Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 2024 segera berlalu. Di tahun politik itu banyak kejadian penting dan genting. Cawe-cawe penguasa dalam pemilihan umum telah menodai prinsip demokrasi. Kini Presiden Prabowo Subianto hendak mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD. Alasannya, biaya pilkada mahal. Tentu saja, karena para politikus memakai politik uang untuk mendapatkan suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demokrasi adalah sistem yang memungkinkan suara publik terakomodasi dalam urusan politik. Politik adalah sistem yang melahirkan kebijakan yang berdampak pada orang banyak. Maka, tak seyogianya, urusan mahapenting itu diserahkan hanya kepada segelintir orang. Meskipun tak sempurna, tapi demokrasi membuat kita punya suara menentukan hidup kita dalam sistem bernegara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sistem itu pula yang dinodai oleh kekuasaan. Para penguasa mengakali pemilu dengan merekayasa hukum. Aparat, yang seharusnya jadi wasit, bertindak tak imparsial. Mereka yang mengingatkan bahaya cawe-cawe itu malah mendapatkan represi. Para elite seakan menganggap orang banyak sekumpulan manusia bodoh yang tak tahu sedang dibohongi.
Politik yang kotor itu melahirkan kebijakan yang kotor. Atas nama pembangunan, kekuasaan merampas hak hidup tiap orang. Proyek-proyek pemerintah mengokupasi ruang-ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal. Atas nama program pemerintah pula, kebijakan negara berpihak kepada mereka yang punya uang. Keadaan ruwet ini makin sempurna karena hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.
Namun, Indonesia belum runtuh. Penyelewengan kekuasaan menyatukan masyarakat sipil pelbagai profesi untuk melawan. Dosen, selebritas, masyarakat adat, aktivis, hingga ibu rumah tangga muncul ke permukaan melawan kesewenang-wenangan kekuasaan. Kami memilih mereka menjadi Tokoh Tempo 2024. Tak seperti Tokoh Tempo setiap akhir tahun yang memilih individu, kali ini kami memilih kelompok atau gerakan.
Gerakan mereka menumbuhkan harapan bahwa Indonesia masih layak dipertahankan sebagai negeri yang bermartabat. Di tengah gempuran disinformasi dan kabar kabur di media sosial, mereka gigih menunjukkan bahwa keadaan Indonesia sudah genting. Mereka tak kenal lelah mengingatkan kita bahwa penguasa telah begitu jauh melenceng dari mandat kekuasaan dalam konstitusi.
Sejak awal, tim edisi khusus yang dipimpin Nurdin Saleh—wartawan olah raga satu-satunya dari Indonesia yang menjadi juri Ballon d’Or—meminta tim desain menyediakan ilustrasi dan foto untuk gambar sampul. Seperti edisi khusus yang lain, foto biasanya yang menjadi pilihan. Namun, para fotografer kesulitan mendapatkan foto beberapa tokoh karena lokasi yang jauh dan susah komunikasi.
Ilustrator Kendra Paramita pun mengajukan tiga ilustrasi plus foto wajah para tokoh. Ini menjadi jalan keluar karena fotografer kesulitan mengumpulkan para tokoh dalam satu lokasi di waktu yang sama. Dewan redaksi sepakat memakai sampul foto wajah tokoh. Bukan karena ide ilustrasi buruk, tapi karena foto menjadi lebih eye catching ketika disentuh ulang oleh desainer. Mereka memberi pilihan warna dasar hitam dan merah.
Kami akhirnya memilih warna dasar hitam. Selain kontras dengan perwajahan, hitam menunjukkan jalan berat yang harus dilalui mereka. Warna merah memang menunjukkan keberanian, tapi hitam lebih mencerminkan keadaan Indonesia yang runyam. Siluet wajah mereka seolah muncul untuk menunjukkan Republik ini masih memiliki harapan.
Selamat menempuh tahun baru. Meski tantangan tahun depan lebih berat seperti disebutkan dalam editorial, tapi tak ada alasan kita menyambut tahun baru dengan gundah gulana.