Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jepang
Jumlah Penduduk: 127,5 juta jiwa
Luas Negara: 377.944 kilometer persegi
Asosiasi: Japan Football Association
Berdiri: 1921
Gabung FIFA: 1929 Keikutsertaan: 3 kali (1998, 2002, 2006)
Gelar Terbaik: juara Piala Asia 3 kali (1992, 2000, 2004)
Peringkat FIFA: 40 (Februari 2010)
Tanpa ditemani istri dan bayi laki-lakinya yang terlebih dulu pulang, Shunsuke Nakamura masih memiliki notebook sebagai teman setia untuk mencurahkan isi hati. Dia mengisi waktu belasan jam di udara, dalam perjalanan dari Spanyol ke Jepang, Sabtu dua pekan lalu, dengan membuat catatan pribadi yang penuh dengan optimisme.
Cuma turun 12 kali sebagai pemain pengganti dalam setengah musim terakhir di Liga Spanyol bersama klub Espanyol, hari itu Nakamura resmi pulang untuk bergabung dengan klub masa kecilnya, Yokohama Marinos. ”Piala Dunia adalah alasan utama saya kembali,” kata gelandang berusia 31 tahun ini. ”Di pesawat yang mengantar pulang, saya memikirkan motivasi ekstra setelah kegagalan di Spanyol.”
Motivasi ekstra tersebut penting karena Tim Samurai Biru—julukan tim Jepang—sangat membutuhkannya. Naka, panggilannya, adalah bakat terbaik yang dimiliki Negeri Matahari Terbit setelah pensiunnya Hidetoshi Nakata pada 2006. Sekadar menjadi pemain cadangan di tingkat klub, Nakamura tak bisa diharapkan banyak untuk mengangkat performa Jepang yang tengah terpuruk.
Pelatih Takeshi Okada menjadi orang yang paling disorot atas kinerja para pemainnya. Seruan agar pelatih berusia 53 tahun ini mundur mulai muncul pada awal Februari, setelah Jepang cuma bermain tanpa gol sewaktu menjamu Venezuela pada uji coba.
”Tim ini bermain tanpa semangat, tanpa kreasi, para pemain tak berani mengoper bola terlalu jauh, bermain monoton,” kata Mitsuo Ogasawara, mengeluhkan kinerja kesebelasannya sendiri. Ogasawara gelandang senior yang dipanggil lagi setelah tiga tahun tak memperkuat tim nasional. ”Harus ada banyak perubahan.”
Di Piala Asia Timur, bertindak sebagai tuan rumah, Jepang cuma berada di posisi ketiga. Teriakan dan siulan bernada mengejek datang dari setiap penjuru stadion setelah pasukan Okada hanya bermain tanpa gol menghadapi Cina. Ejekan terdengar lebih keras setelah mereka dibantai Korea Selatan 1-3. Sejak itu, setiap hari ratusan orang menelepon ke markas Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA). Mereka meminta Okada dipecat.
Presiden JFA Motoaki Inuaki bak menghadapi buah simalakama. ”Saya tahu media meminta Okada dipecat, tapi akan sangat berisiko untuk membuat perubahan besar di dalam tim yang sudah terbangun tiga tahun,” katanya. JFA berketetapan mempertahankan Okada.
Media dan masyarakat Jepang sebenarnya tak bisa menerima keputusan itu. Mereka kadung malu karena tim nasional kalah besar dari Korea Selatan. Dalam banyak bidang, termasuk sepak bola, Korea Selatan adalah rival utama Jepang. Pukulan paling menyakitkan terjadi di Piala Dunia 2002, tatkala Jepang menjadi tuan rumah bersama Korea. Korea berhasil mencapai semifinal, sedangkan langkah Jepang terhenti di 16 besar.
Sebelum kekecewaan menyeruak, Okada sempat menjadi pelatih pujaan. Dia ditunjuk JFA menggantikan Ivica Osim, pelatih asal Bosnia, yang terkena stroke pada Desember 2007. Sebelumnya, Okada membawa Jepang ke Piala Dunia 1998.
”Saya menangani tim dengan cara saya sendiri,” kata Okada. Hasilnya, meski berstatus runner-up grup 1 kualifikasi Piala Dunia zona Asia, Jepang menjadi tim pertama di luar tuan rumah Afrika Selatan yang memastikan lolos ke putaran final. Seusai pertandingan yang menentukan, menang 1-0 di kandang Uzbekistan pada Juni 2009, Okada dengan berapi-api berkata, ”Jepang harus menembus semifinal.”
Masyarakat menyambut tekad tinggi itu dengan antusias. ”Inilah Okadaisme, empat besar Piala Dunia,” tulis media, tak kalah bersemangat. Sentimen mereka tersentuh oleh Okada, apalagi mantan pelatih Yokohama Marinos itu mencanangkan target untuk menyamai prestasi Korea Selatan pada Piala Dunia 2002.
Masyarakat negeri berpenduduk sekitar 127,5 juta jiwa itu juga bosan dengan prestasi kesebelasan mereka di tingkat dunia yang tak kunjung cerah. Tiga kali mengikuti Piala Dunia, tiga kali pula beroleh kecewa. Pada 1998, Jepang tiga kali kalah dalam kepelatihan Okada. Pada 2002, mereka iri akan prestasi Korea Selatan. Dan pada 2006, pelatih Zico hanya mempersembahkan satu kali hasil seri dan dua kali kekalahan.
Menilik perkembangan terbaru, Okadaisme dikhawatirkan tinggal menjadi janji surga belaka. ”Jepang sebenarnya punya potensi membuat kejutan,” kata Osim, menyorot kinerja penerusnya. ”Tapi mereka harus bersiap menyediakan trampolin untuk menahan kejatuhan. Semakin tinggi targetnya, semakin sakit pula jatuhnya bila tim tak ditangani dengan benar.”
Salah satu alasan Okada mengenai jebloknya prestasi di Piala Asia Timur adalah tiadanya Nakamura. Pemain yang delapan tahun bertualang di Eropa ini tak dipanggil karena harus memperkuat Espanyol. Okada sangat bergantung pada Nakamura, top scorer Jepang pada kualifikasi Piala Dunia. Pelatih ini bahkan memberikan garansi tempat utama untuk pemain kesayangannya itu di Piala Dunia.
Ini mengundang kritik pedas dari Philippe Troussier. ”Taruh saja Nakamura di bangku cadangan,” kata pelatih Prancis yang menangani Jepang pada 2002 itu. ”Tempat Nakamura selalu aman karena dia tak perlu berkompetisi dengan pemain lain. Padahal banyak pemain yang bisa menggantikan dia meski bakatnya tak sebesar Nakamura.”
Kritik itu sebentar lagi mungkin menghilang seiring dengan pulang kampungnya Nakamura. Pelatih Yokohama, Kazushi Kimura, telah berjanji menjadikan Nakamura sebagai pemain inti agar ketajamannya kembali seperti ketika dia terpilih sebagai pemain terbaik Liga Skotlandia 2007. Bila sukses di Piala Dunia, Nakamura bisa dengan tenang mewujudkan mimpi lamanya. ”Saya ingin mengelola kebun tomat,” tuturnya.
Andy Marhaendra (Guardian, Soccernet, Timesonline)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo