Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum jam baru lima menit beringsut dari angka tujuh malam, Du-rahman tiba di pondoknya. Kakek 65 tahun ini selesai menjenguk kebun karetnya yang terendam sejak empat bulan lalu. Bencana ini datang sejak aktivitas eksplorasi PT Bahari Cakrawala Sebuku (BCS) menghajar Sungai Matangkarang. Kebun karet Olong?sapaan Durahman?sangat dekat dengan sungai yang dikeruk, sebagian ditutup untuk mencegah air mengaliri lokasi galian.
Air tak punya pilihan selain melimpahi kebun karet milik Abah Olong. "Tinggi air sebatas dada," kata Olong. Sejak itu, karet pun tak bisa disadap. Hilanglah perolehan dua ember lateks seberat 40 kilogram tiap hari yang biasa dipanennya dari 900 pokok karet miliknya. "Perlu waktu setahun lagi untuk memulihkan kondisi pohon," ujarnya tetap sedih, biarpun BCS sudah memberikan ganti rugi Rp 10,5 juta.
Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sejak tahun 1997, ada tiga sungai yang rusak: Sungai Matangkarang, Daeng Setujuh, dan Kanibungan. Sepanjang 1,8 kilometer aliran Sungai Kanibungan diganti saluran buatan sepanjang 800 meter. Penutupan dan pembelokan sungai itu mendapat kecaman dari Siti Maemunah. Menurut Koordinator Jatam ini, ada potensi erosi, bahkan matinya Sungai Matangkarang ke bagian hulu. Sedangkan rendahnya tanggul saluran buatan Sungai Kanibungan, serta tidak adanya tanaman pengikat di tepiannya, berpotensi membuat banjir di Desa Kanibungan.
Direktur Utama BCS, Ginarsa Tandinegara, menepis kekhawatiran ini. Katanya, masalah ini sudah tercantum dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Khusus untuk Sungai Kanibungan dibuatkan kajian terpisah oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin. "Kesimpulannya, tidak ada masalah," kata Ginarsa. Muhammad Syarbini, Wakil Kepala PPLH Unlam, mengaku kalaupun ada dampaknya, itu tidak signifikan dan bisa diabaikan. Benarkah?
Ucu, 45 tahun, warga Desa Kanibungan, ingat betul aneka jenis ikan yang bisa dipancingnya di sungai yang kini almarhum itu. Ia juga tidak lupa pada gelayut monyet di pepohonan tepi sungai yang rapat rimbun. "Semuanya tak ada lagi," tuturnya. Juga dengkingan babi hutan dan kokok ayam hutan.
Lain lagi pengalaman Syamsudin, 26 tahun, nelayan Desa Sekapung. Tiap kali gondrong (jala penangkap udang) ditarik, menggelendot batu bara di dalamnya. Ia menuding ceceran batu bara hasil pemuatan dari ponton ke kapal jadi biang keladinya. Ginarsa terkekeh dimintai konfirmasi tentang hal ini. "Ah, mana mungkin?" katanya. Ia menyebut kedalaman laut tempat kapal memuat batu bara itu lebih dari 20 meter. Kalaupun ada batu bara yang tercecer, jumlahnya tak banyak dan langsung tenggelam. "Kalau tak percaya, ayo sama-sama kita menjala batu bara," ujar Syamsudin.
Pemuatan batu bara itu juga dituding M. Yusuf, 32 tahun, membuat udang berlarian menjauh. "Baunya menyengat, tak ada udang mau di dekat situ," kata Yusuf. Terpaksa Yusuf dan nelayan Sekapung mesti berlayar lebih jauh mendekati Pulau Haur. Biaya ekstra pun tak terelakkan. "Dulu cukup 1-5 liter solar, tapi sekarang 10 liter," katanya. Itu pun dengan hasil tangkapan yang jauh melorot. Menyikapi hal ini Ginarsa berkomentar pendek, "Perlu penelitian lanjutan, apa memang aktivitas kami membuat udang-udang itu menghilang," katanya.
Berbagai persoalan tersebut mengempas-empas benak penduduk lokal. Sementara itu, aliran dolar terus membanjiri kantong BCS. Dengan harga batu bara di pasar internasional US$ 20-25, BCS menjala Rp 340-425 miliar tiap tahunnya. Dari royaltinya, pemerintah pusat kebagian Rp 4,76-5,95 miliar, pemda tingkat II Rp 12,2-15,2 miliar, dan pemda tingkat I Rp 6,84-8,6 miliar. Sedangkan yang balik ke Pulau Sebuku lewat anggaran pendapatan dan belanja daerah tersisa Rp 1 miliar, ini pun harus dibagi untuk 8 desa.
Ginarsa mengaku mengeluarkan Rp 2 miliar tiap tahun untuk dana pengembangan masyarakat. Angka-angka yang melayang jauh dari jangkauan warga. "Tambang lebih mengun-tungkan perusahaan daripada penduduk," kata Syamsuri, Kepala Desa Serakaman, sambil menunjuk atap sekolah di desanya yang hampir runtuh.
Agus Hidayat (Pulau Sebuku)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo