Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Keberuntungan dari Tempat Perlindungan

Jepretan dari atap apartemen yang menangkap demo anak muda Iran melawan Ahmadinejad memenangi Photo of the Year 2009 World Press Photo.

8 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pietro Masturzo tak akan per­nah percaya dengan apa yang dialaminya di Iran. Satu minggu sebelum berlangsungnya pemilihan Presiden Iran, fotografer Italia ini menginjakkan kaki di Teheran.

Dengan visa turis, ia dapat melihat ­jalan-jalan Kota Teheran membara di saat siang. Kain hijau para demonstran muda yang menghiasi setiap ruas jalan, bu­nyi tembakan dari kejauhan, dan ke­pulan asap menjadi ingat­an berkepanjangan baginya tentang peristiwa itu. ”Bila menggunakan visa wartawan, mungkin saya tidak mampu bergerak bebas seperti ini, karena semua wartawan di Teheran saat itu diikuti dan dikontrol secara jelas oleh pihak­ berwenang di sana,” ujar ­Masturzo.

Nahas baginya, baru dua hari, ia tertangkap pihak keamanan setempat. Ia beberapa hari di penjara dan diintimi­dasi oleh pihak keamanan. Tapi ia kemudian dibebaskan. Ia beruntung pihak keamanan juga memberikan kembali kamera Canon 5D miliknya yang sempat disita untuk diselidiki isinya.

Saat itu Masturzo diselimuti ketakut­an luar biasa. Ia memilih mencari sebuah apartemen kecil untuk berlindung dan ia tak berniat turun ke jalan untuk merekam apa yang sedang terjadi. Dalam diam dan kesepian di apartemen, ia mendengar teriakan sahut-menyahut dari luar. Dari atap, ia menyaksikan puluhan warga, baik laki-laki mau­pun perempuan, menaiki atap rumah mereka, meneriakkan tuntutan demokrasi dan reformasi, persis seperti 30 tahun lalu, saat revolusi 1979 berhasil menumbangkan sebuah rezim yang antidemokrasi.

Masturzo, fotografer berusia 29 tahun itu, tak menyia-nyiakan momen. Ia arahkan lensa dan kameranya kepada tiga wanita yang berteriak ”Allahu Akbar... Allahu Akbar...” sebagai bentuk protes terhadap rezim pemerintahan Ahmadinejad. Masturzo begitu tak percaya dengan apa yang ia dapat. ”Saya tak percaya, ini adalah cara terbaik saya untuk berbicara kepada dunia tanpa harus menginjakkan kaki di jalanan yang tengah membara,” katanya.

Di awal Juli, setelah mendapatkan foto itu, ia memilih kembali ke Italia. Kantor berita nasional Italia dan dua majalah Italia tertarik dengan foto miliknya. Tak lama, foto itu beredar dan ia kirimkan untuk ajang foto jurnalistik dunia World Press Photo. Dari 101 ribu gambar yang masuk ke World Press Photo, Masturzo, dengan karya yang ia buat di atap, memenangi anugerah Photo of the Year 2009. Ayperi Karabuda Ecer, pemimpin dewan juri World Press Photo, mengatakan foto milik Masturzo adalah foto bersejarah karena merupakan awal dari sebuah peristiwa besar.

Setelah kemenangan itu, Masturzo sebenarnya ingin kembali ke Iran. Namun ia sadar pihak berwenang di Iran pasti mengincar dirinya. ”Kemenangan World Press Photo menjadi ketakutan saya untuk datang kembali ke Iran,” ujar Masturzo, yang dikutip British Photo Journal.

Berbeda dengan Masturzo, David Guttenfelder, fotografer dari kantor berita Associated Press yang sudah beberapa kali menjuarai event bergengsi dalam dunia foto jurnalistik, kembali menyedot perhatian dengan foto tiga prajurit Amerika dalam posisi bersiaga di Lembah Korengal, Afganistan.

Dalam foto ini, ia merekam hal yang di luar dugaan: seorang prajurit Amerika bersiaga dengan mengenakan pakaian tidur berupa celana pendek berwarna merah jambu, sementara kawan-kawannya menggunakan seragam lapangan dan salah satunya memakai sepatu jogging. Dari rekam visual inilah tergambar ironi yang menyodorkan betapa Amerika pada awalnya menganggap perang Afganistan sebagai perang yang mudah diselesaikan.

Apa yang dialami Guttenfelder sangatlah berbeda dengan Masturzo. Guttenfelder dengan mudah terus kembali ke Afganistan, masuk ke sudut-sudut sulit sebuah peperangan, dan berakhir dengan sebuah kemenangan tanpa ke­takutan.

Di belahan dunia lainnya, kelompok nonhierarkis yang berpindah-pindah tempat demi kesenangan direkam penuh warna oleh fotografer Kitra Cahana. Rainbow Land, yang dibuat di kawasan liar New Mexico, meraih penghargaan tertinggi pada kategori seni dan hiburan. Kitra sangat menikmati proses pembuatan cerita ini, begitu dekat, merasa sudah menyatu dalam kehidupan ”suku pelangi” yang hidup penuh bahagia.

Dalam World Press Photo kali ini, foto jurnalistik memang tidak lagi milik ”eksklusif” fotografer yang kerap menceburkan diri ke dalam konflik penuh ironi. Meski begitu, penghargaan utama World Press Photo 2009 kembali disodorkan kepada sebuah jepretan yang berbicara tentang tirani dan demokrasi. Kali ini bernama Iran.

Bismo Agung (WPP, British Photo Journal)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus