DALAM masa kampanye ini, dapatkah di daerah-daerah orang
menggunakan suratkabar? Mungkin tidak. Sebab: bisa tidak
menarik. Koran yang cenderung ke parpol lazimnya dalam kondisi
tak enak. Harian Suluh Nasional, Palu, misalnya tak aneh keluar
dalam bentuk stensilan. Juga harian untum Mercu Suar, terbitan
29 Januari 1977, dari kota yang sama.
Distensil pada dua kertas folio, kedua koran itu masing-masing
menyajikan 4 halaman. Walaupun keduanya berstatus harian, tapi
untuk sementara terbit sekali dalam seminggu. Ada tajuk rencana,
ada pojok, ada rubrik Olahraga (pada Suluh Nasional). Tapi tak
ada iklan. Harga langganan Rp 300 sebulan Suluh Nasional) dan
Rp 200 Mercu Suar). Tarif iklan: "berdamai".
Problem pers semacam ini tentu bukan hanya milik Palu. Mayoritas
pers daerah terutama di luar Jawa, Medan, Padang dan kota-kota
utama lainnya masih bersuasana setali tiga uang. Memanfaatkan
kesempatan berkumpulnya para pemimpin redaksi suratkabar
Pebruari yang lalu, regu wartawan TEMPO mewawancarai beberapa
dari mereka tentang kemungkinan mereka sebagai pembentuk opini
publik.
"Belum ada percetakan yang sanggup mencetak harian", kata F.
Manuhutu, Nasional, Ambon. Karena itulah biar namanya harian,
suratkabar itu baru bisa muncul sekali sepekan. Hingga 1971
Nasional terbit dalam 8 ribu eksemplar. Tapi dalam beberapa
tahun ke atas jumlah itu merosot terus, terutama dengan masuknya
koran-koran Jakarta. Kini tinggal 3 ribu. "Tapi saya tak
menyalahkan koran pusat", lanjut Manuhutu, "ini 'kan zaman
modern, tentu saja orang ingin baca koran yang ofset". Tentu
saja bukan cuma karena faktor ofset saja orang lebih suka yang
dari Jakarta.
Dari 5 koran Ambon, 4 dicetak pada percetakan pemerintah dengan
ongkos Rp 1.200 per 3.000 eksemplar. Satu lagi, Sinar Harapan,
berbentuk stensilan. Semuanya muncul sekali sepekan.
Sementara itu Aceh Posf, walaupun belum ofset, "tapi mutu cetak
kami sudah baik, dan bisa terbit lebih kurang 5 ribu eksemplar",
tutur Husin Yusuf, kolonel pensiun yang memirnpin media Banda
Aceh tersebut. Dan di Banjarmasin, 6 koran terbit "dalam sajian
tipografi apa adanya", seperti dikatakan Gt. Syamsu Hidayat,
Indonesia Merdeka. Bahkan juga dalam hal persediaan kertas. Bila
ada uang, barulah pembaca dapat menikmati berita. Akibatnya
wartawan-wartawan setempat banyak yang resah. Karena acara-acara
yang kerap mereka hadiri amat jarang muncul di koran mereka. Tak
heran kalau berita-berita semacam itu mereka layangkan ke
Jakarta atau Surabaya.
Yang maju barangkali adalah Banjarmasin Post. Ia sudah dicetak
ofset dengan 5 ribu eksemplar.
2% Saja Sulit
Tapi toh yang 5 ribu itu sukar memasarkannya. "Untuk mencapai 2%
saja dari penduduk Banjarmasin yang 350 ribu itu sulitnya bukan
main", keluh Djok Mentaya, yang memimpin pers tersebut. "Minat
rakyat untuk membaca koran sangat kurang, kalau tidak dikatakan
di bawah nol", sambungnya.
Ia bahkan pernah mengusahakan mencari langganan dengan
mengerahkan anak lulusan SMA dengan bayaran Rp 250 sehari.
Terkumpul 3.000. Bulan pertama jumlah itu tetap, tapi
bulan-bulan berikutnya turun dan turun terus, dan kini hanya
tinggal 850 orang. Djok betapapun menyadari bahwa isi koran
sekarang tidak "meledak-ledak" seperti tahun-tahun sekitar 1966,
sehingga Harian Kami edisi Banjarmasin yang pernah dipimpinnya
saat itu bisa muncul setiap hari 10 ribu eksemplar.
Manuhutu dari Ambon menghubungkannya dengan daya beli rakyat
yang menurun karena faktor ekonomi yang lebih luas. "Dulu Ambon
memang pulau rempah. Sekarang harga kayu menurun, cengkeh tak
banyak lagi", katanya.
Sebaliknya di Palangkaraya "animo pembaca tinggi sekali",
seperti dikatakan Roseno Said, Pelita Pembangunan. Sayang cuma
animo. Sebab "bila kita sodorkan kwitansi penagihan, mereka di
desa-desa tak mau bayar", kata Roseno.
Potong Gaji!
Jadi bagaimana koran bisa masuk desa, padahal orang ramai
menyebut-nyebut gagasan itu? "Bagaimana mungkin", tukas Djok
Mentaya,"dengan fasilitas angkutan yang begitu sulit di
Kalimantan Selatan". Ia mengusulkan, "kalau pemerintah mau koran
kami masuk desa, mudah saja. Beli koran-koran daerah, lalu kirim
sendiri ke desa-desa melalui aparatnya".
Baik Husin Yusuf, maupun Mustafa Labalado, Al Khairat, Palu,
serta Roseno Said bersuara senada. Dan Manuhutu mengusulkan
diwajibkannya koran daerah dibaca pegawai negeri. "Uang
langganan, potong dari gaji yang bersangkutan", kata orang koran
Ambon ini.
Tapi bantuan pemerintah oleh orang pers banyak juga dikaitkan
dengan kemungkinan bantuan percetakan. Lebih-lebih karena
tergiurnya mereka dengan teknologi cetak ofset. Menurut Goembran
Saleh, Indonesia Berjuang, Banjarmasin, kalau terima bantuan Rp
10 juta, depositokan dulu. "Bila sudah cukup untuk beli mesin,
baru diambil", ucapnya sederhana. Sedangkan Agil H. Ali,
Mingguan Mahasiswa, Surabaya, melihat bantuan ini dalam bentuk
pemberian iklan dan jasa baik untuk mendapatkan iklan.
Tjuk Atmadi, Direktur Bina Pers, Departemen Penerangan melihat
bahwa di beberapa daerah pemerintah punya potensi untuk turun
tangan. Cuma ia mengharapkan agar penerbitan pers di daerah itu
secara objektif memiliki dukungan pembaca dan kemampuan
ekonomis. Kemudian bila pers belum punya penerbitan, tapi ada
Percetakan Negara, maka pemerintah bersedia membantu mencetakkan
media tersebut.
Uang Rakyat
Bantuan pemerintah dan pers daerah memang bukan barang baru,
sehingga hubungan merekapun umumnya mesra-mesra saja. "Kalau
saja hubungan dengan pemerintah daerah tidak baik, tentu saja
ongkos kami ke pertemuan ini tidak ditanggung oleh gubernur",
ucap Husin Yusuf menjelaskan proses kedatangannya ke Jakarta
bulan lalu. Belum lagi bantuan yang diterima Husin dari anggaran
pembangunan daerah.
Bantuan memang perlu - asalkan baik si pemberi maupun si
penerima bersikap wajar: segala bantuan itu adalah uang rakyat,
bukan uang pemerintah. Kadang-kadang bersikap seperti ini rada
sukar.
Andalan utama koran untuk cari duit adalah iklan. Tapi,
"bagaimana bisa datang iklan, kalau bisnisnya juga kurang",
keluh Manuhutu. Kalaupun ada iklan, rata-rata porsinya tak lebih
dari « halaman. Tapi Djok bisa mendapatkan iklan 50% dari porsi
korannya. Dia bahkan mau kasih kesempatan para kontestan Pemilu
berkampanye di korannya. "Biar mereka mendapat suara, dan saya
mendapat duitnya", katanya.
Lepas dari bisnis kering, yang juga penting adalah wawasan orang
dagang tentang efek iklan itu sendiri. Menurut M. Hadharyah
Roch, Media Masyarakat Banjarmasin "biar harga iklan sudah
ditekan, para pengusaha masih segan memasang iklan". Artinya
dunia bisnis dan dunia pers jalan sendiri-sendiri.
Itulah sebabnya kedua koran Palu di permulaan tulisan ini pasang
tarif "berdamai" untuk iklan yang mau menclok di situ. Dan masih
harus dibuktikan apakah Mataram Pos, yang baru lahir 1 Januari
ini, berhasil memikat para usahawan dengan merendahkan tarif
iklan mereka dari Rp 60 ribu menjadi 45 ribu per halaman.
Mungkin orang masih harus menunggu tindak lanjut Seminar
periklanan pers yang baru berlangsung beberapa bulan yang lalu
di Jakarta. Seminar baru berhasil pada kesimpulan perlunya
dibentuk suatu badan kerjasama antar unsur-unsur periklanan.
Jadi masih akan ada acara tukar menukar fikiran lanjutan (TEMPO,
5 Pebruari).
Tapi iklan toh tergantung juga pda faktor berapa dan siapa
pembaca. Di daerah, orang lebih senang "mendengar berita dan
lagu dangdut dari transistor", keluh Djok Mentaya. Orang
Banjarmasin ini percaya keengganan orang daerah baca koran
adalah karena jeleknya mutu redaksionil bacaan tersebut. Tapi
mengapa mutu turun? "Terus terang saya sekarang lebih penakut
dalam menulis", sambungnya. "Karena dalam dialog antara pers
daerah dan pejabat setempat demokrasi tidak jalan. Coba saja
kalau pejabat itu bisa berbicara seperti pejabat pusat, di mana
bisa saja timbul suasana blak-blakan, saya yakin mutu
redaksionil suratkabar akan naik kembali".
Agil Ali juga sefaham: mutu redaksionil koran daerah harus
ditingkatkan sehingga lebih kurang dapat mengimbangi koran
Jakarta. Bahkan Hadharyah sampai tak begitu memusingkan urusan
komersil penerbitannya. "Itu nomor dua", katanya. "Bagi kami
idealisme di atas segala-galanya. Bukankah pers Indonesia itu
pers perjuangan?" Ya, mudah-mudahan masih begitu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini