Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Percikan-Percikan Persaingan

Insiden yang timbul dalam kampanye pemilu sekarang dinilai masih wajar. Tapi PDI protes ke Komdak Metro Jaya atas penganiayaan 8 keluarga di Tanjung Priok.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERSAING itu memang sehat. Dan di Jakarta persaingan antara kontestan pemilu itu masih dianggap "cukup baik" oleh Gubernur Ali Sadikin Akhir Maret kemarin, tak kurang dari 4 pejabat tinggi negeri ini menyampaikan penilaian mereka. Waka Bakin Ali Murtopo merasa gembira kampanye berjalan seperti sekarang. Ia menganggap wajar kalau timbul sedikit insiden. "Tapi saya yakin akan berakhir dengan baik", katanya. Secara pribadi Ali Murtopo menilai kampanye sekarang sanat bermutu. Sebelumnya adalah Kas Kopkamtib Sudomo yang beranggapan jalannya kampanye sekarang - selain tak bermutu - tidak juga mendidik rakyat. Tapi dia tokh beranggapan "ekses-ekses yang terjadi masih dalam batas-batas yang wajar". Sudomo juga menambahkan: "Ini yang dinamakan romantika pemilu". Dan tak kurang Menhankam/Pangab Jenderal Panggabean, yang secara umum berkesimpulan pelaksanaan kampanye berjalan baik, meski diakuinya "ada percikan-percikan di sana-sini". Apa saja percikan itu, tak diperinci. Tapi belum seminggu sebelumnya terdengar protes keras dari DPD PDI DKI. Tak kurang dari 40 warga PDI berjaket merah menyampaikan pernyataan politik ke Komdak Metro Jaya. Rupanya ada satu kasus di antara 20 kasus lainnya, yang dianggap paling berat. Awal Maret, 8 keluarga yang tinggal di gubuk-gubuk sekitar stasiun kereta-api Tanjungpriok masing-masing menerima beras 2Ih liter sebagai bantuan korban banjir Departemen Sosial, yang disampaik:m oleh Go]kar Jakarta Utara. Lalu nama nama mereka dicatat sebagai anggota Golkar. Kamis sore 24 Maret, nama-nama yang sudah tercatat itu rupanya mengikuti kampanye PDI di lapangan bola Jl. Baru, Cilincing. Maka mereka pun dihadang 7 pemuda yang menurut pengakuan DPC Golkar Jakarta Utara adalah anggotanya. Dan malamnya, di rumah masing-masing, mereka "digarap". Dua di antaranya dikabarkan "luka berat" dan dirawat di RS Koja. Ini keterangan wakil ketua DPD PDI DKI, AP Batubara. Pernyataan politik PDI DKI menyebut hal itu sebagai "penganiayaan berat" dan menuntut agar para pelakunya "segera diseret ke pengadilan pemilu". Dan bila hal itu terulang lagi, "PDI DKI akan menentukan sikap tegas dan tidak akan bertanggungjawab bila massa PDI Jakarta terpaksa melakukan perbuatan-perbuatan yang serupa". Dibantah Polisi Beberapa hari kemudian muncul bantahan Danwilko 72 Jakarta Utara Letkol Pol Kusparmono Irsan, "tak ada yang luka berat", dan "tak ada yang dirawat di RS Koja". Katanya, memang ada 3 korban yang dibawa ke rumahsakit tapi "untuk dimintakan visum et repertum"/ Tapi Kusparmono mengakui ada 4 orang pelaku yang ditahan sehubungan dengan peristiwa tersebut. Bagi J.L.A. Siahaan, sekretaris DPC PDI Jakarta Utara, bantahan Danwilko 72 itu menimbulkan kesan seolah polisi ikut membawa korban ke RS. Sebab bantahan itu dikaitkan dengan upaya mengusahakan visum (yang hanya bisa diminta oleh polisi). "Padahal polisi baru diberitahu setelah korban berada di RS dan baru beberapa jam kemudian menangkap para pelakunya", kata Siahaan kepada Slamet Djabarudi dari TEMPO Parulian Silalahi, wakil ketua DPD PDI Jakarta, menguatkan Siahaan. "Kalau yang berwajib bertindak lebih cepat banyak yang bisa diselamatkan", katanya. Contoh menurut dia: malam ketika terjadi penganiayaan itu, laporan sudah disampaikan ke Komwil sekitar jam 22.30, tapi belum ada tindakan. Baru setelah jam 01.00, ketika drs Sumarno ketua cabang PDI Jakarta Utara melapor pada Danwilko 72, barulah polisi bergerak . . . Kata Silalahi, sampai Sabtu 26 Maret "masih ada ancaman-ancaman dari sementara orang membawa golok". Dan kata Siahaan, "sampai 31 Maret para korban masih sulit menggerakkan leher akibat pukulan benda keras". Maka di akhir Maret, PDI Jakarta minta perhatian Ali Sadikin tentang lurah-lurah "yang tak dapat menempatkan diri sebagai lurah rakyat, hingga diragukan menjadi wasit yang obyektif". Sinyalemen itu memang terus-terang dan keras. Dan dalam masa kampanye, memang sering terdengar pula suara keras, hingga Pengawas Keamanan Negara Komdak Metro Jaya merasa perlu memanggil KH Hasyim Adnan dan Chalid Mawardi - 2 juru kampanye PPP - lantaran pidato mereka di Kramat Jati dan Taman Amir Hamzah. Berhasilkah polisi? "Saya tak akan merubah nada pidato saya", ucap Hasyim kepada DS Karma dari TEMPO. Hasyim adalah seorang di antara 3 favorit warga Ka'bah. Tapi sebelum pulang, Hasyim dan Chalid diharuskan mengisi dan menandatangani formulir "tak terlibat G30S/PKI". Berbeda dengan PPP, pihak PDI, tampaknya tak begitu banyak punya jurukampanye yang tangguh. Tokoh-tokoh bekas partai Islam banyak bicara untuk PPP, sementara tokoh-tokoh bekas partai yang berfusi dalam PDI, setidaknya eks PNI, tak terdengar suaranya. Suara Gutu Namun Guntur, putera sulung bekas Presiden Soekarno itu, oleh Kas Kopkamtib Sudomo diizinkan berkampanye. Dan minggu lalu seorang aktivis DPD PDI Jakarta di kantornya jalan Kemayoran Ketapang menyebut Guntur Ruslan Abdoelgani, bahkan Wilopo (kini ketua DPA) akan bicara di puncak acara kampanye PDI 21 April. Dan sebelumnya, 14 April, "juga Rahmawati akan tampil", katanya. Tapi tampaknya semuanya belum pasti. Guntur sendiri yang dulu kader GMNI -- tapi kini lebih suka cari duit mengaku sebagai "pengamat politik yang aktif dan baik". Rahmawati -- puteri Bung Karno yang pintar pidato - kepada TEMPO merasa belum pernah dihubungi salah satu kontestan untuk ikut kampanye. Guntur memang dihubungi juga oleh perorangan generasi muda Islam secara lisan. "Generasi muda Golkar pun secara lisan mengajak saya", tutur Guntur. Tapi apakah Guntur bersedia? "Pemilu kan masih cukup lama. Percayalah, paa saatnya saya pasti akan menentukan sikap", tambahnya. "Tunggu". Guntur tampaknya cenderung pada PDI, meski katanya ada anak-anak muda yang di satu daerah (dan satu ide) mengajak bersama-sama berkampanye untuk semua golongan, berganti-ganti. Yang pasti sudah 75% cabang-cabang PDI memintanya. Kepada Syarief Hidayat dari TEMPO, Guntur berkata: "Hubungan emosionil saya hanya dengan Marhaenisme yang identik dengan Pancasila. Seperti bapak dulu yang juga tak punya komitmen dengan PNI atau Partindo, tapi ismenya". Akan halnya PDI sekarang - yang merupakan wadah bekas PNI - Guntur sempat juga memberi kritik. "Saya sendiri tak tahu apa DPP PDI tak melihat kalau massanya begitu besar di daerah. Saya jadi heran, mengapa PDI seperti tak punya garis massa yang menarik", katanya. Lalu Guntur menengok pada Pemilu yang barusan berlangsung di Pakistan. "Mestinya PDI bisa mengambil contoh bagaimana partai rakyatnya Ali Bhutto di Pakistan bisa menang. Saya kira PDI perlu merubah sedikit motto partai. Misalnya: takwa kepada Allah itulah iman kita demokrasi itulah politik kita sosialisme itulah ekonomi kita semua kekuasaan untuk dan di tangan rakyat". Dengan motto seperti itu, Guntur beranggapan rakyat akan lebih mudah mengerti. Apakah di antara saudara-saudaranya sudah ada yang ikut kampanye? "Sampai sekarang baru Guruh yang sudah kampanye", katanya. Untuk partai mana? "Untuk partai ke empat yaitu 'Guruh-Gypsi' - itu kaset hasil eksperimen musiknya", kelakar Guntur. Tidak Assoy di Suksmadi Guruh, adik kandung Guntur yang bungsu itu, memang lebih suka bersikap 'assooy' dalam menonton kampanye pemilu sekarang. Tapi suara 'assooy' yang lain bergema di lapangan Sukamandi, di Subang 27 Maret lalu. Yang berteriak begitu adalah ustad Fuad Hasyim dari Cirebon. Dia meminta massa PPP yang memenuhi lapangan Sukamandi yang berlumpur akibat hujan, agar tetap tenang hari itu. "Santai, santai, assooy saja", teriaknya. Hari itu insiden antara dua kontestan tak terelakkan lagi. Golkar yang berkampanye cuma 1 km dari lapangan Sukamandi - yakni di Lembaga Penelitian Perum Sangkiyang Sri -- tak kurang mengerahkan 50 ribu massa. Dan massa sebanyak itu disertai sekitar 200 kendaraan yang memadati jalan negara antara kedua tempat itu. Maka praktis, sekitar 10 ribu massa PPP merasa terkurung. Seperti biasa, macam-macam yel saling bersahutan. Lalu ada beberapa pemuda Golkar berlompatan masuk lapangan Sukamandi. Terdengar teriakan, "kalau ingin melarat pilih ka'bah". Massa PPP yang separoh terdiri dari wanita dan gadis, rupanya mematuhi perintah ustad Fuad itu. Sekalipun sang ustad, dalam bahasa Sunda ada juga berkata: "Buat apa membangun mesjid kalau yang membangun tak pernah ke mesjid?" Segera dari kejauhan terdengar teriakan. "PPP penipu, ngecap". PPP Jawa Barat kemudian memprotes terjadinya penganiayaan atas pendukung mereka oleh Angkatan Muda Siliwangi. Tapi tak jauh dari sana, di Karawang ada yang kena bacok. Sehari sebelum Menteri PUTL Sutami 31 Maret lalu menyerahkan panji-panji Golkar di Purwakarta untuk 4 kabupaten (Bekasi, Karawang, Purwakarta dan Subang), kota Karawang sendiri sudah penuh berhias. Dan tepat pada 31 Maret itu, para pelajar pulang pagi karena para guru ikut pawai ke Purwakarta. Kantor-kantor pemerintah pun turut diliburkan. Berbaju batik dengan gambar Golkar, para pegawainya berduyun-duyun menuju Purwakarta. Tidak seperti biasanya, sejak sebelum subuh ratusan kendaraan penuh massa (di antaranya berseragam hitam-hitam) memenuhi jalan-jalan Karawang menuju Purwakarta, di antaranya dari Bekasi. Hari itu hari bebas aturan lalulintas: tak sedikit motor tanpa nomor polisi. "Ini plat merah", kata seorang pemuda menjelaskan mengapa nomornya dicabut. Sepanjang jalan Karawang-Purwakarta lebih meriah lagi. Di setiap beberapa ratus meter, berdiri hansip menyambut Sutami. Rakyat juga tak tinggal diam. Mereka menyediakan minuman bagi peserta pawai depan rumahnya. Sambil menunggu, ditampilkan pesinden Sunda di panggung-panggung hiburan sepanjang jalan. Dan jalan sepanjang 40 km itu penuh dengan spanduk-spanduk "selamat datang di daerah Golkar", sementara 2 tanda gambar parpol nyaris tak tampak. Kontes kekuatan seperti itu tentu saja bikin risau PDI dan PPP. Apalagi setelah peristiwa 2 hari sebelumnya, 29 Maret lalu di kecamatan Jatisari, Karawang: kampanye PPP yang sudah disiapkan sehari sebelumnya terpaksa batal. Juru kampanye KH Hasyim Adnan yang akan bicara di kampung Sukamaju terpaksa stop sampai Karawang saja. Sebelum masuk daerah kampanye ada penghadangan. Tak sedikit massa PPP hiruk-pikuk terkepung. Yang terlanjur masuk tak berani keluar melihat begitu banyak 'pasukan' Angkatan Muda Siliwangi bersenjata golok. Naas bagi PPP, beberapa orang luka ringan. Bahkan Laspin yang kini terbaring di RS Karawang, terluka berat kena bacok kepalanya. Tapi juga ada seorang aktivis Golkar terbaring di RS itu kena pecahan kaca. Hari itu rupanya ia getol memukuli kaca-kaca kolt PPP. Tapi ia beruntung, selain lukanya ringan juga mendapat perawatan lebih baik. Bahkan mendapat kunjungan beberapa pejabat. Cuma menurut beberapa orang, di bahu kanannya ada tatto paluarit. Toh DPC PPP tak bisa bilang apa-apa. "Tanya saja sama rakyat di Jatisari, Cicinde, Krasak, Gempol, Cilimayu, Wadas dan Tegalsari", ujar seorang tokohnya gusar kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO yang berkunjung ke sana. Memang ada beberapa rakyat yang berhasil ditemui, yang mengungsi di kantor DPC PPP Karawang, tapi bungkam pula. Mereka sehat-sehat, meski ada 27 orang PPP yang menjadi korban, 2 di antaranya luka berat. "Kalau ini disiarkan, kami khawatir malah akan berakibat lebih menghancurkan kami", keluh sumber TEMPO. Lalu kepada siapa mereka mengadu? Untuk dibawa ke rumahsakit saja mereka tak berani. "Habis, depan rumahsakit terpampang papannama Korpri yang sama dengan Golkar", kata sumber yang lain. Menurut Basuni dari PDI, "yang menghadapi parpol sebenarnya bukan Golkar tapi aparat pemerintah". Lalu bagaimana? "Ya kami terpaksa kampanye diam-diam. Dari pada rakyat jadi korban. Di Jawa Timur, "kediam-diaman" itu tak dikenal. Di sana lebih ramai, bahkan juga setelah terjadinya "kasus Situbondo". PPP kabupaten Jember misalnya sempat mencatat tak kurang dari 80 kasus insiden yang terjadi di beberapa desa antara tanggal 23 Pebruari s/d 15 Maret 1977. Yang menarik misalnya terjadinya pengungsian di kantor PPP. Dan dari sejumlah 161 rencana kampanye, 40 di antaranya batal. Sebabnya antara lain karena sulitnya perizinan. Jember memang dianggap daerah paling rawan, setidaknya bagi PPP. Kecamatan-kecamatan Sumberjambe, Tempurejo, Mangli dan Ambulu, nyaris diproklamirkan sebagai "bebas parpol". Di desa Jombang kecamatan Kencong, parpol memang masih bisa bergerak. Tapi terpaksa harus menghadapi semacam tandingan - tentu saja. Akhir Maret, sejak siang massa Ka'bah sudah berdatangan di rumah komisaris PPP di pedukuhan Kambangan. Tapi di jalan menuju tempat kampanye terhalang reyog yang rupanya untuk menyambut kampanye Golkar malam harinya, tepat waktunya dengan kampanye PPP. Tapi alhamdulillah, semuanya berlangsung tertib. Tapi sorenya, sementara kampanye sedang berlangsung, terdengar deru konvoi puluhan sepedamotor. Pawai Golkar lewat kemudian belok ke arah kampanye PPP. Kacau. Saling teriak, nyari bakuhantam. Untung pimpinan PPP bersama seregu pasukan Batalyon 509 turun tangan. Tak bisa dielakkan, massa PPP mengerubungi perempatan di mana pawai Golkar dipusatkan. Beberapa pemuda Ka'bah berteriak-teriak "menunggu komando". Tapi Suwardi, pimpinan cabang PPP berkata: "Kalau Tuhan tidak melindungi kami dan ketika itu saya teriakkan takbir, tentu terjadi pertumpahan darah", katanya seusai kampanye. Untung, kedua pihak berhasil mendorong massa tidak berjotos. Tapi daerah "paling tenang" tentulah 3 dari 23 kabupaten di Sulawesi Selatan: Mamuju, Enrekang dan Wajo. Semuanya berbupati perwira menengah, dan ketiganya dinyatakan sebagai "daerah bebas parpol". Di Jakarta, Gubernur Ahmad Lamo memang pernah membantah "status" ketiga daerah tersebut. Tapi di sana daftar calon buat parpol kosong. Kepada Sinansari Ecip dari TEMPO beberapa tokoh parpol menyatakan siap mendirikan parpol asal ada izin Laksus. Pada Pemilu 1971, suara parpol di Mamuju memang cuma bisa dihitung dengan jari. Enrekang, tempat kelahiran Ahmad Lamo, adalah bekas kubu terakhir Kahar Muzakkar. Dan meski di Wajo ada pesantren Islam yang besar, tapi parpol sudah keburu dianggap sebagai hantu . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus