Dr. Sudjoko, kolumnis TEMPO, adalah salah satu dari para juri
FFI 1977 yang berakhir pekan lalu. Kali ini kami memintanya
untuk menuliskan catatannya tentang film-film dalam festival itu
- dan ia meluluskan permintaan itu. Silakan:
KAWAN saya manggut-manggut puas atas Brief Encounter antara
Sophia Loren dan Richard Burton di bioskop anda. Saya ahem-ehem
tak acuh saja. Padahal benar film itu pantas memuaskan. Cuma
celakanya saya dulu pernah nonton Brief Encounter antara Trevor
Howard dan Celia Johnson.
Pertemuan dulu itu diatur oleh David Lean. Kalau anda masih
ingat bagaimana dia mengatur Ryan's Daughter barang enam tahun
yang lalu ini, anda tahu betapa cakapnya dia membangun gelora
emosi dalam pertemuan sepi dan rahasia. Memang, kalau perkara
menggarap orang yang kesendirian orangnya ialah Lean. Suasana
Brief Encounter-nya juga sepi terselubung, yang sesekali
disusupi oleh percakapan hemat dan halus, atau dipecah oleh
irama gemeletak kereta api dan sabetan jendela-jendelanya.
Filmnya 'hitam-putih' dan bersahaja.
Maka dibanding dengan ini tafsiran 'berwarna' yang sekarang
beredar di negeri kita cukuplah ramai, gaduh dan penuh
embel-embel. Para pelakunya disuruh melancong ke macam-macam
tempat indah dan mereka punya hiburan dan hobi. Manusia terus
berseliweran. Dan pening kepala saya melihat hingar-bingar di
rumah Sophia. David Lean pantang semua itu. Pembatasan, demi
kesempurnaan dan makna, itulah kekuatarmya.
SRI KUNING
Kalau saya tidak nonton film Ki Hadjar Dewantara kemarin ini
maka saya tidak akan percaya bahwa kita juga bisa bersahaja, dan
kuat. Maklumlah, film kita ini sudah semakin menggelembung dan
membusung saja dengan kemewahan yang sukar dicari taranya di
negeri kaya raya sekalipun. Mana yang lebih bersahaja dari
seorang pemimpin besar yang bertutur kepada kita dalam pakaian
piyama? Lantas Ki dan Nyi Hadjar itu jalan kaki saja! Ini kan
lain dengan cewek sekolah menengah yang tinggal di dusun yang
tempo-tempo nyopiri Mercedes-Benz 220 kuning mengkilap di dusun
yang tak berjalan aspal, sehingga Sri Kuning itu mesti naik ke
lapang rumputlah. Beginilah kalau cewek mau bertandang ke cowol
sekampungnya. Di Amerika saja tak ada beginian, misalnya kalau
saban minggu kita amati Tammy di TV. Tapi ini ada dalam satu
film Indonesia yang terbaru.
Baiklah. Penonton Ki Hadjar lalu diantar ke satu sekolah Taman
Siswa di mana murid-muridnya sedang tekun belajar di .... kelas
kolong langit. Anehnya adegan ini sama sekali titak bermaksud
mengeritik Menteri Pendidikan atau menangisi nasib sekolah kita.
Ya, begitulah jaman dulu yang belum terlalu dahulu itu. Kalau
anak SMA jaman sekarang, biar orangtuanya miskin dan penduduk
kampung, dia sendiri di"indekos"-kan di rumah kaya sehingga
kamarnya pun tentu lobih mewah dari kamar mahaguru saya dulu di
New York. Pokoknya, begitulah yang empunya cerita dalam satu
film Indoneda paling baru.
Sudahlah. Kita terus dengan Ki Hadjar. Yang memberi tulang
punggung kekuatan dalam film kita ini ialah dongeng Ki Hadjar
sendiri. Dan cara mendongengnya? Beliau bicara mantap, dengan
suara jeenih dan tampan dan jantan, dan dengan semangat besi
tempaan. Padahal orangnya sudah kakek! Bayangkan! Film buatan
PFN ini, kalau menurut julukan orang sana, bisalah disebut "film
knock out", a knock out of a film. Saya dihantamnya jadi klenger
beku kelu haru sendu. Seluruh fiil-perangai Indonesia dari dulu
hingga sekarang bak tumplek di situ.
LENNY KAYA MENDADAK
Kalau perkara kesahajaan ini, hanya satu film-cerita baru yang
mematuhinya tanpa nyeleweng. Judulnya Mustika Ibu dan film ini
bagus juga. Soal nyeleweng ini perlu disebut oleh karena kita
ini selalu nyeleweng. Film kita tak tahan kesahajaan. Tak tahan
dua jam. Jadi kalau mula-mula anda lihat anak kampung yang
miskin, maka tak pelak sebentar lagi dia akan jadi kaya raya,
misalnya jadi penyanyi hebat di klab malam hebat dalam
pertunjukan hebat dan tentu saja nyanyi-dansa dalam logat
Amerika. Jangan tanya bagaimana caranya orang bisa jadi kaya dan
hebat dan masyhur ini, kecuali kalau anda tak percaya kepada
keajaiban sim-sulap-salabim. Pernah juga dalam satu film Lenny
Marlina yang kaya mendadak jadi miskin sampai jaga warung di
kampung segala, lalu mendadak jadi kaya lagi di sebuah butik
buat kelas yang paling kaya. Sudah itu saya tidak tahu apa
jadinya karena saya langsung meninggalkan bioskop. Jadi film ini
masuk jenis kombinasi "knock out" dan "get out". Maaf, saya
tidak punya apa-apa yang terlalu jelek terhadap Lenny, karena
seperti yang saya tandaskan dalam satu sidang Dewan Juri FFI-77,
Lenny sampai sekarang tetap aktris jempolan.
Nah, dalam Mustika Ibu itu anehnya segala sim-sulap-salabim
tidak ada. Sebabnya barangkali karena ceritanya diangkat dari
kisah nyata. Inilah kisah seseorang yang mudanya miskin dan
kelak jadi kaya dan berkuasa. Orangnya masih ada di antara kita.
Jadi kita lihat dia pada masa kecilnya di negeri Cina. Nasib
kemudian melemparkan si Am Cai ini ke Indonesia. Ekonomi Am Cai
yang sementara itu jadi pemuda Deddy Sutomo tetap tidak berubah,
cuma dia sudah bebas dari siksaan bapaknya.
Kalau kita sudah lama melampaui pertengahan film (ini menurut
perasaan saya), mulailah ada titik terang, dan titik terang yang
masuk akal. Am Cai mulai jadi usahawan. Kantornya sederhana,
sempit, sesak, dan rasanya sudah amat sering kita melihat kantor
seperti itu di mana saja di negeri kita ini. Am Cai kemudian
berhasillah. Rumahnya jadi bagusan, dari batu, begitulah.
Anehnya, rumah ini pun tak beda dengan sangat banyak rumah di
lingkungan kita sendiri, dan itu mungkin rumah anda sendiri atau
rumah tetangga anda. Sudah. Stop. Film habis. Lho???
Saya terpukul knock out lagi. Mana istananya? Mana mebel-mebel
ukir yang bercat mas dan perak? Mana lampu-lampu hias raksasa?
Mana kantor dengan meja ukir berat dan gadang dan papan DIRUT di
atasnya, seperti yang ada ditaruh di atas meja Bambang Irawan
itu? (ini dalam film Hanya Untukmu). Dan maaf saja. Mana
Mercedes-nya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini