LIM Swie King dan Iie Sumirat yang diharapkan dapat menggantikan
Rudy Hartono dalam mempertahankan supremasi partai tunggal
putera All England, telah gagal. Begitu pula para pemain puteri
Indonesia. Wartawan TEMPO, Herry Komar, yang mengikuti turnamen
di Inggeris itu, menurunkan laporan berikut
Di kamar pakaian, Lim Swie King terduduk lepas. Kaos yang
dipakainya dilepas. Ia bertelanjang dada. Di ruangan itu ada
pelatih Tahir Jide dan team manager Sukada. Mereka mencoba
menghibur King yang masih tak habis fikir atas kekalahannya atas
Fleming Delfs: 15-17, 15-11, dan 15-8. Dalam emosi yang tak
lepas itu, tiba-tiba King meninju meja di depan kursinya keras
sekali. Sehingga Sukada dan Tahir Jide kaget dibuatnya. "Empat
kali All England masih belum jadi juara juga", keluh King. "Apa
salah saya?". King lalu mengingat kembali keadaan di pelatnas
sebelum berangkat. "Saya telah latihan sebaik mungkin. Tapi,
mengapa masih begini juga jadinya".
Tengah King merenungi kekalahannya itu, tiba-tiba Svend Pri
masuk kekamar pakaian. Setelah menyalami King, ia lalu
menghibur. "Saya 3 kali jadi finalis baru berhasil", katanya.
King baru 2 kali jadi finalis. Pri juga mengatakan Delfs memang
bermain lebih baik dari pada biasanya.
Tjuntjun yang sedang bersiap-siap untuk pemanasan badan pun
mencoba menghibur King. "Next time better, King", kataTjuntjun.
"Next time better melulu", jawab King. Johan Wahyudi menganalisa
kekalahan King, karena King terlalu sering ganti shuttlecock. Di
tempat dingin shuttlecock yang baru itu, kalau dismash jalannya
pelan. Suhu London, Sabtu 26 Maret itu di luar stadion sekitar 8
derajat Celcius. Di dalam agak hangat sediht, kira-kira 17
derajat Celcius. "Coba kamu tidak sering ganti shuttlecock,
mungkin keadaannya jadi lain", ujar Johan Wahyudi. "Bukankah
kamu bisa mengejar keunggulan Delfs?".
Ketegangan Mental
King memang bisa menahan laju permainan Delis. Tapi ia juga
sering tampak ragu-ragu dalam mengontrol bola. Tak kurang 6
angka hilang akibat kontrol bola yang tidak cemlat. King memang
tidak bermain seperti biasanya. Gerakannya sedikit lamban.
Kecepatan yang biasanya menjadi modal permainannya tampak
menurun. Ada kelainan fisik? "Saya sehat. Cuma kaki saya yang
agak berat", jawab King. Lambannya King juga disebabkan oleh
cuaca yang dingin. Menurut Tahir Jide perubahan cuaca ada
pengaruhnya terhadap pemain. Gerakannya jadi melamban.
Tapi yang tak kurang jadi persoalan adalah ketegangan mental
King menjelang pertandingan final tersebut. Ia sampai tak makan
hari itu. Kecuali makanan ringan. Setelah pertandingan terpaksa
ia bersama Tahir Jide mencari makanan ke luar. Tidakkah
kekalahan King atas Yao Tung di Hongkong masih menghantui
dirinya? "Pengaruh itu juga ada", ujar Sukada. Sementara King
sendiri mengelak untuk memberikan komentar. Ia memilih diam
setelah kegagalan tersebut.
Apa kata Delfs atas kekalahan lawannya itu? "King memang tidak
bermain seperti biasa. Ia agak menurun dalam kecepatan.
Sedangkan saya bermain lebih baik dari pada biasanya", kata
Delfs. "Kalau King dalam kondisi terbaiknya, bukan tak mungkun
saya kalah dari dia".
Yang agak mengherankan juga adalah sikap PBSI terhadap turnamen
All England ini. Sekalipun nama Indonesia melangit di mata
publik stadion Wernbley, tapi kemenangan di sini bukan merupakan
target utama mereka. Ini tercermin dari jawaban Tahir Jide.
"Target utama kita adalah Malmoe. Bukan All England", katanya.
Malmoe adalan tempat turnamen Bulutangkis Dunia, Mei depan.
Kalau memang demikiall, publik di Indonesia harap maklum saja
kalau King sampai kalah.
Adakah King akan jadi juara di Malmoe sebagai yang di'narapkan
PBSI? "Saya akan kalahkan juga dia di sana", gertak Delfs.
Sekalipun publik stadion Wembley bertanya-tanya tentang
ketidak-hadiran Rudy Hartono, namun dalam final penonton cukup
memadati stadion -- kira-kira 6.000 penonton. "Rudy memang
pemain pujaan publik. Tapi anda lihat sendiri sekalipun ia tidak
hadir, pengunjung masih ramai juga", kata Herbert Scheele.
"Soalnya penonton juga ingin melihat lahirnya juara baru".
Kendati demikian Sheele juga mengharapkan agar tahun depan
Rudy ikut lagi dalam All England. "Berapa umurnya? 28? Ia masih
muda untuk mengundurkan diri", tambah Scheele.
Adakah dengan munculnya Delfs telah lahir seorang bintang baru?
"Bintang itu tidak setiap tahun dilahirkan. Delfs maupun King
adalah 2 pemain yang hebat. Tapi ia belum mencapai kehebatan
seperti Rudy atau Wong Peng Soon", tambah Scheele.
Pengamat Permainan
Akan pemain puteri, kebolehan mereka di ronde ketiga saja.
Verawaty yang diandalkan bertekuk lutut di tangan Paula
Kilwington dalam pertarungan rubber-set: 0-11, 11-9, dan 11-6.
Sementara Tati Sumirah harus mengakui keunggulan S. Kondo 3-11,
4-11 dalam ronde yang sama. Yang agak lumayan cuma pasangan
ganda Theresia Widyastuti/Regina Masli. Kendati akhirnya juga
menyerah di tangan semifinalis Nyonya Lockwood/Nyonya Perry
dalam marathon set: 15-4, 9-15, dan 15-8.
Mengingat turnamen Uber Cup tinggal 8 bulan lagi, orang pun
bertanyatanya mengapa pemain-pemain puteri Indonesia tidak
diberi pengalaman sebanyak mungkin? Dan kenapa hanya terbatas
pada 4 pemain saja? Niat untuk menambah daftar pemain puteri itu
memang ada kelihatan di beberapa fikiran pengurus. Fihak yang
menentang juga ada. "Kita kalah dalam voting", kata Sukada yang
cenderung untuk menyerta pemain puteri yang lebih banyak. Ia
tidak mau menyebut alasan penolakan dari kelompok yang tidak
setuju. "Seharusnya pemain puteri memang patut ditambah jumlah",
tambah Sukada.
Hal yang lain - tapi tak kurang pentingnya -- dari penyebab
kekalahan pemain Indonesia adalah tidak adanya seorang pengamat
permainan lawan yang lihay. Seandainya, menjelang King turun
menghadapi Delfs diberi petunjuk oleh seorang analis seperti Lie
Po Djian (Pudjianto) mungkin taktik King dalam menjinakkan Delfs
akan lain. Tanpa mengecilkan arti Tahir Jide, kemampuan analisa
terhadap permainan lawan dan teknik menghadapinya, jelas
Pudjianto lebih berpengalaman. Mengapa orang seperti dia tidak
dikirim oleh PBSI? Baralgkali Sudirman lebih tahu jawabnya.
Belakangan ini memang PBSI mena warkan jabatan untuk team
manager pada Rudy maupun Eddy Yusuf. Keduanya menolak lantaran
punya kesibukan lain. Tapi mengapa tawaran itu tidak diberikan
pada Pudjianto atau Nyoo Kiem Bie maupun yang lain? Mengapa
masih harus pakai sistim 'jatah-jatahan' antara pengurus?
Padahal untuk menghadapi suatu turnamen yang penting seperti All
England, paling sedikit kehadiran Pudjianto atau Nyoo Kiem Bie
maupun Darmawansaputra lebih berarti.
Sebab kematangan pengalaman sebagai pemain bisa memberi andil
yang cukup bermanfaat bagi pemain muda seperti King atau Iie
Sumirat maupun pemain lainnya dalam menghadapi calon lawan dan
taktik apa yang harus dipergunakan.
Seperti Delfs sendiri, misalnya. Menjelang final ia hampir
selalu tampak dengan Fins Kobbero, bintang bulutangkis Denmark
di tahun 50-an dan juara ganda All England bersama Hammergaad
Hansen selama 7 kali. Delfs sendiri mengakui bahwa dia banyak
berdikusi bersama Kobbero maupun Svend Pri menjelang menghadapi
lawan. Dan hasilnya toh tidak mengecewakan. Ia berhasil
memanfaatkan setiap kelemahan King. Sehingga ia berhasil
memegang kendali permainan dengan baik dan mengalahkan King.
Mengapa PBSI tidak mencoba mencontoh mereka? Atau karena All
England memang bukan target utama?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini