Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

PSSI PPD di luar dugaan harus mengakui pemain Hongkong. Melawan Malaysia, PSSI hanya mampu bermain seri, karena itu gelar juara semakin jauh.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA Indonesia begitu yakin akan mengalahkan Hongkong?" Begitu tanya pelatih team Hongkong, Frans van Balkom menjelang pertandingan Indonesia - Hongkong, Senin 28 Pebruari lalu. "Segala sesuatu bisa saja terjadi dalam suatu turnamen", tambahnya. Keyakinan Indonesia untuk memenangkan pertandingannya yang pertama memang tak terkekang di hati setiap pemain dan para suporternya. Malah itu muncrat keluar bersama 'kelakar' yang dilontarkan Ketua Umum PSSI, Bardosono. Ceritanya begini: ketika para team manager dan pelatih berkumpul dalam suatu pertemuan perkenalan di Hotel Merlin, Bardosono berpapasan dengan Balkom. "Apa kabar", sapa Bardosono kepada pelatih dari Belanda yang pernah mengintai permainan Indonesia di Senayan. Belum sempat keduanya melanjutkan pembicaraan, Bardosono langsung seraya menjabat tangan Balkom berkata: "Hongkong akan menduduki tempat nomor satu . . . dari bawah". Buat Balkom kelakar tersebut tak kena. Ia endapkan ucapan Ketua Umum PSSI itu sebagai 'rasa takabur' ver confident). Ia lalu membuat perhitungan: adakah Suhatman dan Hadi Ismanto akan diturunkan dalam pertandingan Hongkong - Indonesia? Kedua pemain tersebut betul-betul asuhan Coerver. Balkom, 38 tahun, memang memiliki respek yang besar terhadap bekas pelatih PSSI Coerver. "Saya ini tidak ada apa-apanya dibanding Coerver", katanya. Rupanya dia sudah konsultasi dengan Coerver tentang kekuatan PSSI. Itulah sebabnya setelah dia menyaksikan permainan kesebelasan Indonesia di Senayan, dia menarik kesimpulan: sulit untuk mengalahkan kesebelasan Indonesia -- paling tidak di kandangnya sendiri dan di bawah pimpinan wasit Indonesia. Perang Kilat Dalam setiap wawancara dengan pers, Balkom pun bersikap rendah hati. Dia sadar Hongkong berada di pihak yang lemah dan kalah pengalaman. Satu-satunya kelebihan Hongkong adalah usia. "Usia pemain-pemain anda sekitar 28 tahun, kami rata-rata 20 tahun", kata Balkom. Bertolak dari usia ini dia merencanakan satu strategi perang kilat terhadap Indonesia. Semuanya harus menekan ke depan. Risiko kemasukan diimbangi dengan menciptakan peluang mencetak gol sebanyak-banyaknya. Targetnya seri. Itulah sebabnya di menit-menit pertama beberapa kali gawang Ronny Pasla nyaris kebobolan. "Saya tidak berani mengatakan bahwa kami bisa memenangkan pertandingan lawan Indonesia. Tapisaya hanya mengatakan bahwa Indonesia tidak mudah mengalahkan kami, karena kami akan berjuang mati-matian merebut kesempatan dalam pertandingan pertama ini", kata Balkom. Hongkong memang telah melakukan itu. Skor akhir menunjukkan angka 4 buat mereka. Sedang Indonesia hanya bisa memasukkan 1 gol saja. Mengapa bisa begitu? Jawabnya mudah: Indonesia tidak dalam bentuk yang wajar. Kapten Iswadi yang ditarik ke tengah tak berkutik di daerah tengah. Hubungan antara trio lapangan tengah Iswadi-Junaedi-Nobon baik secara horizontal maupun vertikal tidak menopang ke belakang maupun ke depan. Risdianto memang berusaha keras. Tapi selalu berakhir seperti layang-layang putus. Kurang sokongan. Waskito bagaikan dikontrak hanya untuk membuat satu gol. Sementara Andilala seperti anak sekolah yang menunggu 'jemputan' bis kota. Perbuatan Ronny Di belakang, Suaeb sering terkecoh oleh gangguan poros halang lawannya, Chung Chor Wai, yang turun-naik tak putus-putusnya. Back kiri Auri nampak masih kaku dan belum pulih ke bentuknya semula. Oyong bermain adem-adem saja. Ia rupanya mengekang dirinya supaya tidak menimbulkan hal-hal yang bisa dihukum wasit Jaffar Namdar dari Iran. Simson Rumahpasal, tak salah lagi merupakan bintang lapangan. Meskipun dia harus mengorbankan tulang kering kaki kanannya yang tersobek oleh injakan Lau Weng Yip, Simson seterusnya oleh dokter diistirahatkan. Sungguh tragis, pemain terbaik Indonesia hanya sempat bermain 75 menit. Kalau orang mau mencari-cari kesalahan pada pihak Indonesia, tidak terlampau sulit. Mungkin patut disesalkan perbuatan Ronny Pasla. Dalam satu tubrukan di muka gawang, sebenarnya dia dapat menguasai bola tanpa membuat reaksi yang oleh wasit terlihat sebagai 'membahayakan' lawan - dalam hal ini Lau Weng Yip. Wasit di Indonesia mungkin cukup toleran. Tapi tidak dengan para wasit yang bertugas di Singapura ini. Mereka tak pusing untuk segera mengeluarkan kartu kuning atau menunjukkan titik putih. Dan penalti yang menyamakan kedudukan sekaligus merupakan titik-balik situasi pertandingan. Beli Nafas Pemain-pemain Hongkong ibarat pesawat pemburu yang cepat menukik dan menghunjamkan peluru ke sasaran yang empuk. "Semula saya menginstruksikan untuk memperlambat tempo pertandingan", kata Balkom setelah skor 1 - 1. "Karena Indonesia pasti akan bangkit dan melakukan pembalasan". Tapi apa yang terjadi sungguh di luar perkiraan siapapun juga. Tempo permainan Indonesia menurun Kehabisan nafas nampaknya. Chung Chor Wai, poros halang yang berkaos nomor 6 mengingatkan orang pada L.H. Tanoto pada tahun 50-an: waktu itu sedang populernya poros halang gaya ortodoks. Chor Wai mengandalkan nafas dan tenaganya beroperasi maju-mundur, ke kiri ke kanan dengan gerak-gerak yang merobek pertahanan maupun penyerangan Indonesia. Di babak kedua ini para suporter Indonesia seperti bermimpi. "Kok bisa kita kehabisan nafas", kata mereka. "Sayang tidak bisa beli nafas di Metro", kata yang lain sinis. Padahal koran Sin Chew Yit Po dalam suatu ulasan menjelang pertandingan ini berkonklusi bahwa Indonesia akan menghabiskan permainan Hongkong dengan mengadu stamina. Hongkong mengetengahkan produk baru sepakbola Asia Dari bersifat salon, metodis dan enak dipandang, menjadi sepakbola keras (power game). Perebutan bola di udara dikuasai mereka. Benturan badan mereka lebih kokoh. Inteligensi sepakbola mereka memang tak ada yang sepintar Iswadi dan Risdianto, misalnya. Tapi van Balkom berhasil mengotaki mereka. Dia meniup satu kesebelasan yang terbiasa dengan sepakbola lunak menjadi sepakbola-keras. Resepnya tampak tak berbeda dengan Coerver. Insentif yang sebelumnya tidak pernah diberikan kini menjadi suatu imbalan jasa. Kalau mereka berhasil menjadi juara turnamen ini, setiap pemain akan mendapat bonus 2.500 dolar Singapura (1 dolar Singapura = Rp 172,50). Setiap kemenangan 500 dolar dan seri 250 dolar. Kalau dibanding pemain PSSI memang tak seberapa. Tapi bagi mereka, Balkom cukup berhasil merubah jiwa sepakbola Hongkong. Mulai Hidup Menghadapi Malaysia, Kamis 3 Maret, pelatih Indonesia Tony Pogacnik menentukan strateginya: matikan kedua ujung-tombak Malaysia - James Wong dan Isa Bakar. Suhatman yang nyaris terlupakan dalam team Indonesia ditampilkan sebagai penjinak Wong. Nobon diberi tugas membayangi Isa Bakar. Pendeknya kedua bintang Malaysia ini harus pudar. Mereka harus melakukan tackling pertama, tanpa memberi kesempatan lawan membalikkan badan. Di barisan tengah, Iswadi dipindah ke sayap kanan menggantikan Waskito. Sementara Ronny Patti mengambil-alih tempat Iswadi. Mungkin berdasarkan pertimbangan Iswadi pasti dapat menguasai back-kiri, Yahya Jusoh, yang memang tak seberapa dalam penampilannya melawan Thailand. Di barisan depan, kiri luar Andilala diganti Hadi Islnanto, juga cadangan yang hampir dipeti-eskan. Kesebelasan ini ternyata hidup. Suhatman berhasil mematikan 99% permainan Wong. Sedang Nobon tak henti-hentinya merongrong Isa. Tanpa kedua ujung-tombak ini Malaysia praktis lumpuh. Setiap kebocoran dapat disumbat dengan baik oleh Oyong Lisa. Sementara Johannes Auri memperoleh kesempatan untuk turut melakukan serangan dari sayap dan nyaris sekali membuat gol. Tapi di barisan depan, di luar dugaan, Kapten kesebelasan Iswadi kurang menunjukkan bentuknya. Dia menyianyiakan satu gol. Kebiasaannya bermain sebagai penyerang-penghubung belum dapat ditanggalkan. Dia miring ke tengah dan berusaha mengambil inisiatif dari Ronny maupun Junaedi. Dribblingnya banyak yang kandas dan distribusinya kurang cermat. Kalau Tony dan Aliandu berhasil menterapkan pertahanan yang ampuh maka tidak demikian dengan barisan depan. Risdianto dijaga ketat oleh Chin Aun. Gerak-geriknya kurang ditopang oleh Iswadi. Sementara Hadi Ismanto yang tidak mengecewakan - dibanding Andilala -- nyaris membuat gol dengan sundulan kepala. Dalam pertandingan lawan Malaysia ini anak-anak PSSI berhasil menunjukkan semangat bertanding yang tinggi. 5 ribu penonton berpihak pada Indonesia. Tapi skor 0 - 0 nampaknya sudah merupakan lampu kuning bagi PSSI untuk tersisihkan. Umumnya penonton menganggap Indonesia kurang mujur dalam pertandingan ini. Kalau saja, kata mereka, Indonesia berhadapan dengan Hongkong bisa bermain seperti ketika mereka melawan Malaysia, maka keadaannya sekarang tentu lain. Para ofisial Indonesia tampak murung. Mereka tidak mau banyak bicara sebelum merasa yakin akan memenangkan turnamen ini. Sebab-musabab kekalahan lawan Hongkong dan seri lawan Malaysia masih dirasakan satu pukulan yang sulit di jelaskan. Sehingga ada yang menengokpada hal-hal yang "klenik". Di gawang Indonesia misalnya diketemukan sebuah patung Budha tergeletak. Patung ini kemudian diambil, untuk "dihancurkan kekuatan dalamnya", dengan persetujuan Bardosono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus