Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gaung pertemuan pertengahan Januari lalu agaknya masih belum meluas. Dalam Pertemuan Tahunan Perbankan 2010 itu, Pejabat Sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution untuk kesekian kalinya mengimbau perbankan menurunkan suku bunga. Sebelumnya, pada 20 Agustus 2009, 14 bank sudah bersepakat menurunkan suku bunga, dimulai dari suku bunga deposito. Tapi, sampai sekarang, penurunannya masih sangat seret.
Terakhir, perhelatan digelar di kantor Menko Perekonomian, akhir Februari lalu. Kementerian Perindustrian dan Bank Indonesia baru sampai tahap sepakat pada program penurunan suku bunga kredit perbankan. ”Kami sudah menentukan target suku bunga yang diharapkan bisa tercapai,” kata Menteri Perindustrian M.S. Hidayat. Besarannya paling tidak menyentuh titik ideal bagi dunia usaha untuk bersaing dalam perdagangan bebas. ”Tapi belum sampai satu digit,” katanya.
Tingginya suku bunga inilah yang terus dikeluhkan para pengusaha, terutama di era perdagangan bebas Kawasan Asia Tenggara dan Cina. Saat ini rata-rata bunga kredit perbankan Indonesia masih 13,9 persen dengan range 12-16 persen, jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga yang sudah satu digit, 8-9 persen. Menurut Hidayat, suku bunga semestinya mempertimbangkan kemampuan dunia usaha agar dapat berkompetisi dengan negara lain. ”Indonesia nomor dua paling tinggi setelah Myanmar,” katanya.
Kegelisahan mendera karena Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) berkali-kali hingga mencapai 6,5 persen, titik terendah. Sayangnya, perbankan tidak mengikuti jejaknya dengan menurunkan suku bunga pinjaman perbankan. Hitungan Danareksa Research Institute menunjukkan, ketika bunga acuan telah mencapai 6,5 persen, idealnya suku bunga pinjaman turun menjadi sekitar 11,5 persen. ”Tapi ini tidak turun-turun,” kata Chief Economist Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa.
Per Desember 2009, suku bunga pinjaman prime lending di Indonesia mencapai 12,96 persen. Pada saat yang sama, suku bunga rata-rata pinjaman berada pada level 14,36 persen. Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada bunga pinjaman di Cina (5,31 persen), Malaysia (5,51 persen), dan Thailand (5,85 persen). Selisih antarbunga pinjaman di Indonesia dengan di Cina sekitar 7,65 persen. ”Indonesia mengalami kerugian dari sisi biaya kapital (at capital cost disadvantage),” kata Yudhi.
Penurunan bunga pinjaman di dalam negeri ke level yang lebih rendah, kata Yudhi, jelas akan membantu daya saing perusahaan kita. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G. Ismy menambahkan, ”Kalau mau bisa bersaing, (suku bunga kredit) ya mesti satu digit. Atau, tidak jauh dengan negara-negara ASEAN,” kata Ernovian. Kondisi ini yang membuat para pengusaha keki.
Di pasar dalam negeri, tekstil dan garmen, misalnya, harus berkelahi dengan produk Cina yang harganya jauh lebih murah. Pangsa pasar produk dalam negeri hanya 40 persen, sisanya barang impor yang didominasi Cina. ”Kalau mengenai bersaing dengan Cina, saya sudah capek ngomong-nya,” ujarnya. Banyak faktor mengapa kalah oleh barang impor. Ia menyebut sederet masalah: suku bunga, birokrasi, dan juga dumping.
Namun Ernovian mencoba melihat sisi positif perdagangan bebas: ada peluang bisnis di ASEAN. Industri tekstil dan garmen Indonesia paling maju di ASEAN. Karena itu, Indonesia bisa menggandeng produsen dari negara lain untuk masuk pasar internasional. Dengan Vietnam, misalnya, Indonesia bisa join memasok kain ke Jepang atau dengan Kamboja untuk garmen. ”Banyak potensi bisnis yang bisa digarap di ASEAN,” kata Ernovian. Tapi, kalau suku bunga kredit tetap tinggi, pengusaha sulit melakukan investasi.
Putri Kusuma Wardhani, Ketua Persatuan Perusahaan Kosmetik Indonesia, menambahkan, perdagangan bebas membuat kompetisi makin ketat dan industri bisa terhambat investasinya kalau sumber pendanaannya berasal dari perbankan. Perusahaan Indonesia akan kerepotan jika pemerintah tidak membuat kebijakan yang membantu peningkatan daya saing industri. ”Produk Cina yang harganya murah jadi sangat menarik di pasar kita karena mayoritas konsumen memiliki daya beli rendah,” katanya.
MTQ, Nieke Indrietta, Famega Syavira
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo