Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seekor raja udang terbang rendah di atas sungai. Burung yang suka terbang sambil sesekali mencelupkan badannya ke air ini seperti bersicepat dengan speedboat di belakangnya. Di semak-semak tepian sungai, buaya dan biawak mengintip. Mata kecil mereka menyipit, menyambut kedatangan TEMPO di Desa Serakaman, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, akhir April lalu.
Sebuku cuma sebuah pulau kecil. Panjangnya 14 kilometer, dengan luas 225 kilometer persegi. Pulau berpenghuni 5.000 jiwa yang tersebar di delapan desa ini terletak sekitar 290 kilometer dari Banjarmasin. Dari kota ini, untuk mencapai Sebuku dengan speedboat diperlukan waktu 12 jam, melintasi lima kabupaten dan dua selat.
Inilah pulau yang kaya aneka tumbuhan khas hutan hujan tropis. Karet, sawit, vanili, lada, kopi, dan padi adalah komoditas pertanian utama. Kayu ulin dan meranti menghidupi penduduk yang mengusahakan penggergajian. Perairannya penuh aneka tangkapan laut. Karunia alam ini membuat sebagian besar penduduk Sebuku hidup dengan menjadi nelayan tangkap, petani, atau menggergaji kayu.
Bahkan tanah Sebuku pun kaya mineral tambang. Galilah tanah di sini yang berwarna hitam, batu bara akan dengan mudah diambil. Sejak sepuluh tahun lalu, PT Bahari Cakrawala Sebuku (BCS), perusahaan pertambangan batu bara, telah hilir-mudik di sini. Mereka pertama kali mengendus kandungan emas hitam itu pada 1991, ketika mengirim tim eksplorasi pertama. Terhenti dua tahun, kegiatan ini dilakukan lagi. Pada akhir 1993, menurut Ginarsa Tandinegara, Direktur Utama BCS, mereka memastikan cadangan deposit batu bara Pulau Sebuku layak dieksploitasi.
Setahun berikutnya selesailah kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Tahun ini pula BCS beroleh izin konsesi dari Departemen Pertambangan dan Energi. Resmilah BCS menguasai areal 5.871 hektare?lebih dari seperempat luas Sebuku?untuk eksploitasi 30 tahun.
Berbekal konsesi itulah BCS mulai melakukan kegiatan konstruksi dan eksploitasi. Minimnya modal membuat BCS melego 80 persen sahamnya ke Straits Resources, perusahaan investasi dari Australia. Sejak 1996, menurut Ginarsa, saham lokal BCS tinggal 20 persen melalui tangan PT Reyka Wahana Digdaya.
Sejak itu, Sebuku hiruk-pikuk. Tanah-tanah dibebaskan, rawa dan sungai diuruk, jalan baru dibuat, lubang galian menganga. Rombongan demi rombongan pekerja dari luar pulau pun berdatangan, berbagi rezeki dengan warga lokal. Pulau yang senyap ini berubah ingar, apalagi setelah landasan pesawat terbang dibangun di lokasi tambang BCS.
Seolah ikut berpacu, mineral tanah hitam terus digali. Traktor dan alat-alat berat hilir-mudik menggilas tanah, menggali, mengeduk, lalu mengangkut ke pabrik. Di sini tanah itu digerus, disamakan ukuran kepingnya, lalu diangkut ke tepi pantai Desa Sekapung. Dengan ponton berkapasitas 7.500 ton, batu bara ini dibawa menuju kapal yang sudah nongkrong di lepas pantai, siap membawa muatannya ke negara pembeli.
Dari rahimnya, pada Februari 1998 Pulau Sebuku melahirkan batu bara komersial 45 ribu ton yang dikirim ke Thailand. Pada tahun pertama ini, BCS sudah mengeduk satu juta ton batu bara. Dolar pun mengalir dan makin memacu pengedukan. Produksi dinaikkan: 1,65 juta ton pada dua tahun berikutnya, dan dua tahun terakhir ini merangkak lagi menjadi 2 juta ton setahun, pas dengan banderol kapasitas produksi.
Sekarang, ada tiga lokasi pit BCS, Tanah Putih, Sentral, dan Kanibungan. Semuanya berupa pit terbuka (open pit mining). Luas total lubang galian ini 300-400 hektare?tiap lubang rata-rata 100 hektare?dengan kedalaman belasan meter.
Seiring dengan makin gencarnya aktivitas penambangan BCS, yang menyerap hingga 700 tenaga kerja, gelombang ketidakpuasan penduduk setempat mulai muncul. Banyak hal yang mereka keluhkan, dari soal ganti rugi tanah hingga masalah lingkungan (lihat Yang Untung, yang Tersedak). Pada 2002, 63 warga Desa Kanibungan melayangkan surat pernyataan menolak penambangan di Kanibungan.
Lalu pada Oktober 2003 Abidin Taher, warga desa yang juga ketua badan perwakilan Desa Kanibungan, menulis surat pembaca di harian Banjarmasin Pos. Surat ini berbuah gugatan dari penasihat hukum BCS dan berlanjut dengan pemeriksaan Abidin oleh kepolisian setempat atas tuduhan pencemaran nama baik.
Namun gugatan tak menghentikan aksi ketidakpuasan. Desember tahun lalu, sekitar 200 warga menutup jalan perusahaan di lokasi pos 7 selama enam jam. Puncak unjuk rasa terjadi pertengahan Februari lalu. Ratusan warga turun, duduk-duduk, diam, dan menantang truk-truk raksasa yang lewat. Selama empat hari blokade, BCS terpaksa berhenti produksi. Jalan perundingan pun ditempuh. Pihak BCS dan warga empat desa duduk satu meja. BCS menyanggupi semua tuntutan warga, kecuali satu, yakni agar BCS memberikan fee Rp 1.000 tiap ton batu bara yang dikeduk untuk tiap desa. Ginarsa berargumen, tak ada ketentuan pemerintah yang membuat BCS harus memberikan pajak ke desa.
BCS kemudian menggelontorkan dana Rp 900 juta untuk empat desa. Dari jumlah itu Rp 100 juta diberikan ke Perkumpulan Masyarakat Adat (Permada). Belakangan Permada menyerahkan dana ini kembali ke desa. Masyarakat menyebut uang ini dana kompensasi, sedangkan Ginarsa menyebutnya sumbangan pembangunan. Usai kesepakatan diteken dan dana dikucurkan, aksi protes mengendur.
Sukses eksplorasi BCS dan potensi berlimpah emas hitam di Pulau ini mengundang perusahaan lain ikut mengadu untung. Menurut Syamsuri, 36 tahun, Pembakal (Kepala Desa) Serakaman, akhir tahun lalu tim eksplorasi PT Carbon Mahakam mengambil sampel tanah di wilayah desanya. Dia menghitung, dari 3.955 hektare luas wilayah desanya, 350 hektare sudah dipinang perusahaan ini. "Hampir pasti mereka akan masuk Serakaman," ujar Syamsuri.
Lebih ke atas dari Serakaman, di wilayah Tanjung Mangkok, sebuah perusahaan tambang tengah melakukan kegiatan konstruksi. Namanya PT Sebuku Iron Laterite Ores (Silo). Syamsuri menyebut ada sepuluh warganya yang kini bekerja di tambang penghasil bijih besi ini. Luas areal konsesinya tidak diketahui pasti, tapi menurut Syamsuri bisa ratusan hingga ribuan hektare.
Selain disesaki perusahaan tambang, menurut Syamsuri, di Sebuku terdapat perusahaan perkebunan kelapa sawit, namanya PT Wahana Agro Semesta. Areal konsesinya meliputi beberapa desa di seputar Serakaman, dengan luas beberapa ratus hektare.
Syamsuri paham betul potensi kampungnya. Itu sebabnya, sebelum perusahaan tambang baru mulai menggerakkan traktornya, Pembakal Serakaman ini menghendaki perjanjian tertulis antara warga desa dan perusahaan. "Agar kami tidak dibodohi dan hak-hak warga dipenuhi," kata Syamsuri. "Kami tak ingin masalah yang pernah terjadi dengan BCS terulang," ujarnya.
Syamsuri pantas bersikap hati-hati. Sebab, ia akan jadi ujung tombak warganya berhadapan dengan perusahaan kalau terjadi masalah. "Dengan BCS saja belum selesai benar," tuturnya. Memang demikian, dua bulan usai penandatanganan kesepakatan antara warga empat desa dan BCS, aura kegelisahan kembali menggantung.
Kecemasan ini akibat belum terealisasinya beberapa kesepakatan yang telah disetujui dengan BCS. Tapi Ginarsa punya argumen dan menyebut pihaknya tetap patuh pada kesepakatan. "Semua ada jadwalnya. Kalau belum dilaksanakan, itu karena memang belum jadwalnya," kata Ginarsa. Toh warga membantah. "BCS cuma janji-janji, belum ada yang ditepati," ujar Taraweh, 45 tahun, nelayan Desa Sekapung. "Lupakan perjanjian lama, kami ingin perjanjian baru," tutur Taraweh.
Entah siapa benar siapa keliru, tapi seperti air pasang, aroma ketidaksabaran penduduk berpotensi menjadi banjir. Apalagi kini tak cuma ada satu perusahaan tambang, tapi dua dan sebentar lagi tiga. "Bagaimana kami tidak gelisah?" kata Syamsuri.
Agus Hidayat (Pulau Sebuku)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo