Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

"saya Merencanakan Mundur"

Wawancara Tempo dengan Sinyo Aliandoe, pelatih tim PSSI PPD, tentang kekalahan timnya oleh Korea Selatan, derasnya kecaman, dan rencana pengunduran dirinya. (or)

3 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SINYO Aliandoe, 45, mau berhenti jadi pelatih nasional. Isyarat itu dikemukakannya secara blak-blakan kepada TEMPO, Senin siang pekan ini, hanya sehari menjelang kesebelasan yang sudah sekitar 16 bulan diasuhnya, PSSI Pra-Piala Dunia kembali akan bertarung dalam pertandingan penentuan dalam grup 3 melawan Korea Selatan di Stadion Senayan, Jakarta. Sejak babak penyisihan di subgrup 3B, timnya, yang kemudian ternyata keluar sebagai juara hampir tak pernah sepi dari kritik. Dan kecaman pedas dari berbagai pihak itu semakin menjadi-jadi ketika pekan lalu kesebelasannya, yang dipaksa "ngotot" agar bisa lolos ke Meksiko, tumbang 0-2 oleh Korea Selatan di Seoul. "Saya benar-benar tak tahan lagi. Kasihan sama keluarga. Kecaman dan makian yang ditujukan kepada saya betul-betul memukul keluarga kami. Karena itu, jika PSSI tak berhasil lolos jadi juara grup 3, saya sudah merencanakan untuk mundur," kata Sinyo dengan wajah masygul. Berbicara panjang lebar dengan TEMPO, di rumah makan Kebayoran Inn, Jakarta, Sinyo memang tampak murung. "Belum pernah, selama jadi pelatih, saya merasa tertekan seperti sekarang ini. Keluarga saya seperti kena teror karena kecaman pada saya tak hanya mereka baca di surat kabar, tapi banyak yang datang lewat surat ke rumah kami," kata Sinyo lebih lanjut. Di rumah mereka di Jalan Fatmawati, Cilandak Tengah, Jakarta Selatan, menurut Sinyo, setelah kekalahan di Seoul itu, "sudah sekitar 60 surat yang kami terima". Isinya semua kecaman dan makian. "Bahkan ada yang tega menuduh saya PKI," kata ayah tiga anak itu sambil berusaha tertawa. Niat Sinyo Aliandoe memang mendapat dukungan istri serta anak-anak. "Saya sedih dengan kritikan tajam lewat surat pada suami saya. Apalagi kritik dengan kata-kata kotor. Bapak sudah berbuat sekuat tenaganya untuk memenangkan pertandingan, tapi kalau kalah dimaki-maki. Rasanya, cukup sampai di sini saja dulu. Saya sarankan Bapak supaya berhenti saja," kata Nyonya Theresia Aliandoe kepada TEMPO. Pelatih asal Flores Timur itu, tak ayal, memang tampak nelangsa dengan kecaman dan makian kasar yang diterimanya akhir-akhir ini. "Sekarang bisa saya katakan, jadi pelatih nasional itu amat berat karena kita menghadapi tuntutan harus menang dari masyarakat penggemar bola," katanya. Ia betul-betul tak menduga surat kecaman keras itu bakal begitu bertubi-tubi datangnya. Tak hanya dari kalangan dewasa, tapi juga dari murid-murid SMP. Apa penyebab derasnya kecaman itu? Adakah ini menunjukkan mencuatnya rasa pesimistis para penggemar bola terhadap PSSI Pra-Piala Dunia? Sinyo Aliandoe, sambil sesekali menggosok-gosok dahinya, menjawab pertanyaan TEMPO. Apa kira-kira faktor penyebab menderasnya kecaman terhadap Anda? Saya tak tahu persis. Tapi saya menduga, ini karena saya terlalu berpegang teguh pada pendirian saya. Misalnya, dalam hal pemilihan pemain dan penentuan strategi serta taktik bermain. Rupanya, orang seperti itu sekarang ini dianggap tidak simpatik. Saya paham itu, tapi karena dasarnya saya sudahbegitu, saya tak akan berubah. Sebab, saya tahu mana yang menjadi hak dan tanggung jawab saya, mana yang tidak. 'Kan kita dulu beberapa kali menuntut agar pelatih diberi kekuasaan penuh untuk membentuk sebuah tim. Dan itu saya peroleh dari PSSI karena memang saya syaratkan, saya mau begitu sebelum diangkat jadi pelatih. Jadi, saya heran juga kalau kemudian banyak orang mempersoalkan pelaksanaan tugas saya itu. Ada suara-suara, termasuk dari PSSI dan Dewan Pelatih, yang mengatakan bahwa mereka tak tahu bagaimana sebenarnya rencana Anda dalam menghadapi suatu pertandingan? Saya kira tidak begitu. Memang secara formal saya belum memberikan laporan kepada PSSI. Itu pasti saya lakukan nanti. Tapi, tentang Dewan Pelatih, lain ceritanya. Saya tak punya kewajiban untuk laporan kepada badan ini. Merekalah yang sebaiknya mengikuti, misalnya program latihan dan uji coba saya, kemudian memberikan saran-saran bagaimana sebaiknya ikhtiar yang dilakukan untuk lebih mengintensifkannya. Ini, selama saya jadi pelatih, tak pernah mereka lakukan. Jadi, bagaimana mereka mau mengevaluasi hasil latihan yang saya berikan, kalau tak pernah mengikuti latihan dan pertandingan uji coba yang kami lakukan? Tapi, kemudian di Seoul, PSSI kalah. Jelas sekali antara lain karena lemahnya stamina. Bagaimana pendapat Anda tentang ini? Sudah saya jelaskan berkali-kali. Ketika menghadapi Korea di Seoul itu, pemain-pemain kita tegang dan terlalu bernafsu bermain. Ini menguras tenaga mereka lebih cepat. Apalagi memang rata-rata stamina pemain kita, jika kita mau ukur, misalnya lewat V02 Max, memang masih rendah: rata-rata 60. Idealnya, rata-rata 70. Tapi V02 Max yang rendah, sebeharnya, bukan satu-satunya faktor penting untuk menyatakan stamina kuat atau tidak. Faktor lain yang juga ikut menentukan adalah semangat bertanding dan makanan. Nah, yang pertama ini sebenarnya sudah kita usahakan lewat pelbagai latihan. Tapi, untuk makanan, terus terang saja, kita masih sulit. Idealnya, pemain bola kita harus mendapat kalori 3.500 sampai 4.000 kalori per hari, baru kekuatan fisiknya bisa dijamin konstan. Tapi, karena kita belum biasa menerapkan kebiasaan makanan seperti itu, ya, apa boleh buat, saya tak bisa memaksa anak-anak memakan makanan dengan nilai kalori seperti itu. Soalnya, ini menyangkut kebiasaan hidup para pemain. Jadi, tak bisa saya paksakan. Apakah soal ini bukan problem yang cukup mendesak? Salah satu. Saya kira problem sepak bola kita amat kompleks. Di antaranya adalah dalam hal Pembinaan pemain dan juga pematangan pelatih. Dalam soal pemain, misalnya, kita memang punya banyak klub dan diklat. Tapi, belum semua berjalan sebagaimana yang diinginkan. Sering diklat tak mempunyai program latihan dan bertanding yang jelas. Sehingga, pencetakan pemain tak kontinu. Saya sudah merasakan betapa sulit mencari pemain yang diinginkan untuk tim nasional. Padahal, di klub dan diklatlah seharusnya sumber pemain. Seharusnya mereka punya stok atau simpanan pemain yang terbaik dan siap pakai, sehingga pelatih nasional tak perlu mencari sendiri para pemain, dengan cara mengikuti pelbagai pertandingan dan kompetisi. Cara seperti ini, karena penglihatan sepintas, memang bisa sering meleset seperti yang saya alami: harus sering mencoret pemain yang sudah saya pilih karena, setelah dites di TC, tak memenuhi syarat. Idealnya, kita memang harus punya stok pemain yang cukup disumber-sumber seperti klub itu. Demikian juga pelatih. Kita masih harus belajar untuk bisa mendapatkan pelatih yang betul-betul menguasai bidangnya. Marah Sakti Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus