dia pun buru-buru melampiaskan nafsu setannya. Setelah memperkosanya, ia membungkus tubuh Febi dengan kain seprai.

Tadinya Oji ingin membuang tubuh Febi ke tempat lain, tapi ia khawatir terlihat orang. Akhirnya malam itu juga ia meninggalkan rumah kontrakan dengan membawa beberapa potong pakaian. Di jalan, ia sempat membuang pakaian dan sandal hitam milik Febi ke sebuah kebun kosong di Jalan Hankam Raya, Pondok Gede.

Malam itu Oji tidur di sebuah musala di sekitar Kelurahan Pondok Gede. "Saya tidur sampai subuh, tapi tak ikut salat," katanya. Paginya ia sempat me-nengok gang menuju kamar kontrakannya. Begitu perilakunya selama tiga hari. "Saya pengen lihat, apa sudah ada orang tahu ada mayat di dalam," kata pemuda yang selalu menjadi juara kelas semasa sekolah dasar itu.

Untuk menghindari polisi, Oji langsung berhenti bekerja sebagai sopir tembak angkutan umum. Setiap malam ia tidur di musala-musala di sekitar kawasan Pondok Gede. Untuk makan, kebetulan ia masih punya sedikit uang. Ketika duit menipis, sesekali ia datang ke rumah ibunya meminta bekal, tapi tak pernah bermalam.

Empat hari setelah kejadian, Oji mengetahui dari media massa bahwa jenazah Febi sudah ditemukan. Selanjutnya ia selalu mengikuti pemberitaan tentang kasus tersebut, baik melalui media cetak maupun dari televisi ketika makan di wa-rung. "Saya tahu sedang dicari-cari polisi. Dulu saya juga pernah melihat Pak Edward yang kini jadi Kapolres Bekasi," katanya. Ia terkenang masa-masa ketika menjadi anggota keamanan rakyat (kamra) semasa Presiden Habibie. Kebetulan saat itu Edwardsyah Pernong menjadi Kepala Satuan Reserse dan Kriminal di Polres Jakarta Pusat.

Setelah ditangkap, Oji memuji kinerja kepolisian. Petugas baju cokelat itu dinilainya profesional karena dapat segera mengungkap kasus yang dilakukannya. "Saya langsung bilang, polisi bener-bener hebat," katanya.

Dalam pemeriksaan Oji mengaku pernah membunuh gadis kecil lain. Dia bernama Rina, 11 tahun, warga Kelurahan Jati Rahayu, Pondok Gede. Rina dibunuh dengan cara yang sama seperti Febi karena menolak diajak bersebadan. Pengakuan itu mengejutkan Emirawati, ibu Rina, yang selama ini menyangka anaknya meninggal karena terkena penyakit angin duduk.

Pemuda yang gemar membaca itu tanpa sungkan mengaku sejak berusia 20 tahun senang menciumi anak-anak, terutama perempuan. "Saya sudah merasa ada yang aneh," katanya. Menurut buku kepribadian yang pernah ia baca, ia menduga dirinya mengidap pedofilia ringan.

Buku lain yang ia sukai adalah kisah Jack The Ripper karya Philip Sugden. Oji merasa memiliki kesamaan karakter dengan tokoh utama cerita tersebut: pembunuh yang sulit dilacak, cerdas, dan memiliki kelainan seks. Dalam cerita itu, Jack ditangkap polisi London setelah memperkosa dan membunuh korbannya yang keenam. "Banyak cerita di buku itu mirip dengan kepribadian saya," Oji berkata lirih.

Ajun Komisaris Besar Polisi Purwadi Arianto mengaku hasil pemeriksaan psikiater memang menunjukkan Oji memiliki kelainan jiwa berupa pedofilia. "Dia nafsu kepada anak kecil," kata Wakil Kepala Polres Bekasi itu.

Namun, bukan berarti Oji bisa lolos dari jerat hukum. Ia tetap terkena pasal penculikan dan pembunuhan dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup. "Orang seperti ini sangat berbahaya bagi anak-anak kalau sampai lepas," kata Henry Harahap, ayah Febi, dengan nada geram.

Nugroho Dewanto, Siswanto (Bekasi), Raden Rachmadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus