Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Karena Hutan Meranggas di Haiti

Sekitar 2.000 orang tewas akibat banjir bandang di Haiti dan Dominika. Penyebabnya adalah penggundulan hutan yang masif.

31 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Boleh jadi ini kemenangan paling spektakuler dalam 50 tahun hidup Gespere Branchedor. Beradu cepat dengan terjangan banjir bandang yang menenggelamkan sebagian Haiti dan Republik Dominika pada Minggu dua pekan silam, pria ini berhasil keluar dari "lomba maut" itu dengan selamat. Bersama istrinya, kelima anaknya, serta beberapa kerabatnya, Branchedor melesat dari kediamannya hanya sesaat sebelum air bah meludeskan semua miliknya: rumah, restoran, dan segala isinya. Banjir bandang itu menghajar Haiti dan Republik Dominika—dua negeri di Amerika Tengah yang hutan-hutannya licin tandas karena penduduknya begitu rajin menghabiskan pohon selama hampir dua abad terakhir. Maka maut pun mudah mampir melalui bencana banjir. Hingga akhir pekan lalu, telah lebih dari 2.000 manusia yang tewas ditelan air bah yang menggenangi Haiti dan Dominika. Ini salah satu bencana alam terbesar yang pernah melanda Amerika Tengah. Tragedi air bah ini tiba menjelang subuh hari Minggu, 16 Mei lalu. Keluarga Branchedor mendengar gemuruh suara batu berjatuhan, menggulir ke arah rumah mereka, yang terletak di bantaran Sungai Rolie. Tepatnya di Mapou, desa kecil sekitar 30 kilometer di tenggara ibu kota Haiti, Port-au-Prince. Bersicepat mereka kabur, lalu mendaki ke dataran yang lebih tinggi, dan dari sana, "Kami melihat mobil, rumah, dan orang-orang terbawa air, tapi kami tak dapat menolongnya," kata Branchedor. Hampir 600 orang tewas di Mapou. Desa di dasar lembah di dekat perbatasan dengan Republik Dominika itu terendam air setinggi pohon palem. "Seperti sebuah danau bila dilihat dari udara," kata Letnan Kolonel David Lapan dari kesatuan Marinir Amerika, yang ikut memberikan pertolongan. Hujan lebat di seluruh Pulau Hispaniola—tempat Haiti dan Dominika berada—pada Minggu itu adalah pangkal bencana. Air Sungai Solie di kawasan Jimani, kota di dekat perbatasan, meluap saat penduduk sedang lelap tidur. Pemerintah Dominika sudah memperingatkan kemungkinan itu lewat radio. Sayang, siaran tersebut tak bisa ditangkap di Jimani. Alhasil, korban pun membengkak dalam waktu singkat. Sekitar 1.660 jenazah bertebaran di Haiti. Korban terbesar ada di Mapou, sekitar 579 orang. Lalu 375 korban lain ditemukan di Dominika—kebanyakan di Jimani. Kota kecil itu dihuni oleh migran Haiti, yang sebagian besar bekerja sebagai pedagang kaki lima dan pemanen tebu. Angka korban diperkirakan akan terus bertambah pada pekan ini. Sebab, dari Dominika saja, sekitar 400 orang masih dilaporkan hilang. Sedangkan di Haiti, lebih dari 160 orang belum diketahui nasibnya. Mereka yang selamat sudah diberi formulir untuk mendata nama anggota keluarga mereka yang masih hilang. Sekitar 3.500 orang pasukan penjaga perdamaian yang dikomandani Amerika berusaha keras menyediakan air bersih dan obat-obatan untuk pertolongan pertama. Beberapa helikopter dikerahkan membawa tablet klorin untuk memurnikan air dan peralatan darurat lainnya ke Desa Mapou dan sekitarnya. Pemerintah dan Palang Merah Kanada serta otoritas pembangkit listrik Kota New York sudah memberikan bantuan sekitar Rp 2,4 miliar. Haiti adalah negara termiskin di Benua Amerika. Kurang-lebih 80 persen dari 8 juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dan 70 persen menganggur. Dilanda belasan kali kudeta berdarah yang diakhiri pergantian kekuasaan, Haiti juga menghadapi ancaman yang tak kalah menyeramkan: hampir 99 persen dari 88 ribu hektare luas hutannya yang tercatat pada tahun 2000 sudah gundul. Penduduknya memang gemar bukan main menebang kayu—sejatinya terdorong oleh kemiskinan. Kayu-kayu tersebut dipakai untuk keperluan rumah tangga atau diperdagangkan. Republik Dominika bernasib lebih baik karena masih memiliki sekitar 12,5 persen hutan dari total 1,4 juta hektare. Bagi kawasan seperti Fond Verrettes, sebuah kota kecil 55 kilometer di selatan Port-au-Prince, air adalah jantung sekaligus kutukan. Petani kecil di sana membutuhkan air agar bisa memanen jagung dan kentang, yang akan mereka jual ke ibu kota. Tapi kemiskinan telah menyebabkan penebangan liar kian menggila. Pohon dihabiskan untuk kayu bakar atau dijual sebagai arang, yang menjadi bahan bakar utama di sana. Maka banjir pun tak bisa dicegah lagi. Penjabat Perdana Menteri Haiti Gerard Latortue menyalahkan penggundulan itu. Toh, dia juga tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya mengatakan pemerintah Haiti akan memindahkan penduduk dan membangun permukiman baru di daerah bebas banjir. Entah bagaimana Gerard Latortue akan menemukan daerah bebas banjir di Haiti—yang telah lama menuai julukan "negeri paling meranggas di atas jagat." I G.G. Maha Adi (Reuters, AP, BBC, Toronto Star)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus