TIAP menteri P & K tampaknya menemukan masalah yang berbeda dalam dunia pendidikan kita. Itu sebabnya peraturan dan kebiaksanaan yang mereka turunkan pun berlain-lainan. Di zaman Mashuri (1968-1973), misalnya, diadakanlah "sekolah pembangunan". Disebut demikian karena sekolah ini direncanakan bisa mencetak kader-kader pembangunan. Karena itu, di utamakan pelajaran keterampilan sesuai dengan lingkungannya. Harapan waktu itu, para lulusan tak cuma mencari pekerjaan, tapi justru merekalah yang diharapkan menciptakan lapangan kerja. Maka, dengan optimisme yang tinggi didirikanlah sekolah menengah pembangunan di tiap ibu kota kabupaten, dengan biaya Rp 25 juta per gedung. Sekolah setingkat SMA tapi dengan waktu belajar empat tahun ini diharapkan menjadi contoh, lalu bisa disebarluaskan. Tapi ketika Mashuri digantikan Soemantri Brodjonegoro, 1973, gema sekolah pembangunan pun ikut surut. Dan, pada kenyataannya, lulusan sekolah pembangunan dan lulusan SMA tak jauh berbeda kualitasnya. Dan kini, proyek Mashuri itu pun luntur: Sekolah pembangunan kemudian dijadikan sekolah menengah biasa. Itu hanya membuktikan gagasan baru tak benar-benar dikaji dulu secara matang, sebelum dilaksanakan. Atau, orang tak cukup arif untuk menemukan masalah sebenarnya yang perlu digarap. Barangkali inilah sebab utama yang mengakibatkan ganti menteri ganti kebijaksanaan. Untung, tak semua rencana Departemen P & K zaman Mashuri sempat dilaksanakan. Misalnya, rencana menyatukan sekolah dasar dan sekolah menengah menjadi dua jalur. Yakni jalur Terminal 8 (tahun), yang merupakan gabungan sekolah dasar dan SMP. Dan jalur Terminal 10, penyatuan SD, SMP, dan SMA. Keuntungannya, tahun belajar jadi lebih pendek, dan para orang tua murid tak perlu repot tiap anaknya lulus dari satu jenjang dan masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Masih di zaman Mashuri, dilaksanakan SPP (sumbangan pembangunan pendidikan) secara progresif. Yaitu makin kaya orangtua murid, sumbangan nya makin besar pula. Tapi cara yang waktu itu disebut sebagai "pelaksanaan asas pemerataan dan keadilan" diprotes banyak pihak. Setelah Sjarif Thajeb menjadi menteri P & K, SPP progresif diganti SPP sama rata. Yang hingga kini tetap berlaku adalah penerapan matematika baru untuk menggantikan pelajaran berhitung di SD dan bidang studi aljabar dan ilmu ukur di sekolah menengah. Mashuri digantikan oleh Soemantri Brodjonegoro. Baru beberapa minggu dilantik, 18 Desember 1973, menteri ini meninggal karena kanker. Praktis, tak ada kebijaksanaan baru apa pun. Naiklah Sjarif Thajeb 1974. Di masa Sjarif inilah dikeluarkan keputusan bahwa instansi pemerintah yang paling bertanggung jawab terhadap masalah pendidikan adalah Departemen P & K. Ini berarti semua lembaga pendidikan pemerintah, misalnya madrasah, harus berada di bawah Departemen P & K. Tapi ini ditentang oleh sejumlah lembaga pendidikan Islam. Keputusan ini sampai kini tak berjalan. Tampaknya, tahun 1970-an orang begitu menaruh perhatian terhadap siswa putus sekolah. Bila di zaman Mashuri direncanakan program Terminal, Sjarif punya pula gagasan lain. Semua jenjang pendidikan umum ditambah satu tahun untuk diberikan pendidikan keterampilan bila si siswa tak melanjutkan sekolah. Gunanya, agar siswa bisa mencari pekerjaan. Yang tak sempat dipikirkan Sjarif kala itu adalah soal perguruan tinggi swasta (PTS). Baru sekarang, bekas menteri P & K ini heran, "Mengapa PTS yang punya dosen sama, sarananya sama, bahkan ada yang lebih baik, sarjana lulusannya tak disamakan dengan sarjana negeri," tuturnya kepada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. "Dan bila mereka mengikuti ujian negara, selain ongkosnya mahal, juga susah lulusnya," tambah kakek lima cucu ini. Dan kini Sjarif bicara lantang. "Mahasiswa harus diberi keleluasaan, agar tidak lesu," kata anggota DPA RI ini. "Dewan mahasiswa perlu dihidupkan lagi hingga mahasiswa dapat belajar dan berlatih organisasi." Padahal, dulu, Sjarif mengeluarkan SK 028, yang melarang mahasiswa melakukan kegiatan politis yang mengatasnamakan universitas di luar kampus. Dan semua kegiatan di kampus harus seizin rektor. Tibalah masa yang seru, yakni masa Daoed Joesoef, mulai 1978. Kelebihan Daoed agaknya bahwa tatkala duduk di kursi menteri ia telah siap dengan konsep. Sebuah karangan menteri P & K ini, yang mendudukkan pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan, disebarluaskan. Dan kemudian muncullah normalisasi kehidupan kampus yang populer disebut NKK itu. Boleh dikata, penerapan konsep ini secara paksa berhasil: Dewan mahasiswa dibubarkan - dan sampai sekarang memang tak hidup lagi. Untuk menyesuaikan tahun ajaran dengan tahun anggaran, Daoed mengubah awal tahun ajaran dari Januari ke Juli. Oleh Daoed pula dibentuk Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional, dengan tugas menyiapkan materi undang-undang pokok pendidikan. Konon, konsep Komisi, setelah direvisi di sana-sini oleh berbagai pihak, kini sudah disampaikan ke Sekretariat Negara, menunggu didengarpendapatkan dengan DPR, entah kapan. Bagi Daoed, undang-undang pokok ini penting agar bila ada perubahan dilakukan siapa pun ada pedomannya. Jadi, perubahan kebijaksanaan dalam dunia pendidikan tak sembarangan dilakukan. Menjelang Daoed digantikan Nugroho, dalam wawancara khusus dengan TEMPO, ia menyatakan keprihatinannya atas satu hal. Yaitu lingkungan masyarakat kita yang tak selalu kondusif bagi pendidikan anak. Ditambah, adanya kegiatan sementara orang, politisi, dan pengusaha yang dengan dalih muluk-muluk memperalat mahasiswa untuk suatu kegiatan yang sama sekali bukan untuk kepentingan si mahasiswa. Lalu, Nugroho Notosusanto yang tak berumur panjang. Nugroho, sebelumnya, sebagai rektor UI, telah mencanangkan konsep fungsi UI. Yakni konsep institusionalisasi, profesionalisasi, dan transpolitisasi. Bahwa modernisasi universitas membutuhkan satu institusi yang baik, yang didukung tenaga profesional, dan di kampus kegiatan politik hanyalah terbatas sebagai bidang studi. Kegiatan yang bersifat politik oleh mahasiswa, kata Nugroho waktu itu, silakan dilakukan diluar kampus. Menurut tanggapan beberapa civitas academica, konsep itu tak jauh berbeda dengan NKK-nya Daoed. Dan ketika Nugroho dilantik menggantikan Daoed, konsep tersebut tak terbatas untuk UI, tapi juga buat semua universitas negeri. Yang kemudian dilakukan Nugroho, banyak. Mengubah sistem tes masuk perguruan tinggi negeri dari sistem proyek perintis menjadi sistem penerimaan mahasiswa baru. Bukan sekadar-ganti nama, tapi dalam sistem baru panduan bakat diperluas untuk semua jurusan di semua universitas dengan nama penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Juga, Nugroho menghapuskan sistem penjurusan di SMA. 'Dengan demikian, Kurikulum 1975, yang diresmikan di masa Sjarif Thajeb, diganti dengan Kurikulum 1984. Kurikulum 1984 membagi bidang studi menjadi program inti dan pilihan. Kedengarannya, hal ini ideal. Tapi, menurut Setijadi, karena belum ada keharusan pelaksanaannya - dan ini wajar karena dikhawatirkan belum semua SMA mampu menjalankannya tak punya dampak berarti buat perubahan pendidikan. Bahkan sebuah program baru di SMA, disebut program B, yang menyiapkan siswa bukan untuk melanjutkan kuliah tapi untuk bekerja, terpaksa ditangguhkan. Sekolah-sekolah belum siap dengan tenaga pengajar keterampilan. Yang penting - tapi ini merupakan kebijaksanaan bersama antara Menteri P & K dan Menteri Penertiban Aparatur Negara - yakni pemberian kenaikan otomatis bagi para guru sekolah. Dengan demikian, proses panjang yang menghabiskan tenaga dan juga uang guna mengurus kenaikan pangkat dipotong. Para guru tak perlu lagi repot-repot. Yang baru lagi adalah dimasukkannya pelajaran baru, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, menjadi bidang studi wajib. Cuma, buku teksnya, karena dianggap kurang baik dan banyak salah cetak, diulang cetak. Dan menjelang kursi menteri P & K diduduki Fuad Hassan, buku itu belum juga selesai cetak. Perubahan, aturan baru, kebijaksanaan baru, semua itu tampaknya memang tak mendasar benar. Belum terjawab, misalnya bagaimana kaitan antara kurikulum baru dan lapangan kerja. Bagaimana rnenciptakan guru-guru bermutu. Perlukah sistem SD di Irian Jaya disamakan dengan SD di Jakarta. Bukan dibuat-buat bila Sumarlin, menteri P & K ad interim sejak awal Juni hingga Selasa pekan ini, bilang, "Masalah pendidikan itu masalah berat." Dan tugas itu kini dipikul seorang bernama Fuad Hassan, yang memang tak begitu asing dengan pendidikan: bekas guru yang jadi dosen, seorang penulis yang baik, seorang yang dikenal dekat dengan mahasiswa. Laporan Yulia S. Majid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini