OPERA KECOA Naskah dan Sutradara: Riantiarno Pemain: Tuti Indra Malaon, Ratna Riantiarno, Didi Petet, Salim Bungsu, dll. Musik: Harry Roesli Produksi: Teater Koma, Jakarta BOLEH ditebak: tawa penonton, pada pementasan Opera Kecoa di malam kedua, lebih banyak dibanding kepahitan yang mungkin mereka rasakan dari cerita. Tapi bahwa sebuah teater diguyur tawa tidak sendirinya menunjukkan "jatuh"-nya tontonan itu ke dalam jenis banyolan - bila banyolan berarti semata-mata usaha membuat orang tertawa. Opera Kecoa justru ingin mengangkat sesuatu yang besar: pengarangnya, Riantiarno, adalah orang yang merasa harus selalu berdiri di pihak orang-orang kecil yang dia angkat ke dalam pentas, sebagaimana begitulah umumnya teaterwan kita. Hanya, khususnya untuk Riantiarno, tawa itu boleh terhitung sehat: tontonannya lalu berhasil menandai - meski bukan untuk pertama kalinya - kehadiran "Nano (panggilannya) periode mutakhir", setelah dahulu dikenal dengan kecenderungannya yang terlalu suka beriba-iba. Keberlarutan memang boleh mendapat jalan dari pemilihan jenis tontonan yang disukai Nano: Opera, kata yang sering mengingatkan pada suara mendayu sambung-bersambung itu - walaupun pengertiannya terbatas pada hanya nyanyian-nyanyian solo (aria, katakanlah) yang memang boleh cocok untuk menjadi saluran "suara jiwa" dan "suara jiwa" itu. Tapi pembatasan terhadap limbah perasaan semacam itu sudah bisa ditebak efektivitasnya dengan, pada Kecoa, usaha memotong sarananya yang gawat ini: kebertele-telean. Dan dalam hal itu, kecuali pada beberapa bagian, Nano berhasil. Itu terutama karena panggung lebih banyak dibikin bergerak: bagian-bagian yang diam tidak mengesankan kemandekan. Secara per bagian, kualitas gerak sendiri (ditata oleh Didi Petet, yang juga memerankan tokoh Pejabat dengan bagus) harus dibilang tidak jelek, walaupun kita tak tahu adakah peranan sang sutradara. Pola gerak itu memunculkan kesesuaian bersama tata kostum yang memang dirancang untuk sebuah tontonan tari-nyanyi-omong-ketawa, dalam dialog yang tangkas, dalam cahaya warna-warni, dan dalam antaran musik yang merasuk dan tidak menjulang sambil melahirkan suasana pincang. Ini adalah cerita tentang gerombolan orang-orang gembel (pelacur, banci, pencoleng, penghuni rumah-rumah kardus, alias para kecoa) yang tidak berhasil menembus nasib sendiri. Sama sekali bukan oleh keterbatasan kemanusiaan atau sesuatu yang metafisis seperti pada Arifin C. Noer, tapi oleh kenyataan hadangan "sistem" atau katakanlah ekses kepincangan nya. Semangat protes, dengan begitu, bukan dari jenis yang menyangkut kepahitan kodrat atau eksistensi, tapi tuntutan keadilan yang melulu seharihari. Memang, banyak hal yang getir: terbakarnya rumah pelacuran kelas menengah -bawah, misalnya, sesudah dengan segala cara dilakukan sogokan kepada (dan diterima oleh) para yang berwajib, khususnya tokoh Pejabat. Tapi jangan dikira protes di situ berteriak-teriak, atau jatuh ke dalam sikap tak adil - bahkan meski ada adegan penembakan oleh satpam kepada massa, dengan seorang korban yang jatuh. Yang menjadikan teater ini sebuah tontonan yang enak, dan yang menjadikan protes yang tidak baru itu tidak terasa basi ialah justru kesadaran Riantiarno pada keperluan sebuah tontonan. Itu dilakukan, di sini, dengan eksploatasi sebanyak mungkin unsur yang lucu, tidak dalam sikap mengejek, baik pada orang-orang got, si Pejabat, maupun si Jepang - sebuah usaha mungkin dari gambaran hitam -putih. Sudah tentu diperlukan kontras. Dan kontras itu dirupakan dalam pembagian panggung menjadi dua pihak: panggung asli yang menjadi tempat si Pejabat dan mereka yang berkuasa, dan bagian bawah depan prosenium yang didiri gubuk-gubuk kardus dan didiami para penghuni yang gemar menonton upacara. Plus, bangunan tambahan sebelah kiri, rumah bordil kayu bertingkat, lokasi yang paling seronok, dan sebelah kanan, tempat yang sekali-sekali didatangi para bandit. Dari tempat-tempat itu cerita mengalir-dengan segar. Penggarapan pemain sendiri menguntungkan: tak seorang pun menunjukkan kekurangan yang mencolok, misalnya dalam vokal yang biasanya habis oleh teriakan-teriakan - kecuali pada pembawaan nyanyian solo, yang tak dimaksud merdu dan yang hampir tak pernah bisa ditangkap. Tapi harus disebutkan permainan Tuti Indra Malaon yang, sebagai mucikari muda yang berjuang gigih, mempertontonkan - penting untuk perannya - analisa watak meyakinkan yang menunjukkan bahwa "dialah aktris itu". Tuti - meski tak sangat diketengahkan - berada di atas semua, termasuk Ratna Riantiarno sebagai Pelacur Tuminah. Bukan, ini memang bukan tontonan yang "berat". Nano, yang pertama kali muncul - sebagai penulis - dengan naskah model surealis macam Tali-Tali, yang terbukti hanya ruwet, akhirnya memang holeh mendapatkan dirinya sebagai pelayan penonton yang, misalnya di Broadway, siap untuk secara rutin menerima pengunjung tidak sekadar dalam jangka seminggu-dua. Syu'bab Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini