Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

'The Young Guns' dari Brasil

Brasil mengguncangkan Copa America dengan sejumlah bintang muda yang bukan hanya gemilang di lapangan, tapi juga mengalirkan devisa ke negeri Latin itu.

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESEKALI sedap juga menonton sepak bola Amerika Latin, setelah penonton televisi di sini dicekoki tayangan Liga Italia sepanjang tahun. Di Asuncion, ibu kota Paraguay, negeri tanpa pantai di selatan Benua Amerika itu, berlangsunglah Copa America—turnamen tua yang sudah dimulai pada 1916. Dua kesebelasan di final, Uruguay dan Brasil, sesungguhnya sama-sama layak menjadi juara. Tim Los Celeste—Langit Biru—Uruguay malah sudah jadi "juara" karena sampai di final adalah jauh di atas target semula. Anak-anak lulusan sekolah lanjutan atas asuhan pelatih Victor Pua itu adalah runner-up kejuaraan dunia junior 1997 di Malaysia—saat itu kalah 1-2 dari Argentina. Tim "anak baru gede" itu punya bintang yang bersinar, seperti Marcelo Zalayeta (pemain klub Juventus yang pindah ke Empoli, Italia), atau Magallanes (Racing Santander, Spanyol). Mereka juga menyimpan Hector Fabian Carini (Danubio, Uruguay)—kiper yang berhasil menahan tiga penalti di Copa kali ini. Dalam tradisi Copa, Uruguay lebih mujur karena sudah 14 kali juara, sedangkan Brasil baru lima kali juara. Brasil tentu sungguh pantas juara. Dalam 63 kali pertandingan melawan Uruguay sepanjang sejarah, Brasil menang 30 kali, Uruguay menang 19 kali, sisanya seri. Negeri "pisang" itu sudah empat kali juara dunia—Uruguay dua kali. Tim Brasil asuhan pelatih baru Vanderley Luxemburgo—menggantikan Mario Zagallo setelah Brasil kalah dari Prancis di Piala Dunia 1998—itu adalah tim sangat mahal karena bertabur bintang yang kini bermain di klub-klub kaya Italia. Selain Ronaldo (22 tahun, Inter Milan) dan Cafu (29 tahun, AS Roma), para veteran Piala Dunia 1998, sejumlah pemain muda juga sudah punya harga tinggi di Italia. Dua nama yang paling layak ditonjolkan adalah Amoroso (AC Parma) dan Dida (25 tahun, AC Milan). Amoroso, si plontos yang temperamental dan mencetak 22 gol—terbanyak di Seri A Italia—itu dibeli oleh Parma dari klub Udinese dengan US$ 33,3 juta (Rp 233,1 miliar pada kurs Rp 7.000). Harga Amoroso adalah yang kedua termahal setelah Christian Vieri ditransfer Inter Milan dari Lazio dengan US$ 48,5 juta. Dida, kiper cemerlang itu, mengantongi transfer US$ 2 juta tatkala dibeli AC Milan dari Cruzeiro, Brasil, Februari silam. Maka, kepada anak-anak muda inilah Brasil berutang. Dida, si jangkung dengan 1,95 meter dan 85 kilogram, bahkan dinilai jauh lebih baik dari seniornya, seperti Taffarel yang tiga kali bobol gawangnya dalam final di Prancis. Dida, yang punya nama asli Nelson De Jesus Da Silva, sesungguhnya bukan kiper utama pilihan Luxemburgo—pilihan utama adalah Marcos, kiper yang mengantar Palmeiras menjuarai Piala Libertadores 1999. Nama Dida bahkan tercatat sebagai kiper nomor tiga di Piala Dunia 1998. Ia sudah mengawal gawang Brasil sejak Copa America 1995, dan menjadi kiper utama Brasil pada Olimpiade Atlanta 1996. Dida adalah satu tiang penting dari tim yang dijuluki "The Young Guns" di Copa America kali ini. Selain para veteran Piala Dunia 1998 seperti Ronaldo dan Cafu, semua pemain adalah muka baru. Padahal, di luar tim masih berserak banyak mutiara Brasil. Sebutlah si pemberang Leonardo (AC Milan) atau "si Kulit Putih" Dunga (Jubilo Iwata, Jepang). Pemain asal Brasil seakan menguasai kompetisi di mana pun, termasuk di Indonesia, tempat pemain kelas "anak bawang" setingkat Luciano Leandro saja—yang bermain untuk Persija Jakarta dengan gaji US$ 5.000 sebulan—begitu dipuja. Sepak bola laksana agama di Brasil. Di setiap sudut negeri, bola dimainkan siapa saja. Dalam hal ini, anak-anak Indonesia sama fanatiknya. Hanya, kalau Brasil kemudian mengekspor pemain bolanya, Indonesia cuma bisa mengirim tenaga kerja ke luar negeri. Itu bedanya jelas. Kalau tenaga kerja Indonesia sering "digebuki" di luar negeri, Ronaldo atau Amoroso justru disanjung bagai raja di negeri orang. TH, Hermien Y. Kleden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus