Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Partai Gurem Mati Kutu

Manuver "partai desimal" mengais kursi nyaris gagal total. Pekan ini, sidang pleno KPU bakal menetapkan hasil pemilu.

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pentas coblosan rakyat tampaknya segera mengancik babak akhir. Titik terang itu dinyatakan Rudini. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu menegaskan bahwa sidang pleno di komisinya segera digelar mulai Senin pekan ini. Agendanya cuma satu, tapi sangat penting: mengetuk hasil akhir penghitungan suara. Berita acara dan tabulasinya secara nasional yang sudah diteken Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), Sabtu pekan lalu, sudah "aman" di tangan Rudini. Tentu saja ini kabar bagus, apalagi jika diingat betapa langkah para dedengkot partai (terutama yang gurem) itu sempat mengaret tak keruan. Seharusnya, ini sudah diputuskan sejak 8 Juli lalu, sesuai dengan tenggat. Sejauh ini, cuma ada satu partai yang tegas-tegas menolak menandatangani berita acara, yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sudjatmiko. Mereka mengajukan satu syarat: sebelum Golkar disemprit atas berbagai kecurangan yang dilakukannya dalam ajang coblosan lalu, PRD akan bersikukuh menolak menekennya. Rudini berharap hasil penghitungan PPI itu dapat disahkan sebelum 26 Juli mendatang. Anggota KPU dari Partai Keadilan, Mustafa Kamal, juga memastikan badan penyelenggara pemilu itu akan menerima hasil penghitungan PPI, dengan sejumlah catatan kaki. "Catatannya, cuma 60 persen pelaksanaan pemilu kali ini yang berlangsung jurdil (jujur dan adil)," katanya. Selanjutnya, berbagai pelanggaran itu akan ditindaklanjuti oleh Panitia Pengawas Pemilu Pusat (Panwaslu). Mahadi Sinambela dari Partai Golkar bahkan menyatakan bahwa hampir semua anggota, termasuk dari partai gurem, sudah satu kata untuk mengesahkannya. Menurut Undang Undang Nomor 3/1999 tentang Pemilihan Umum, penetapan keseluruhan hasil penghitungan suara mesti ditandatangani oleh sekurang-kurangnya dua pertiga anggota KPU. Rudini pun optimistis, sidang pleno KPU akan meraup batas suara itu. Menurut kalkulasi mantan Menteri Da-lam Negeri itu, sampai akhir pekan lalu, sudah ada 27 partai yang siap mengukuhkan berita acara PPI tersebut. Jadi, jika dihitung dari 48 wakil partai yang ada, "Tinggal mencari lima suara lagi," katanya sambil tersenyum. Apalagi lima wakil pemerintah dalam komisi itu, di atas kertas, pasti oke-oke saja. Tanda-tanda pro atas keputusan KPU sudah pula digulirkan Sri Bintang Pamungkas, Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia. Kamis lalu, Bintang memprakarsai pertemuan 24 partai gurem di Hotel Alia Cikini, Jakarta. Mereka sepakat mendirikan sebuah kaukus partai alit yang diberi nama mentereng: Front Reformasi Indonesia, yang disingkat FRI. "Kami siap tunduk terhadap keputusan KPU, termasuk soal tabulasi hasil penghitungan suara," katanya. Namun, ide-ide aneh memang digulirkan. Salah satunya masih soal kais-mengais kursi parlemen lewat konsep unik Bintang yang diberi judul "kerja sama politik". Cuma, model penggabungan suara ala Bintang itu dikritik tajam. "Itu bertentangan dengan demokrasi," kata Ketua Komite Pimpinan Pusat PRD, Feisol Reza. Walhasil, benarkah partai cilik yang sebelumnya getol bermanuver, kini, mundur teratur? Tampaknya begitu. Tekanan bertubi-tubi dari pers dan demonstrasi dari berbagai kalangan masyarakat, akhirnya, membuat mereka tiarap juga. Ketua Umum Partai Rakyat Indonesia, Agus Miftach, yang kerap bikin ulah, belakangan terlihat anteng dan duduk manis di setiap rapat. Usut punya usut, ternyata ia baru dimarahi Rudini. "Kalau jadi politisi, jangan begitu. Banyak yang marah!" kata seorang sumber menirukan teguran keras sang Ketua KPU. Terus terpojok dan dikecam tak mumpuni memimpin lembaga itu, Rudini rupanya aktif melobi kiri-kanan untuk "menjinakkan" para politisi gurem itu. Tapi ia menampik pernyataan bahwa kesediaan sejumlah partai cilik itu diraih karena ada konsesi politik. Toh, ia mengaku terkaget-kaget atas sikap jinak dari sejumlah partai alit yang dulu bukan main galaknya. Belakangan, suasana rapat pleno KPU memang tak lagi hiruk-pikuk. Mahadi Sinambela sampai terheran-heran. Semula, ia mengusulkan tenggat pengesahan coblosan ditetapkan 24 Juli. "Eh, ternyata malah banyak yang minta dimajukan jadi 21 Juli," katanya. Rupanya, mereka mulai mati kutu. Berbagai manuver yang dilancarkan sebelumnya nyaris gagal total, dari upaya mengais jatah kursi di DPR sampai usaha mendapat kursi utusan golongan MPR. Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Ryaas Rasyid memastikan jenis kursi terakhir itu tak bakal bisa diserobot. Ibaratnya, semua pintu masuk ke arah kursi gratis menuju Senayan itu sudah dikunci rapat-rapat. "Kan, tidak ada utusan golongan kalah pemilu, ha-ha-ha...," katanya. Sejumlah pagar tinggi sudah dipasang untuk mencegat kemungkinan akal-akalan di jalur itu. Anggota KPU tidak akan menetapkan figur, tapi cuma nama organisasi yang akan mengirimkan wakilnya ke Senayan. Prasyarat lain: organisasi itu tidak boleh memiliki hubungan apa pun dengan partai politik tertentu. Dengan begitu, menurut anggota Tim 15—tim yang menetapkan organisasi yang bisa mewakili utusan golongan—Mahadi Sinambela, lembaga semacam Nahdlatul Ulama, yang mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa, tak bakal bisa meloloskan wakilnya sebagai utusan golongan Islam. Tentunya, hal itu juga mesti diberlakukan pada sederet organisasi onderbouw Golkar, baik yang punya hubungan langsung seperti Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) maupun yang tak langsung seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), yang selalu menyalurkan suaranya ke kubu Beringin. "Soalnya, itu sudah menjadi tradisi di kalangan mereka," kata Mustafa Kamal. Ia malah menyinyalir kursi utusan golongan ini bukan hanya dibidik partai alit, tapi juga amat menggiurkan bagi partai-partai besar. Maklum, dengan perbandingan suara yang tipis, jenis kursi ini bisa berarti banyak untuk mengegolkan calon presiden masing-masing. Masih ada "gang senggol" yang bisa dilirik partai gurem. Itulah jalur utusan daerah. Tapi syaratnya cukup berat. Menurut penglihatan Ryaas Rasyid, mereka bisa menembus jalur itu asalkan berhasil melobi partai-partai besar yang menang di provinsi yang bersangkutan agar sudi membukakan jalan. Tapi itu tampaknya bakal sulit ditembus. Bayangkan, untuk terdaftar sebagai calon anggota legislatif saja, orang berantem. Bagaimana mungkin mereka bakal memberikan kursi gratis alias sedekah kursi kepada barisan "partai desimal", yang cuma meraih suara nol koma sekian persen? Jelas, mereka tak punya pilihan lain. Sikap pemerintah soal Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33/1999 pun, menurut Ryaas Rasyid, sudah bulat. Ketentuan itu tak akan dianulir. Sejumlah partai gurem di KPU sempat menilai PP 33 bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu. Pasalnya, satu klausulnya menyatakan, jika ada anggota KPU menolak menandatangani hasil pemilu, Panwaslu—setelah melakukan penyelidikan tujuh hari—akan mengambil kata akhir apakah kecurangan itu sahih atau tidak. Artinya, dengan mekanisme ini, penetapan hasil pemilu tak bakal laku lagi dijadikan bahan dagang sapi untuk "membeli" kursi parlemen. Klausul ini sempat disalahtafsirkan. Dengan ketentuan itu, Panwaslu akan menyerobot kewenangan KPU untuk mengesahkan hasil pemilu, sesuai dengan yang dinyatakan undang-undang. Rudini sempat sewot mendengar pernyataan Ketua Panwaslu Todung Mulya Lubis, yang mengancam akan mengambil alih pengesahan itu dari KPU. Selain itu, Rudini bersikukuh bahwa pihaknya tak pernah dimintai pertimbangan dalam penyusunan PP itu. Wakil Ketua KPU Adnan Buyung Nasution, yang terlibat dalam proses pembahasannya, dinilai bertindak tanpa mandat dari KPU. Untuk menengahi ramai-ramai itulah, Rabu malam pekan lalu, Rudini bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, Dirjen Ryaas Rasyid, dan Direktur Perundangan-undangan Departemen Kehakiman. Dalam pertemuan yang semula berlangsung tegang itu, akhirnya Rudini menyatakan oke. Ternyata, setelah dilihat lebih teliti, ketentuan di PP 33 itu tidak menyatakan Panwaslu berwenang mengesahkan hasil pemilu. Kewenangan Panwaslu adalah melakukan penilaian final soal kecurangan yang terjadi. Meski demikian, implikasinya sama saja. Jika pada akhirnya Panwaslu menyatakan bahwa kecurangan, yang dijadikan keberatan KPU, tidak terbukti signifikan untuk menganulir pemilu, rekomendasi yang dikeluarkannya bersifat mengikat KPU. Dengan begitu, KPU tak punya pilihan selain segera mengesahkannya. Ryaas Rasyid bahkan menegaskan, batas suara untuk ketuk palu pun menjadi kartu mati yang tak lagi bisa dimainkan. "Ini untuk mencegah tirani," kata Ryaas. Apalagi rakyat sudah cemas menunggu jawaban atas suara yang mereka berikan dalam pemilu lalu. Jika itu masih saja diulur, bisa saja mereka muntab.

Karaniya Dharmasaputra, Raju Febrian, Edy Budiyarso, Hardy R. Hermawan


Peta Kursi DPR RI
PartaiSuaraKursi%
01. PDI Perjuangan
02. Partai Golongan Karya
03. Partai Persatuan Pembangunan
04. Partai Kebangkitan Bangsa
05. TNI dan Polri *)
06. Partai Amanat Nasional
07. Partai Bulan Bintang
08. Partai Keadilan
09. Partai Keadilan dan Persatuan
10. Partai Demokrasi Kasih Bangsa
11. Partai Nahdlatul Umat
12. Partai Bhinneka Tunggal Ika
13. Partai Demokrasi Indonesia
14. Partai Kebangkitan Umat
15. Partai Syarikat Islam Indonesia
16. PNI Front Marhaenis
17. Partai IPKI
18. PNI Massa Marhaen
19. Partai Persatuan
20. Partai Daulat Rakyat
35.689.073
23.741.749
11.329.905
13.336.982
0
7.528.956
2.049.708
1.436.565
1.065.686
550.846
679.179
364.291
655.052
300.064
375.920
365.176
328.564
345.720
551.028
427.854
154
120
59
51
38
35
13
6
6
3
3
3
2
1
1
1
1
1
1
1
30,8
24,0
11,8
10,2
7,6
7,0
2,6
1,2
1,2
0,6
0,6
0,6
0,4
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
TOTAL500100

Sumber: Panitia Pemilihan Indonesia
*) Jatah kursi gratis TNI dan Polri
Dibuat dengan memperhitungan dua kesepakatan stembus accoord (kelompok I: PUI, PKU, PPP, PSII 1905, Masyumi, PBB, PK, PNU; kelompok II: PDKB, PBI, PADI)
Jumlah suara sah = 105.786.661

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum