Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dijotos oleh kesahajaan

Film indonesia tdk tahan kesahajaan. ada film tetang orang kaya mendadak jadi miskin kemudian kaya lagi hanya 1 film mustika ibu penuh dengan kesahajaan. yang mematuhinya tanpa nyeleweng, tanpa ada mercedes.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dr. Sudjoko, kolumnis TEMPO, adalah salah satu dari para juri FFI 1977 yang berakhir pekan lalu. Kali ini kami memintanya untuk menuliskan catatannya tentang film-film dalam festival itu - dan ia meluluskan permintaan itu. Silakan: KAWAN saya manggut-manggut puas atas Brief Encounter antara Sophia Loren dan Richard Burton di bioskop anda. Saya ahem-ehem tak acuh saja. Padahal benar film itu pantas memuaskan. Cuma celakanya saya dulu pernah nonton Brief Encounter antara Trevor Howard dan Celia Johnson. Pertemuan dulu itu diatur oleh David Lean. Kalau anda masih ingat bagaimana dia mengatur Ryan's Daughter barang enam tahun yang lalu ini, anda tahu betapa cakapnya dia membangun gelora emosi dalam pertemuan sepi dan rahasia. Memang, kalau perkara menggarap orang yang kesendirian orangnya ialah Lean. Suasana Brief Encounter-nya juga sepi terselubung, yang sesekali disusupi oleh percakapan hemat dan halus, atau dipecah oleh irama gemeletak kereta api dan sabetan jendela-jendelanya. Filmnya 'hitam-putih' dan bersahaja. Maka dibanding dengan ini tafsiran 'berwarna' yang sekarang beredar di negeri kita cukuplah ramai, gaduh dan penuh embel-embel. Para pelakunya disuruh melancong ke macam-macam tempat indah dan mereka punya hiburan dan hobi. Manusia terus berseliweran. Dan pening kepala saya melihat hingar-bingar di rumah Sophia. David Lean pantang semua itu. Pembatasan, demi kesempurnaan dan makna, itulah kekuatarmya. SRI KUNING Kalau saya tidak nonton film Ki Hadjar Dewantara kemarin ini maka saya tidak akan percaya bahwa kita juga bisa bersahaja, dan kuat. Maklumlah, film kita ini sudah semakin menggelembung dan membusung saja dengan kemewahan yang sukar dicari taranya di negeri kaya raya sekalipun. Mana yang lebih bersahaja dari seorang pemimpin besar yang bertutur kepada kita dalam pakaian piyama? Lantas Ki dan Nyi Hadjar itu jalan kaki saja! Ini kan lain dengan cewek sekolah menengah yang tinggal di dusun yang tempo-tempo nyopiri Mercedes-Benz 220 kuning mengkilap di dusun yang tak berjalan aspal, sehingga Sri Kuning itu mesti naik ke lapang rumputlah. Beginilah kalau cewek mau bertandang ke cowol sekampungnya. Di Amerika saja tak ada beginian, misalnya kalau saban minggu kita amati Tammy di TV. Tapi ini ada dalam satu film Indonesia yang terbaru. Baiklah. Penonton Ki Hadjar lalu diantar ke satu sekolah Taman Siswa di mana murid-muridnya sedang tekun belajar di .... kelas kolong langit. Anehnya adegan ini sama sekali titak bermaksud mengeritik Menteri Pendidikan atau menangisi nasib sekolah kita. Ya, begitulah jaman dulu yang belum terlalu dahulu itu. Kalau anak SMA jaman sekarang, biar orangtuanya miskin dan penduduk kampung, dia sendiri di"indekos"-kan di rumah kaya sehingga kamarnya pun tentu lobih mewah dari kamar mahaguru saya dulu di New York. Pokoknya, begitulah yang empunya cerita dalam satu film Indoneda paling baru. Sudahlah. Kita terus dengan Ki Hadjar. Yang memberi tulang punggung kekuatan dalam film kita ini ialah dongeng Ki Hadjar sendiri. Dan cara mendongengnya? Beliau bicara mantap, dengan suara jeenih dan tampan dan jantan, dan dengan semangat besi tempaan. Padahal orangnya sudah kakek! Bayangkan! Film buatan PFN ini, kalau menurut julukan orang sana, bisalah disebut "film knock out", a knock out of a film. Saya dihantamnya jadi klenger beku kelu haru sendu. Seluruh fiil-perangai Indonesia dari dulu hingga sekarang bak tumplek di situ. LENNY KAYA MENDADAK Kalau perkara kesahajaan ini, hanya satu film-cerita baru yang mematuhinya tanpa nyeleweng. Judulnya Mustika Ibu dan film ini bagus juga. Soal nyeleweng ini perlu disebut oleh karena kita ini selalu nyeleweng. Film kita tak tahan kesahajaan. Tak tahan dua jam. Jadi kalau mula-mula anda lihat anak kampung yang miskin, maka tak pelak sebentar lagi dia akan jadi kaya raya, misalnya jadi penyanyi hebat di klab malam hebat dalam pertunjukan hebat dan tentu saja nyanyi-dansa dalam logat Amerika. Jangan tanya bagaimana caranya orang bisa jadi kaya dan hebat dan masyhur ini, kecuali kalau anda tak percaya kepada keajaiban sim-sulap-salabim. Pernah juga dalam satu film Lenny Marlina yang kaya mendadak jadi miskin sampai jaga warung di kampung segala, lalu mendadak jadi kaya lagi di sebuah butik buat kelas yang paling kaya. Sudah itu saya tidak tahu apa jadinya karena saya langsung meninggalkan bioskop. Jadi film ini masuk jenis kombinasi "knock out" dan "get out". Maaf, saya tidak punya apa-apa yang terlalu jelek terhadap Lenny, karena seperti yang saya tandaskan dalam satu sidang Dewan Juri FFI-77, Lenny sampai sekarang tetap aktris jempolan. Nah, dalam Mustika Ibu itu anehnya segala sim-sulap-salabim tidak ada. Sebabnya barangkali karena ceritanya diangkat dari kisah nyata. Inilah kisah seseorang yang mudanya miskin dan kelak jadi kaya dan berkuasa. Orangnya masih ada di antara kita. Jadi kita lihat dia pada masa kecilnya di negeri Cina. Nasib kemudian melemparkan si Am Cai ini ke Indonesia. Ekonomi Am Cai yang sementara itu jadi pemuda Deddy Sutomo tetap tidak berubah, cuma dia sudah bebas dari siksaan bapaknya. Kalau kita sudah lama melampaui pertengahan film (ini menurut perasaan saya), mulailah ada titik terang, dan titik terang yang masuk akal. Am Cai mulai jadi usahawan. Kantornya sederhana, sempit, sesak, dan rasanya sudah amat sering kita melihat kantor seperti itu di mana saja di negeri kita ini. Am Cai kemudian berhasillah. Rumahnya jadi bagusan, dari batu, begitulah. Anehnya, rumah ini pun tak beda dengan sangat banyak rumah di lingkungan kita sendiri, dan itu mungkin rumah anda sendiri atau rumah tetangga anda. Sudah. Stop. Film habis. Lho??? Saya terpukul knock out lagi. Mana istananya? Mana mebel-mebel ukir yang bercat mas dan perak? Mana lampu-lampu hias raksasa? Mana kantor dengan meja ukir berat dan gadang dan papan DIRUT di atasnya, seperti yang ada ditaruh di atas meja Bambang Irawan itu? (ini dalam film Hanya Untukmu). Dan maaf saja. Mana Mercedes-nya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus