Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usianya sudah 77 tahun. Tapi tangannya masih cekatan menghidupkan boneka-boneka kecil itu. Creng... creng... creng. Sie Teng San, putra panglima Sie Djin Kwie, ditantang oleh pendekar cantik Hwan Lee Hwa. Hiattt.... Mereka beradu. Suluk pembuka oleh sang dalang diucapkan dalam bahasa Hokkian.
Itulah penampilan dalang sepuh Thio Tiong Gie di Harmony China Pavilion, bilangan Kebagusan Dalam. Meski satu setengah bulan lalu ia baru menjalani operasi katarak, penampilannya penuh gereget. Pentasnya hanya berlangsung satu jam. ”Tak ada banyolan seperti goro-goro karena waktunya yang sangat sempit,” ujar Thio.
Dalang asal Semarang itu adalah satu-satunya dalang potehi peranakan yang tersisa. Kemampuannya menembang dalam bahasa Hokkian totok adalah ciri khasnya. ”Kami perkenalken Sie Djin Kwie....” Bahasa Indonesianya juga dialek lama. Meski demikian, demi mendekatkan diri ke penonton, ia tak ragu menyelipkan lagu karaoke: Mamahao (Kasih Sayang Ibu) atau Jali-jali di antara suara gembreng, seruling, gwik gim (gitar), seruling, er hu (rebab), tambur, trompet, dan bek to (kentongan).
Malam itu pertunjukannya juga diselang-selingi koreografi. Tiba-tiba muncul aktor yang memerankan Sie Teng San dalam kostum perwira perang. Di teras Harmony China Pavilion yang megah dan bersuasana seperti mansion bangsawan klasik Cina itu ia bergelut melawan prajurit-prajurit Kerajaan Sie Lang Kok, sampai byurrr... ia mampu menjatuhkan lawan ke kolam renang—yang dipenuhi semburan air dari mulut patung kura-kura itu.
Thio Tiong Gie tampak senang. Meskipun ia dari Semarang, rombongan pemain musiknya malah kebanyakan berasal dari Surabaya. ”Sudah jarang orang Semarang yang mampu memainkannya,” ujarnya. Thio mengatakan di Surabaya ada satu kelenteng di daerah Jalan Kampung Dukuh yang tak pernah berhenti menggelar pertunjukan potehi meski selama Orde Baru ada larangan. Kelenteng itu sangat tertutup. ”Kalau di tempat lain, tak banyak yang memainkan. Mereka takut,” ujar Thio.
Salah satu dalang potehi jebolan Kelenteng Dukuh, misalnya, adalah Sukar Mujiono, 49 tahun. Beberapa waktu lalu ia juga pentas di Jakarta. Sukar, yang kini pekerjaan tetapnya main rutin di Kelenteng Dukuh untuk persembahan para dewa, ingat bagaimana awalnya ia belajar potehi. Ia mengenang waktu masih sekolah menengah pertama, ada serombongan grup potehi dari Cina tampil di Kelenteng Dukuh. Ia selalu menonton tiap hari. ”Mulanya saya disuruh beli rokok, terus diajari nabuh alat-alat musik, dan lama-kelamaan diajari mendalang.” Kini ia sudah 25 tahun mendirikan grup potehi Lima Merpati.
Di teras Restoran Mirasari, Kemang, Jakarta, pada Imlek yang baru lalu ia menyajikan cerita yang sama dengan Thio Tiong Gie: kisah Sie Teng San. Permainan Sukar menakjubkan. Di tangannya boneka-boneka kecil itu begitu gesit penuh adegan sabet-sabetan pedang, trisula. Boneka itu seolah bisa ginkang dan yang kalah sampai dadanya tertembus pedang, kepalanya terpenggal, dan pedangnya melenting.
Creng... creng... creng. Suara siolo (gembreng kecil), tualo (gembreng besar), dan dongko (tambur) mengiringi sabetan ganas dua pedang Hwan Lee Hwa. Pedang pendekar perempuan cantik itu hampir menembus tubuh Sie Teng San.
Penonton tepuk tangan, apalagi ketika dua istri Sie Teng San, Tan Kim Teng dan Touw Sian Tong, cemburu dan melabrak Hwan Lee Hwa lantaran mereka tahu ternyata kedatangan Hwan Lee Hwa hendak meminta dijadikan istri ketiga Sie Teng San. Mereka mengeroyok Hwan Lee Hwa dengan senjata andalan gempolan besi dan tombak. Adik perempuan Sie Teng San bernama Sie Kim Liang pun maju ke medan laga. ”Saya selalu menonton film-film kungfu untuk mempelajari banyak adegan tangan kosong dan senjata,” kata Sukar Mujiono.
Sementara di tangan Thio Tiong Gie pembawaan Sie Teng San terlihat gagah dan rada jaim, di tangan Sukar ada lucu-lucunya. ”Mana mungkin, Ayah. Istriku kan sudah dua,” kata Sie Teng San kepada ayahnya, Sie Jin Kui, ketika sang ayah menasihatinya sebelum dia turun perang. ”Jangan sampai kamu menikah dengan musuhmu.” Tapi, ketika Sie Teng San maju, ia deg-degan menyaksikan Hwan Lee Hwa: ”Duh, bener-bener cantik wajahnya, imut-imut.”
Thio ingat saat zaman Orde Baru di Kelenteng Besar Tai Cap Sie, Semarang, ia sering berlatih potehi meski tak bisa dipentaskan. Di kelenteng itu sehari-hari ia mengurus upacara sembahyang ataupun upacara doa kematian. Waktu luangnya digunakan untuk berlatih.
Ia juga ingat saat Kelenteng Wirajen di Jalan M.T. Haryono, Semarang, menjual seperangkat wayang potehi, semua ia beli. Kini koleksinya ada 100 wayang yang tergolong antik karena usia rata-ratanya sudah 125 tahun.
Meski pertunjukan potehi sudah tak dilarang semenjak zaman pemerintahan Gus Dur, Thio gundah, karena sampai kini tak banyak orang yang mempelajarinya. Thio sendiri mengenang bagaimana kerasnya saat kecil dia mempelajari potehi.
Thio bersekolah di Cung Hwa Kung Hak, Semarang, sekolah berbahasa Hokkian. Pada saat ayahnya membeli koran bekas bungkus makanan kecil, tak sengaja terjepit buku cerita epik Tionghoa berjudul Hun Tai Chu Cau Kok atau Putra Mahkota Cu Hun Melarikan Diri. Buku itulah yang Thio baca siang-malam.
Oleh Oei Sing Hie, seorang dalang, Thio kemudian disarankan mempelajari potehi. Caranya, dengan melihat bagaimana dalang melakonkan wayang-wayang itu. Metode ini ia lakukan selama bertahun-tahun. Pernah suatu ketika ia harus menggantikan dalang lain yang berhalangan di Blitar selama satu minggu. Pertunjukan itu memuaskan, sehingga ia diberi hadiah 10 macam buku cerita epik Tionghoa.
Thio sendiri kini bingung meregenerasikan kemampuannya. Satu-satunya harapan adalah asistennya. Menurut Thio, kadernya tak harus peranakan Cina. ”Kalau ada yang mau, saya bersedia mengajari tanpa dipungut biaya. Yang penting jangan sampai punah,” katanya. Sukar juga demikian. Ia terus mengader. ”Kini tiga orang yang saya kader.” Salah satu kadernya yang paling berhasil adalah adiknya sendiri: dalang Sugijo Walujo Subur. Boleh disebut Subur kini adalah dalang potehi yang paling laris mendapat order di mal-mal Jakarta.
Trok... trok.... Bunyi kentongan kecil berbentuk silinder 5 sentimeter mirip kentongan penjual bakmi itu riuh bersama suara tambur, ceng-ceng, er hu, trompet, dan genderang menyambut kemunculan Sun Go Kong, pahlawan kera di gelaran panggung mini di Mal Citra Land beberapa minggu lalu. Itulah penampilan Sugijo Walujo Subur, dalang wayang potehi dari Sidoarjo, bersama kelompoknya, Fuk Hou An.
Pria tambun berkulit hitam ini lahir pada 17 Mei 1962. Selain berguru kepada kakaknya, ia banyak berguru kepada Ki Sesomo. Dalam proses pembelajaran wayang potehi memang tak ada semacam kelas khusus. Para dalang belajar dengan mencermati gaya dalang lain. Tak ada jalan pintas mempelajari wayang potehi.
”Awalnya saya hanya melihat dan mendengar. Saya perhatikan cara dalang memainkannya,” kata Subur. Bahkan gaya pelakonannya juga ia jiplak. Kini ia dapat memainkan 25 lakon tokoh Cina, termasuk Sie Djin Kwie, Perwira Oe Tie Kiong, Pendengar Wie Kun, Hakim Bouw, dan lainnya. ”Saya tidak menghafal teks dengan detail, tapi cukup tahu garis besar ceritanya.” Subur rajin membaca komik cerita Tiongkok.
Pertama kali Subur main di Jakarta pada 1994. Saat itu ia manggung melakonkan cerita Panglima Tik Jing di Wihara Satria Dharma, Penjaringan, Jakarta Utara. Ia kemudian pentas di Wihara Hian Thian Siangtee di bilangan Palmerah. Tatkala tampil di situ, sebuah department store meliriknya. Jadilah setiap perayaan Imlek ataupun Cap Go Meh, order panggung berdatangan. ”Di Mal Citra Land ini saya sudah pentas lima kali,” ujarnya. Setiap lakon di mal berdurasi satu jam saja. Lama waktu ini dirasa tak cukup bagi Subur. ”Rasanya seperti diburu waktu,” ujarnya.
Ini beda jauh ketika ia pentas di wihara. Pada perayaan Imlek lalu, Subur juga selama 12 jam nonstop memainkan lakon Sie Djin Kwie di Wihara Pasar Baru. Bahkan, untuk cerita yang sangat panjang, di kelenteng, menurut dia, satu lakon potehi bisa digarap selama sebulan penuh dengan durasi tiga jam per hari.
Kadang kala Subur dibantu oleh anaknya, Alfian, yang menjadi asisten dalang ketika ada lebih dari dua boneka yang harus tampil. Menurut Subur, ia tak memaksa anaknya ikut jejaknya. ”Keinginannya sendiri ikut potehi,” katanya.
Subur sama sekali tak bisa berbahasa Mandarin. Saat pentas ia selalu membawa ”sontekan” catatan kumal yang berisi syair-syair sastra dalam bahasa Hokkian. ”Saya tak bisa menghafalkannya,” ujarnya. Menurut dia, ada pakem pengadegan dan dialog Hokkian yang harus tetap dipegang. Ketika gerakan boneka lari pergi dari panggung, misalnya, dalang harus mengucap, ”Cau!” Atau ucapan ”U hi” saat boneka-boneka itu memasuki panggung. ”Kalau tidak diucapkan, adegan itu rasanya akan lain,” katanya.
Seno Joko Suyono, Ismi wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo