Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Newsletter

CekFakta #73 Sinyal Bahaya Peretasan Media

Sinyal Bahaya Peretasan Media-Riset: Hoaks Kesehatan di Facebook Ditonton Miliaran Kali-Said Aqil dan Tanah Masjid

14 September 2020 | 12.39 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi proses peretasan di era teknologi digital. (Shutterstock)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Peretasan terhadap media dan suara-suara kritis marak terjadi belakangan ini, mulai dari situs Tempo.co dan Tirto.id hingga akun Twitter milik ahli epidemiologi Universitas Indonesia. Amnesty Internasional Indonesia mencatat terjadi 42 kasus dugaan intimidasi dan serangan siber terhadap mereka yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah. Hal ini dinilai sebagai sinyal bahaya bagi demokrasi.
  • Riset oleh sebuah organisasi nirlaba Amerika Serikat menemukan bahwa sebagian besar unggahan di Facebook yang berisi klaim palsu tidak diberi label atau peringatan. Hanya 16 persen unggahan yang berisi misinformasi yang diberi label “tidak benar”, “tidak terbukti”, atau “berbahaya”. Facebook merespons riset ini dengan menyatakan bahwa temuan tersebut “tidak mencerminkan langkah-langkah yang telah kami ambil”.

Halo pembaca Nawala CekFakta Tempo! Dalam edisi kali ini, saya ingin bercerita tentang peretasan yang terjadi di tempat saya bekerja, Tempo. Peretasan ini memang tidak mempengaruhi keseharian kami untuk terus mengabarkan fakta kepada publik dan republik. Namun, tindakan peretasan itu tidak bisa didiamkan. Bayangkan jika semua media yang kritis terhadap kebijakan pemerintah diretas, dan tidak ada lagi anjing penjaga sebagai pengawas penguasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah Anda menerima nawala edisi 28 Agustus 2020 ini dari teman dan bukan dari email Tempo? Daftarkan surel di sini untuk berlangganan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nawala edisi ini ditulis oleh Angelina Anjar Sawitri dari Tempo Media Lab.

SINYAL BAHAYA PERETASAN MEDIA

Pada Jumat dini hari pekan lalu, tanggal 21 Agustus 2020, ponsel saya berulang kali berdering, menandakan bahwa ada banyak pesan WhatsApp yang masuk. Rupanya, grup-grup kantor saya telah ramai dengan perbincangan soal diretasnya situs Tempo.co. Awalnya, Tempo.co tidak bisa diakses, hanya muncul layar putih bertuliskan “403 forbidden”. Sekitar 30 menit kemudian, situs berubah menjadi berwarna hitam dengan iringan lagu Gugur Bunga selama 15 menit.

Di dalamnya, terdapat tulisan yang berbunyi: “Stop Hoax, Jangan BOHONGI Rakyat Indonesia, Kembali ke etika jurnalistik yang benar patuhi dewan pers. Jangan berdasarkan ORANG yang BAYAR saja. Deface By @xdigeeembok”. Ketika tulisan itu diklik, kita bakal dialihkan ke akun Twitter @xdigeeembok yang memiliki 465 ribu pengikut.

Dalam waktu sekitar satu setengah jam, Tempo.co sudah bisa diambil alih dan kembali normal. Tapi, sejam kemudian, Tempo.co diserang lagi dengan tampilan yang serupa. Berselang 5 menit, Tempo.co kembali pulih. Peretasan ini terjadi setelah sebelumnya, dalam beberapa hari, Tempo memuat berita tentang influencer yang dibayar untuk mengkampanyekan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Pada hari yang sama, situs Tirto.id juga diretas. Beberapa berita yang menyinggung keterlibatan BIN dan TNI dalam produksi obat Covid-19 dihapus peretas. Pada Jumat petang hingga malam, redaksi Tirto.id menghentikan kegiatan yang berkaitan dengan upload berita, lalu memperkuat sistem keamanan. Namun, di malam hari, isi berita yang berjudul “Soal Obat Corona: Kepentingan BIN & TNI Melangkahi Disiplin Sains” diubah oleh peretas.

Sebelum peretasan terhadap Tempo.co dan Tirto.id ini, pada Rabu malam, 19 Agustus 2020, akun Twitter milik ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, pun diretas, usai mengkritik hasil riset obat kombinasi Covid-19 oleh tim Universitas Airlangga yang bekerja sama dengan BIN dan TNI. Akun Pandu, @drpriono, tiba-tiba mengunggah dua foto dengan narasi yang mengandung kata-kata seperti “mamah muda” dan “mamah kedua”.

Pada 2013, Wakil Direktur Committee to Protect Journalist (CPJ) Robert Mahoney pernah mengatakan bahwa, selama beberapa tahun terakhir, serangan siber terhadap media meningkat pesat. Menurut Mahoney, praktik tersebut dipilih karena bisa menjadi alat penyensoran yang mudah dan murah. Ketika itu, terjadi serangan serempak terhadap media Amerika Serikat, yakni The New York Times, Washington Post, Bloomberg, dan The Wall Street Journal, oleh peretas Cina.

Dilaporkan pula bahwa sejumlah negara menggunakan perangkat lunak yang telah dikustomisasi untuk mengeksploitasi kelemahan keamanan komputer pribadi dan layanan internet konsumen dengan tujuan memata-matai. Menurut laporan CPJ, negara-negara yang diduga melakukan tindakan tersebut adalah AS, Israel, dan Cina. Di negara terakhir, beberapa jurnalis mengaku kerap menerima peringatan di Gmail bahwa akun mereka menjadi target dari apa yang dikatakan Google sebagai “serangan yang disponsori negara”.

Pada akhir Maret 2020, Google kembali melaporkan temuan baru tentang bagaimana peretas yang didukung oleh pemerintah mencoba menarget pengguna dalam beberapa bulan terakhir. Menurut manajer teknik keamanan Google, Toni Gidwani, sejak awal tahun, perusahaannya melihat peningkatan jumlah peretas, termasuk dari Iran dan Korea Utara, yang meniru media atau jurnalis. Dalam beberapa kasus, peretas bakal berpura-pura menjadi jurnalis untuk menghubungi jurnalis lainnya agar menyebarkan misinformasi.

Sejumlah peneliti keamanan, pada Juli 2020 lalu, juga menemukan sekelompok peretas Iran yang menyamar sebagai mantan reporter The Wall Street Journal untuk mengelabui korbannya agar memberikan kata sandi mereka. Para penyerang bekerja dengan mengirim e-mail kepada korban berisi tautan ke halaman login The Wall Street Journal palsu yang dirancang agar pengguna masuk dengan akun Google mereka. Pada kenyataannya, halaman ini mengumpulkan informasi login itu, termasuk kata sandi, dan mengirimkannya kepada peretas.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan, menuturkan bahwa peretasan yang dialami oleh Tempo.co dan Tirto.id adalah upaya pembungkaman terhadap demokrasi. Pola-pola peretasan sangat terstruktur, selalu menyasar wacana yang menyerang pemerintahan. “Ini bukan dikerjakan oleh orang-orang iseng, ataupun anak-anak kurang kerjaan. Pasti ini dilakukan oleh mereka yang punya niat serius menyerang media,” ujar Manan. Peretasan ini pun diduga ditujukan agar media berhenti bersikap kritis terhadap pemerintah.

Amnesty Internasional Indonesia juga meminta negara untuk mengusut maraknya kasus peretasan, baik yang diterima oleh media maupun oleh individu. Berdasarkan catatan Amnesty Internasional Indonesia, per 23 Agustus 2020, terjadi 42 kasus dugaan intimidasi dan serangan siber terhadap mereka yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah. Komite Keselamatan Jurnalis pun menyatakan bahwa pemerintah harus tegas menindak peretasan ini. Pasalnya, ada dua pelanggaran hukum yang terjadi: penghalangan aktivitas jurnalistik dan peretasan.

RISET: HOAKS KESEHATAN DI FACEBOOK DITONTON MILIARAN KALI

Riset oleh Avaaz, sebuah organisasi nirlaba Amerika Serikat, menemukan bahwa sebagian besar unggahan di Facebook yang berisi klaim palsu tidak diberi label atau peringatan. Menurut riset yang digelar sepanjang Mei 2019 hingga Mei 2020 itu, hanya 16 persen unggahan yang berisi misinformasi yang diberi label “tidak benar”, “tidak terbukti”, atau “berbahaya”, sementara 84 persennya tidak. Tapi Facebook merespons riset Avaaz itu dengan menyatakan bahwa temuan tersebut “tidak mencerminkan langkah-langkah yang telah kami ambil”.

- Lewat riset itu, Avaaz menemukan bahwa banyak unggahan—beberapa di antaranya menjangkau jutaan akun—berhasil menghindari pelabelan oleh Facebook karena diunggah ulang dari akun lain atau diterjemahkan ke bahasa lain. Avaaz juga menemukan, dalam setahun terakhir, hoaks kesehatan di Facebook telah ditonton hingga 3,8 miliar kali. Volume puncak terjadi pada April 2020, dengan sekitar 460 juta penayangan, ketika pandemi Covid-19 telah menyebar ke berbagai negara.

- Avaaz menyarankan agar Facebook menempatkan koreksi dari pemeriksa fakta secara mencolok dalam unggahan berisi misinformasi. Hal ini diyakini bisa mengurangi kepercayaan seseorang terhadap hoaks hampir 50 persen. Avaaz mengatakan Facebook harus mengubah algoritmanya untuk mengurangi jangkauan misinformasi hingga 80 persen. “Facebook belum secara efektif menerapkan solusi ini pada skala dan kecanggihan yang diperlukan untuk mengalahkan infodemi, meskipun para dokter dan ahli kesehatan telah berulang kali menyuarakan hal tersebut,” ujar Avaaz.

- Menanggapi riset Avaaz ini, juru bicara Facebook mengatakan temuan itu tidak mencerminkan langkah-langkah yang telah diambil perusahaan untuk mencegah penyebaran misinformasi. “Berkat jaringan pemeriksa fakta global kami, dari April hingga Juni 2020, kami telah memberikan label terhadap 98 juta misinformasi tentang Covid-19. Kami juga telah mengarahkan lebih dari 2 miliar pengguna ke otoritas kesehatan, dan ketika pengguna mencoba membagikan tautan tentang Covid-19, kami menampilkan pop-up untuk menghubungkan mereka dengan informasi kesehatan yang kredibel.”

- Menurut jurnalis The Verge, Casey Newton, untuk menentukan cakupan misinformasi kesehatan di Facebook, peneliti Avaaz memakai data publik dari CrowdTangle. Newton menuturkan CrowdTangle hanya membagikan data seputar keterlibatan—berapa banyak like, comment, dan share—yang mendorong peneliti untuk menggunakannya sebagai proksi atas jumlah penayangan sebuah unggahan. Avaaz berasumsi bahwa setiap interaksi berkorelasi dengan 29,7 penayangan. “Pada dasarnya, tidak mungkin untuk mengetahui seberapa akurat angka itu,” kata Newton.

- Meskipun begitu, menurut Newton, data mentah CrowdTangle menunjukkan bahwa unggahan-unggahan yang berisi klaim palsu itu menghasilkan 91 juta interaksi. “Ini menunjukkan bahwa masalah yang dijelaskan di sini nyata, meskipun skalanya tetap tidak pasti,” ujarnya. Menurut Newton, Facebook memang telah mengambil langkah-langkah penting untuk membendung misinformasi Covid-19. Masalahnya, pendekatan Facebook untuk moderasi konten—lawan ujaran buruk dengan lebih banyak ujaran—menciptakan platform yang secara efektif berperang dengan dirinya sendiri.

- Laporan Center for American Progress menjabarkan sejumlah saran untuk mengelola penyebaran misinformasi. Saran yang paling masuk akal adalah memutus sirkuit viralitas, yang secara otomatis menghentikan algoritma memperkuat suatu unggahan ketika jumlah penayangan dan share-nya meroket. Secara teoritis, hal ini dapat memberikan waktu yang lebih panjang kepada moderator konten untuk meninjau sebuah unggahan. Menurut Newton, Facebook menyatakan tengah menguji coba langkah baru yang menyerupai saran ini dan bakal meluncurkannya dalam waktu dekat.

WAKTUNYA TRIVIA! 

Berikut beberapa kabar tentang misinformasi dan disinformasi, keamanan siber, serta privasi data pekan ini, yang mungkin terselip dari perhatian. Kami mengumpulkannya untuk Anda.

- TikTok menggugat Presiden Amerika Serikat Donald Trump karena telah membuat kebijakan yang melarang aktivitas platform tersebut di AS. Gugatan itu diajukan ke pengadilan federal Los Angeles. Perusahaan induk TikTok, ByteDance, menolak apa yang dilontarkan oleh Gedung Putih, bahwa platformnya merupakan ancaman keamanan nasional. ByteDance juga menuding bahwa seruan Trump yang melarang TikTok itu memperkuat dugaan terkait kampanye retorika anti-Cina menjelang pemilihan presiden pada 3 November 2020, di mana Trump kembali maju.

- Secara terpisah, manajer program teknis TikTok di AS, Patrick Ryan, menggugat pemerintahan Trump karena pelarangan TikTok bakal menghilangkan pekerjaannya. Ryan mengajukan gugatan itu di pengadilan federal San Francisco pada 24 Agustus 2020, beberapa jam setelah TikTok mengajukan gugatan terhadap Trump. Sebelumnya, Ryan memimpin kampanye crowdfunding untuk membiayai gugatannya itu. Ia pun menyebut tidak menerima dana dari TikTok untuk mengajukan gugatan tersebut.

- Selain pada TikTok, perang dagang antara AS dan Cina dilaporkan bakal berimbas pada Apple. Menurut laporan The Information, toko aplikasi milik Apple, App Store, kemungkinan akan dilarang beroperasi sepenuhnya di Cina. Di negeri tirai bambu tersebut, ada aturan bahwa toko aplikasi harus dimiliki secara mayoritas oleh perusahaan Cina. Selama ini, Apple berhasil mengatasi persyaratan tersebut. Tapi akibat wacana diblokirnya aplikasi milik perusahaan Cina, TikTok dan WeChat, di AS, pemerintah Cina ditengarai bakal menegakkan aturan itu secara penuh.

- Pada 24 Agustus 2020, Facebook memblokir grup Royalist Marketplace yang kerap menyuarakan protes terhadap pemerintah Thailand. Pemblokiran itu dilakukan setelah Thailand mengancam akan mengambil tindakan hukum terhadap Facebook atas konten yang dianggap mencemarkan nama baik kerajaan. Pendiri grup Royalist Marketplace, Pavin Chachavalpongpun, menyatakan bahwa Facebook telah tunduk pada tekanan pemerintah dan bekerja sama dengan rezim otoriter dalam menghalangi demokrasi.

- Facebook menyatakan telah berbagi data dengan PBB untuk penyelidikan kasus kejahatan internasional di Myanmar. Pembagian data ini dilakukan setelah investigator menyebut Facebook sempat menahan bukti-bukti yang mereka miliki. Facebook menyebut telah memberikan data dari berbagai akun dan halaman yang terkait dengan militer Myanmar. Berbagai akun dan halaman itu telah dihapus pada 2018 guna menangkal ujaran kebencian terhadap etnis Rohingya. PBB menyatakan Facebook telah memainkan peran kunci dalam penyebaran ujaran kebencian yang memicu kekerasan.

- Ponsel pintar murah asal Cina diam-diam mencuri uang dari penggunanya. Awalnya, seorang pengguna membeli perangkat bermerk Tecno W2 yang secara harga sangat murah tapi desainnya mirip dengan ponsel populer. Namun, kuota datanya kerap terkuras secara misterius. Ia juga sering mendapat pesan berlangganan layanan. Rupanya, berdasarkan investigasi, masalah ini terjadi karena perangkat lunak jahat yang tertanam di ponsel itu. Tecno W2 disebut terinfeksi malware xHelper dan Triada.

PERIKSA FAKTA SEPEKAN INI

Belakangan, isu lama yang menyebut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Said Aqil Siradj menjual tanah untuk masjid ke gereja kembali beredar. Menurut klaim yang terdapat dalam artikel di situs Bangsa Online dan Harian Bangsa itu, tanah tersebut milik Haji Qosim yang berlokasi di Karangbesuki, Malang. Awalnya, tanah milik Qosim ini ditawar oleh misionaris dengan harga Rp 9 miliar untuk didirikan gereja. Namun, Qosim menolak tawaran itu. Beberapa saat kemudian, Said Aqil mendatangi Qosim dan menawar tanah tersebut dengan harga Rp 1,7 miliar untuk dijadikan Islamic center. Qosim pun menerima tawaran itu. “Tak dinyana, setelah sepakat dengan SAS atas penjualan tanah tersebut, dan dibayarkan sebesar Rp 700 juta, tanah itu dijual kepada misionaris,” demikian narasi yang beredar.

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim itu keliru. Narasumber dalam artikel di situs Bangsa Online tersebut telah membantah pernah membuat pernyataan tentang keterlibatan Said Aqil dalam penjualan tanah itu. Narasumber lainnya juga menyatakan bahwa apa yang disampaikannya mengenai Said Aqil tersebut berdasarkan testimoni yang tidak benar. Selain itu, oleh Dewan Pers, situs Bangsa Online dan Harian Bangsa yang memuat artikel tersebut pun telah dinyatakan melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik perihal pemberitaan yang tidak uji informasi, tidak berimbang, dan memuat opini menghakimi.

Ikuti kami di media sosial:

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus