Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebuah Laporan Tentang Minyak Kita

Laporan kedubes AS menyatakan sangsi pemasaran migas Indonesia akan berhasil setelah turunnya harga & kuota OPEC, bertentangan dengan pendapat Subroto, neraca pembayaran & APBN mendapat tekanan berat. (eb)

3 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH laporan tentang prospek minyak dan gas bumi Indonesia dikeluarkan oleh kedubes AS di Jakarta pekan lalu. Laporan setebal 120 halaman, bertanggal Juli 1985, dalam jangka pendek menyangsikan keberhasilan usaha pemerintah mempertahankan pendapatan migas akan bisa menyamai tingkat penghasilan sebelum tahun 1985. Alasannya: Tak ada tanda-tanda harga minyak bakal membaik, dan tingkat produksinya tetap akan dibatasi oleh persoalan pemasaran serta kuota produksi OPEC. Penjualan gas alam cair (LNG) juga tidak akan naik, sampai kuartal pertama 1987. Dalam jangka panjang, tambahan pendapatan akan datang dari penjualan LPG (liquefied petroleum gas) ke Jepang, dan kemungkinan kontrak penjualan 20 tahun LNG ke Taiwan, serta tambahan pengapalan gas alam cair ke Korea Selatan. Sampai kini memang belum ada tanda-tanda persetujuan penjualan gas alam cair ke Taiwan disepakati kendati kedua pihak menginginkan perundingan itu secepatnya blsa diselesalkan. Laporan tahunan dari kedubes ini, tampaknya, bertolak belakang dengan pengamatan Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Subroto sesudah menghadiri sidang OPEC di Jenewa, pekan lalu. Turunnya harga minyak berat dan medium Arab Saudi, masing-masing dengan US$ 0,50 dan US$ 0,20 per barel, diduganya justru akan membawa perbaikan bagi penjualan minyak berat Indonesia. Sebab, dengan penurunan itu harga resmi minyak berat kini hanya terpaut sedikit dengan harga di pasar tunai, antara US$ 26 dan US$ 25 per barel. Menteri Subroto agaknya ingin melihat ekspor minyak jenis Duri bisa digenjot dari tingkat 42 ribu barel per hari (1984) lebih tinggi lagi. Jalan ke sana tentu tidak mudah. Ekspor minyak ke Jepang, misalnya, sering diganggu dengan masuknya minyak (terutama) RRC, Iran, dan Saudi. Usaha substitusi sumber energi yang dilakukan negeri itu juga berperanan dalam memperkecil pemakaian minyak di sana. Karena itu, agaknya, pemakaian minyak Indonesia pada kuartal pertama 1985 hanya 6,6 juta kilo liter - 11,5% dari seluruh impor minyak Jepang. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, minyak Indonesia di sana porsinya masih 8,05 juta kiloliter, atau 14,4% dari seluruh impor. Kuartal kedua tahun ini, bertepatan dengan saat Jepang memasuki musim panas impor minyak dari Indonesia hanya berjumlah 5 juta kilo liter. Penurunan pasar di negeri Sakura itu, tentu, sangat merisaukan mengingat ekspor minyak Pertamina ke sana tiga tahun terakhir ini pukul rata mencapai 50% dari selurut penjualan luar negerinya. Usaha mempertahankan pasar di sana sudah dilakukan dengan menurunkan harga minyak Duri dari US$ 27,85 jadi US$ 25,95 mulai April lalu, kemudian di bulan itu di perkenalkan pula Sumatran Medium Crude (SMC), yang berharga US$ 27,40. Hasil manuver itu ternyata kurang menggembirakan. Menghadapi kenyataan itu, Pertamina tentu akan terdorong mencari pasar baru dan menaikkan penjualannya di negeri-negeri kecil seperti dilakukannya tahun lalu. Selandia Baru, Spanyol Guam, dan Eropa Timur, sekalipun volume pembelian nya kecil, memberikan sumbangan berarti dalam mendorong kenaikan ekspor Indonesia sepanjang 1984. Secara jujur, laporan kedubes AS di Jakarta itu mengakui sulitnya mengukur akibat turunnya harga dan kuota produksi OPEC terhadap penerimaan migas Indonesia. Secara teoretis, pengguntingan produksi minyak Indonesia sebesar 311 ribu barel sejak November 1984 itu mengakibatkan hilangnya devisa US$ 7,94 juta setiap hari - jika tingkat harga minyak rata-rata diperhitungkan US$ 25,55 per barel. Bagi Neraca Pembayaran 1984-1985 pengaruh penurunan kuota produksi itu terasa benar. Realisasi ekspor minyak, pada tahun fiskal itu, hanya US$ 10,625 juta, atau turun hampir 12% dibandingkan tahun anggaran sebelum nya. Supaya defisit neraca barang dan jasa tidak menggelembung, impor minyak- mentah, pengeluaran jasa-jasa, dan impor nonmigas ditekan hebat - sementara ekspor LNG digenjot. Dengan pelbagai usaha itu, defisit neraca barang dan jasa hanya US$ 2 milyar. Tahun fiskal ini, baik Neraca Pembayaran maupun APBN, tampaknya, sama-sama akan mendapat tekanan cukup berat mengingat bahwa APBN 1985-1986 ini dibuat dengan asumsi Droduksi minyak 1,26 juta barel dan kondensat 0,14 juta barel sehari. Lihat saja, hingga menjelang semester pertama tahun fiskal ini berakhir, kuota produksi untuk Indonesia ternyata belum berubah - karena keadaan pasar masih suram. Bahkan produksi OPEC, yang dialokasikan 16 juta barel, Juni lalu, nyatanya hanya 13,6 juta barel. Pada akhirnya memang situasi pasar itu besar pengaruhnya dalam memberi rangsangan pada pemilik modal untuk melakukan investasi. Tahun lalu, realisasi pengeluaran perusahaan minyak untuk melakukan eksplorasi, pengembangan, dan produksi hanya US$ 2.644 juta, padahal sasarannya US$ 3.563 juta. Tahun ini, Pertamina membuat perkiraan rencana investasi seluruh perusahaan minyak sekitar US$ 3.580 juta. Edi Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus