Pemuda berambut lurus sebahu itu tertunduk lesu di tepi lapangan voli. Ia baru menerima keputusan yang dinilainya sangat diskriminatif: tak lolos seleksi tim inti bola voli karena ia seorang waria. Beberapa saat berselang, Mon—begitu nama atlet bola voli yang meradang itu—berjalan gontai meninggalkan lapangan. Air mukanya keruh, perasaannya rusuh. Sementara itu, nun di luar lapangan, Jung, sahabat baik Mon, juga seorang waria, tampak ceria. Wajahnya semringah. Ia, yang berprofesi sebagai penjual kue, terlihat begitu antusias, plus dibumbui gaya centil, menjajakan dagangannya.
Suasana kontras dua sahabat itu menjadi adegan pembuka film The Iron Ladies. Diangkat dari kisah nyata, film Thailand ini berkisah tentang sebuah tim bola voli pria yang sebagian besar pemainnya waria. Tim bola voli Provinsi Lampang itu—500 kilometer di utara Bangkok—keluar sebagai pemenang Kejuaraan Nasional Thailand pada 1996. Di tangan sutradara Youngyooth Thongkonthun, fenomena unik dalam sejarah olahraga Negeri Gajah Putih itu diramu menjadi film layar lebar bertajuk asli Tree Lex.
Diproduksi pada 2000, Iron Ladies mengangkat persahabatan sejati, sportivitas, dan penghargaan terhadap diri sendiri. Dalam film itu diceritakan bahwa persahabatan Mon (diperankan Sahaparp Virakamintr) dan Jung (Chaichan Nimpoolsawasdi) kian kental saat keduanya terpilih memperkuat tim bola voli Lampang. Adalah Bee (Sirithana Hongsophol), kepala pelatih baru tim Lampang, yang memberikan kesempatan kepada kedua pemain berbakat itu untuk berkiprah. Saat Bee mengumumkan akan diadakan seleksi pemain baru yang terbuka untuk umum, Mon dan Jung mendaftar. Dan keduanya lolos seleksi.
Hanya, keputusan Bee itu membuat pemain lainnya—yang nonwaria—mengundurkan diri. Ini sempat membuat Bee pusing. Akhirnya Bee meminta Mon dan Jung mencari beberapa teman. Mereka kemudian memilih Nong (seorang sersan waria dari angkatan bersenjata), Pia (seorang waria kabaret yang telah berganti kelamin), dan Wit (anak tunggal yang ditunangkan dengan seorang perempuan meski ia seorang waria). Dan ujung cerita mudah ditebak. Seperti dalam kisah nyata, tim bola voli yang diperkuat pemain waria itu menyabet gelar juara nasional—sekaligus menjadi fenomenal.
Ketika diputar di bioskop-bioskop di Thailand, Iron Ladies mendapat sambutan hebat. Film yang diproduksi Fortissimo Films Thailand ini cepat mencapai box-office, meraup keuntungan sekitar Rp 25 miliar. Selain di negerinya, The Iron Ladies meledak di sejumlah negara: Hong Kong, Singapura, Jepang, Inggris, dan negara-negara Eropa Timur. Ya, inilah film layar lebar pertama sepanjang sejarah perfilman Thailand yang sukses menggebrak pasar di 30 negara.
Di luar itu, Iron Ladies memanen penghargaan di berbagai festival film internasional. Dalam Festival Film Berlin 2001, film ini meraih dua penghargaan, sementara dalam Festival Film Toronto, Kanada, dan Pusan, Korea Selatan, meraih satu penghargaan. Pada tahun yang sama, film ini juga menyabet penghargaan di beberapa festival film gay dan lesbian. Dalam Festival Film Gay dan Lesbian di Dublin, New York, dan San Francisco, Iron Ladies mendapat Audience Award.
Di Indonesia sendiri, Iron Ladies hanya bisa dinikmati dalam format VCD yang diluncurkan PT Cipta Mitra Video Nusa, Jakarta, dengan bendera Fiesta Films, sejak awal Mei ini. Menurut Nelvi Asalui, Senior Business Manager PT Cipta Mitra, sebetulnya pihaknya ingin memutar film itu dalam format layar lebar di bioskop-bioskop Indonesia. Tapi, ”Karena pertimbangan bisnis, kami hanya mengedarkannya dalam bentuk cakram video,” katanya.
Memang, sepanjang informasi yang dihimpun, film Thailand yang diputar di bioskop-bioskop Indonesia terbilang minim. Baru The Legend of Suriyothai—diedarkan jaringan bioskop 21—yang bisa menembus bioskop-bioskop kota besar Indonesia. Film kolosal yang mengulas intrik di dalam istana Kerajaan Ayothya itu diputar perdana di Jakarta dan sekitarnya pada pertengahan April lalu. Dan hingga kini, film arahan sutradara Chatrichalerm Yukol itu masih diputar di sejumlah bioskop di Tanah Air.
Kendati cuma sedikit yang diputar di bioskop, film Thailand lumayan banyak yang beredar di sini. Rata-rata dalam format cakram video—baik VCD maupun DVD. PT Duta Utama Cahaya Records, Jakarta, misalnya, meluncurkan Killer Tattoo dan Tigress of King River. Sedangkan Fiesta Films, selain mengedarkan Iron Ladies, sejak Juli 2003 mengedarkan Bangkok Dangerous dan Tears of the Black Tiger.
Menurut Nelvi Asalui, pada akhir Juni nanti, Fiesta Films akan mengedarkan dua atau tiga film Thailand lainnya—masih dalam format cakram video. Nelvi menambahkan, penjualan Bangkok Dangerous dan Tears of the Black Tiger cukup bagus. Hingga kini, kedua film itu telah terjual sekitar 10 ribu keping. Sedangkan Iron Ladies, yang peredarannya baru sekitar sebulan, telah menyundul 5.000 keping. ”Dari ketiga film yang kini diedarkan, Iron Ladies terbilang cukup laris,” ujarnya.
Selain cukup laris, Iron Ladies disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia. Pertimbangannya, karakter film itu berkisah tentang kehidupan waria. Menurut Nelvi, pihaknya ingin menyesuaikan film itu dengan bahasa dan istilah yang kerap dipakai kaum waria di sini. Alhasil, sepanjang 104 menit, kita akan disuguhi dialog-dialog khas kaum waria Indonesia—seperti ”embeer!”, ”brondong”, ”bencong kaleng”, dan ”gedong”.
Nelvi mengakui, banyak pihak yang menyayangkan film itu disulihsuarakan. Alasan mereka, hal itu sangat mengganggu dari segi sinematografinya. ”Tapi, kalau film itu tidak di-dubbing, karakter warianya tak muncul,” tuturnya. ”Penonton kita, yang sebagian besar tak memahami bahasa Thailand, tentu akan kesulitan menangkap idiom waria di film itu. Padahal filmnya cukup lucu,” Nelvi menambahkan.
Begitulah. Yang jelas, selain ”di-dubbing” ke bahasa Indonesia, The Iron Ladies disulihsuarakan ke dalam bahasa sejumlah negara yang memutar film itu. Untuk Indonesia, proses dubbing dikerjakan oleh sebuah tim yang diketuai Ferry Fadly. Menurut Ferry, proses dubbing yang digelar sekitar enam bulan lalu itu melibatkan sekitar 18 orang dubber (pengisi suara). ”Meski filmnya berkisah soal waria, semua pengisi suaranya adalah laki-laki tulen,” ujarnya.
Kendala yang menghadang selama proses dubbing, Ferry menambahkan, adalah mencari kata-kata yang pas dengan bahasa gaul kaum waria di sini. Pasalnya, naskah terjemahan yang disodorkan benar-benar dalam bahasa Indonesia yang baku—juga kaku. Kendala berikutnya adalah masalah keluwesan dalam dialog. ”Kita sering melakukan pengulangan karena para dubber-nya memang bukan waria,” katanya.
Akibatnya, prosesnya menjadi cukup lama, dari pukul 10 pagi sampai 3 dini hari. Padahal, untuk film yang berdurasi sekitar 100 menit, biasanya proses dubbing-nya tak selama itu. ”Paling-paling, kalau dimulai pukul 10 pagi, pukul 5 sore sudah selesai,” pengisi suara kawakan yang dikenal lewat sandiwara radio Brama Kumbara itu menjelaskan.
Hal senada dilontarkan Iphie Lubis, 32 tahun, pengisi suara tokoh Jung di Iron Ladies. Menurut Iphie, untuk menghayati peran Jung dan mencari kata-kata yang pas dalam dialognya, ia cukup mengalami kesulitan. Apalagi, dalam film itu, Jung adalah tokoh waria yang paling rame dan luwes. Untuk itu, Iphie rajin bertanya kepada sejumlah rekannya yang kerap menggunakan bahasa gaul. ”Selain itu, saya juga mengamati gaya dan kebiasaan mereka,” pengarah dialog di sebuah stasiun televisi swasta itu menerangkan.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini