Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kampanye Pemilu Dengan Stensil ?

Umumnya koran yang terbit di daerah punya problem sama: kekurangan modal. Karena itu, penertibannya terkadang tidak teratur. Menghadapi pemilu ada yang terbit hanya dengan stensilan.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM masa kampanye ini, dapatkah di daerah-daerah orang menggunakan suratkabar? Mungkin tidak. Sebab: bisa tidak menarik. Koran yang cenderung ke parpol lazimnya dalam kondisi tak enak. Harian Suluh Nasional, Palu, misalnya tak aneh keluar dalam bentuk stensilan. Juga harian untum Mercu Suar, terbitan 29 Januari 1977, dari kota yang sama. Distensil pada dua kertas folio, kedua koran itu masing-masing menyajikan 4 halaman. Walaupun keduanya berstatus harian, tapi untuk sementara terbit sekali dalam seminggu. Ada tajuk rencana, ada pojok, ada rubrik Olahraga (pada Suluh Nasional). Tapi tak ada iklan. Harga langganan Rp 300 sebulan Suluh Nasional) dan Rp 200 Mercu Suar). Tarif iklan: "berdamai". Problem pers semacam ini tentu bukan hanya milik Palu. Mayoritas pers daerah terutama di luar Jawa, Medan, Padang dan kota-kota utama lainnya masih bersuasana setali tiga uang. Memanfaatkan kesempatan berkumpulnya para pemimpin redaksi suratkabar Pebruari yang lalu, regu wartawan TEMPO mewawancarai beberapa dari mereka tentang kemungkinan mereka sebagai pembentuk opini publik. "Belum ada percetakan yang sanggup mencetak harian", kata F. Manuhutu, Nasional, Ambon. Karena itulah biar namanya harian, suratkabar itu baru bisa muncul sekali sepekan. Hingga 1971 Nasional terbit dalam 8 ribu eksemplar. Tapi dalam beberapa tahun ke atas jumlah itu merosot terus, terutama dengan masuknya koran-koran Jakarta. Kini tinggal 3 ribu. "Tapi saya tak menyalahkan koran pusat", lanjut Manuhutu, "ini 'kan zaman modern, tentu saja orang ingin baca koran yang ofset". Tentu saja bukan cuma karena faktor ofset saja orang lebih suka yang dari Jakarta. Dari 5 koran Ambon, 4 dicetak pada percetakan pemerintah dengan ongkos Rp 1.200 per 3.000 eksemplar. Satu lagi, Sinar Harapan, berbentuk stensilan. Semuanya muncul sekali sepekan. Sementara itu Aceh Posf, walaupun belum ofset, "tapi mutu cetak kami sudah baik, dan bisa terbit lebih kurang 5 ribu eksemplar", tutur Husin Yusuf, kolonel pensiun yang memirnpin media Banda Aceh tersebut. Dan di Banjarmasin, 6 koran terbit "dalam sajian tipografi apa adanya", seperti dikatakan Gt. Syamsu Hidayat, Indonesia Merdeka. Bahkan juga dalam hal persediaan kertas. Bila ada uang, barulah pembaca dapat menikmati berita. Akibatnya wartawan-wartawan setempat banyak yang resah. Karena acara-acara yang kerap mereka hadiri amat jarang muncul di koran mereka. Tak heran kalau berita-berita semacam itu mereka layangkan ke Jakarta atau Surabaya. Yang maju barangkali adalah Banjarmasin Post. Ia sudah dicetak ofset dengan 5 ribu eksemplar. 2% Saja Sulit Tapi toh yang 5 ribu itu sukar memasarkannya. "Untuk mencapai 2% saja dari penduduk Banjarmasin yang 350 ribu itu sulitnya bukan main", keluh Djok Mentaya, yang memimpin pers tersebut. "Minat rakyat untuk membaca koran sangat kurang, kalau tidak dikatakan di bawah nol", sambungnya. Ia bahkan pernah mengusahakan mencari langganan dengan mengerahkan anak lulusan SMA dengan bayaran Rp 250 sehari. Terkumpul 3.000. Bulan pertama jumlah itu tetap, tapi bulan-bulan berikutnya turun dan turun terus, dan kini hanya tinggal 850 orang. Djok betapapun menyadari bahwa isi koran sekarang tidak "meledak-ledak" seperti tahun-tahun sekitar 1966, sehingga Harian Kami edisi Banjarmasin yang pernah dipimpinnya saat itu bisa muncul setiap hari 10 ribu eksemplar. Manuhutu dari Ambon menghubungkannya dengan daya beli rakyat yang menurun karena faktor ekonomi yang lebih luas. "Dulu Ambon memang pulau rempah. Sekarang harga kayu menurun, cengkeh tak banyak lagi", katanya. Sebaliknya di Palangkaraya "animo pembaca tinggi sekali", seperti dikatakan Roseno Said, Pelita Pembangunan. Sayang cuma animo. Sebab "bila kita sodorkan kwitansi penagihan, mereka di desa-desa tak mau bayar", kata Roseno. Potong Gaji! Jadi bagaimana koran bisa masuk desa, padahal orang ramai menyebut-nyebut gagasan itu? "Bagaimana mungkin", tukas Djok Mentaya,"dengan fasilitas angkutan yang begitu sulit di Kalimantan Selatan". Ia mengusulkan, "kalau pemerintah mau koran kami masuk desa, mudah saja. Beli koran-koran daerah, lalu kirim sendiri ke desa-desa melalui aparatnya". Baik Husin Yusuf, maupun Mustafa Labalado, Al Khairat, Palu, serta Roseno Said bersuara senada. Dan Manuhutu mengusulkan diwajibkannya koran daerah dibaca pegawai negeri. "Uang langganan, potong dari gaji yang bersangkutan", kata orang koran Ambon ini. Tapi bantuan pemerintah oleh orang pers banyak juga dikaitkan dengan kemungkinan bantuan percetakan. Lebih-lebih karena tergiurnya mereka dengan teknologi cetak ofset. Menurut Goembran Saleh, Indonesia Berjuang, Banjarmasin, kalau terima bantuan Rp 10 juta, depositokan dulu. "Bila sudah cukup untuk beli mesin, baru diambil", ucapnya sederhana. Sedangkan Agil H. Ali, Mingguan Mahasiswa, Surabaya, melihat bantuan ini dalam bentuk pemberian iklan dan jasa baik untuk mendapatkan iklan. Tjuk Atmadi, Direktur Bina Pers, Departemen Penerangan melihat bahwa di beberapa daerah pemerintah punya potensi untuk turun tangan. Cuma ia mengharapkan agar penerbitan pers di daerah itu secara objektif memiliki dukungan pembaca dan kemampuan ekonomis. Kemudian bila pers belum punya penerbitan, tapi ada Percetakan Negara, maka pemerintah bersedia membantu mencetakkan media tersebut. Uang Rakyat Bantuan pemerintah dan pers daerah memang bukan barang baru, sehingga hubungan merekapun umumnya mesra-mesra saja. "Kalau saja hubungan dengan pemerintah daerah tidak baik, tentu saja ongkos kami ke pertemuan ini tidak ditanggung oleh gubernur", ucap Husin Yusuf menjelaskan proses kedatangannya ke Jakarta bulan lalu. Belum lagi bantuan yang diterima Husin dari anggaran pembangunan daerah. Bantuan memang perlu - asalkan baik si pemberi maupun si penerima bersikap wajar: segala bantuan itu adalah uang rakyat, bukan uang pemerintah. Kadang-kadang bersikap seperti ini rada sukar. Andalan utama koran untuk cari duit adalah iklan. Tapi, "bagaimana bisa datang iklan, kalau bisnisnya juga kurang", keluh Manuhutu. Kalaupun ada iklan, rata-rata porsinya tak lebih dari « halaman. Tapi Djok bisa mendapatkan iklan 50% dari porsi korannya. Dia bahkan mau kasih kesempatan para kontestan Pemilu berkampanye di korannya. "Biar mereka mendapat suara, dan saya mendapat duitnya", katanya. Lepas dari bisnis kering, yang juga penting adalah wawasan orang dagang tentang efek iklan itu sendiri. Menurut M. Hadharyah Roch, Media Masyarakat Banjarmasin "biar harga iklan sudah ditekan, para pengusaha masih segan memasang iklan". Artinya dunia bisnis dan dunia pers jalan sendiri-sendiri. Itulah sebabnya kedua koran Palu di permulaan tulisan ini pasang tarif "berdamai" untuk iklan yang mau menclok di situ. Dan masih harus dibuktikan apakah Mataram Pos, yang baru lahir 1 Januari ini, berhasil memikat para usahawan dengan merendahkan tarif iklan mereka dari Rp 60 ribu menjadi 45 ribu per halaman. Mungkin orang masih harus menunggu tindak lanjut Seminar periklanan pers yang baru berlangsung beberapa bulan yang lalu di Jakarta. Seminar baru berhasil pada kesimpulan perlunya dibentuk suatu badan kerjasama antar unsur-unsur periklanan. Jadi masih akan ada acara tukar menukar fikiran lanjutan (TEMPO, 5 Pebruari). Tapi iklan toh tergantung juga pda faktor berapa dan siapa pembaca. Di daerah, orang lebih senang "mendengar berita dan lagu dangdut dari transistor", keluh Djok Mentaya. Orang Banjarmasin ini percaya keengganan orang daerah baca koran adalah karena jeleknya mutu redaksionil bacaan tersebut. Tapi mengapa mutu turun? "Terus terang saya sekarang lebih penakut dalam menulis", sambungnya. "Karena dalam dialog antara pers daerah dan pejabat setempat demokrasi tidak jalan. Coba saja kalau pejabat itu bisa berbicara seperti pejabat pusat, di mana bisa saja timbul suasana blak-blakan, saya yakin mutu redaksionil suratkabar akan naik kembali". Agil Ali juga sefaham: mutu redaksionil koran daerah harus ditingkatkan sehingga lebih kurang dapat mengimbangi koran Jakarta. Bahkan Hadharyah sampai tak begitu memusingkan urusan komersil penerbitannya. "Itu nomor dua", katanya. "Bagi kami idealisme di atas segala-galanya. Bukankah pers Indonesia itu pers perjuangan?" Ya, mudah-mudahan masih begitu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus